Oleh : eN-Te
Koplak memang alasan yang disampaikan para pemimpi yang ingin mendapatkan "surga" di Suriah. Gegara terbuai oleh bujuk rayu dan propaganda kelompok maniak (ISIS), yang ingin menguasai dunia dengan iming-iming sistem khilafah, para pemimpi itu berangkat dengan semangat 45 ke daerah konflik, Suriah.
Rupanya iming-iming janji akan mendapatkan semua fasilitas secara gratis dengan berbagai tunjangan hidup nan wah di bawah naungan khalifah besar ala ISIS, telah menutup nalar sehat mereka.Â
Tanpa ba-bi-bu, semua aset yang diperoleh selama ini (rumah, dll) Â dengan rela mereka lepaskan untuk mendapat 'modal awal' keberangkatan ke Suriah. Bahkan tanpa memikirkan bagaimana konsekuensi terhadap status kewarganegaraan, dengan tekad membabi buta tetap saja melangkah pergi.
Sungguh di luar dugaan dan khayalan mereka, semua fantasi surgawi ala janji kelompok ISIS ternyata tidak seindah dalam lamunan. Kenyataan yang hadir dan terbentang di hadapan mereka, tidak lebih dari fatamorgana.
Terlihat indah menawan dari jauh, tapi setelah mendekati dan semakin dekat, bertemu, berkenalan, dan 'bercumbu rayu', khayalan indah itu raib seketika. Ketika sedang melamunkan sebuah kondisi serba ideal, datang seseorang mendekati, kemudian dengan sengaja menghentaknya, lamunan indah ala mimpi di siang bolong terik itu, bagai palu ghodam yang mengagetkan.
Kondisi yang terbentang di depannya malah menunjukkan tanda-tanda yang sangat kontras dengan apa yang tersaji melalui propaganda dan janji di internet. Lebih biadab, menurut pengakuan salah satu eks simpatisan ISIS bahwa mereka hanya dianggap sebagai pabrik pembuat anak semata.
Inilah akibatnya kalau kurang melek. Bukan saja miskin literasi, mereka juga sangat miskin sikap kritis dalam berbagai hal. Termasuk tidak mau sedikit berusaha mengecek dan menverifikasi dengan mencoba melakukan komparasi setiap informasi, agar mendapat gambaran seutuhnya, sehingga tidak terjebak janji palsu.Â
Nyatanya setelah terjebak, mereka kemudian tersadar dan malah merasa (telah) ditipu. Padahal ketika itu mereka secara sadar memutuskan untuk meninggalkan negeri zamrud khatulistiwa, yang konon kabarnya dijuluki sebagai sepotong surga yang diturunkan Tuhan ke dunia ini. Bahkan dengan bangga dan pongah beranjak pergi. Â
Ketika kondisi yang sangat jauh berbeda dengan ekspektasi awal sebagaimana propaganda dan janji manis ala ISIS, kemudian mereka siuman dan tersadar. Bahwa ternyata semua fantasi yang digambarkan melalui video dan propaganda itu, ibarat "jauh panggang dari api".Â
Muncul kemudian perasaan menyesal karena telah percaya pada janji gombal, merasa terhempas dan dihempaskan. Sebab kondisi yang hadir di hadapan mereka sekarang bukan lagi surga dengan berbagai aneka ragam kebutuhan, tapi malah yang terpampang adalah kenyataan tanpa harapan (hopeless).
Melihat fakta yang dihadirkan begundal ISIS yang tanpa harapan (hopeless), mereka kemudian insyaf. Kita berharap keinsyafan itu dibimbing oleh kesadaran rasional dan dituntun pula oleh kebenaran nurani yang terdalam dan senyatanya. Bukan sebagai sebuah 'keterpaksaan' atau kamuflase karena tidak lagi mempunyai pilihan lain, selain harus melepaskan diri dari begundal-begundal  ISIS itu.
Mestinya, mereka harus tetap istiqomah berada di jalan 'kebenaran' yang dipilihnya, meski fakta yang terbentang di hadapannya sungguh di luar ekspektasi mereka. Karena menilik motif mereka memutuskan untuk 'melepaskan' kewarganegaraan Indonesia untuk bergabung dengan khilafah ala ISIS itu, adalah untuk mendapatkan 'keberkahan' hidup di dunia ini, dan berharap kelak setelah mati memperoleh surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.Â
Di tambah lagi akan dikelilingi oleh 72 bidadari cantik dan bidadara tampan yang akan siap sedia memuaskan birahi mereka melalui pesta seks ala (ustadz) Syam.
Apapun motif para pencari surga ini, tapi demi alasan kemanusiaan Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian harus 'menyelamatkan' mereka. Maka pada Agustus 2017 lalu, BNPT Â memulangkan 18 WNI yang nyaris kehilangan kewarganegaraannya ke Indonesia dari Suriah melalui Erbil, Irak (kesaksian). Â Â
Setibanya di tanah air, BNPT kemudian memberikan "pencerahan" agar lebih sedikit melek otak dan melek hati. Setelah mengikuti program deradikalisasi para eks pengikut ISIS itu kemudian dikembalikan ke masyarakat. Merekapun ramai-ramai memberikan testimoni.
Ada yang tanpa malu hadir di media TV bercerita tentang kebusukan ISIS, yang sebelumnya mereka agung-agungkan. Ada pula yang menceritakan pengalamannya kepada para kuli tinta, kemudian diekspos ke media.
Karena bagaimana pun komitmen mereka yang bertekad ingin berjuang bersama ISIS demi menegakkan khilafah (tapi di balik itu tersembunyi motif sesungguhnya dari para eks pengikut, yakni ingin mendapatkan semua kenikmatan duniawi seperti yang dijanjikan ISIS), membuat mereka nyaris kehilangan kewarganegaraan.Â
Bagi ISIS "pejuang" yang datang bergabung hanyalah bermodalkan semangat untuk membela misi agama (meski kehadirannya karena iming-iming), jadi tidak penting untuk memberi kehormatan kepada mereka berupa status kewarganegaraan. Di mata ISIS para eks pengikut, tetaplah orang asing. Tidak kurang tidak lebih! Â
Ketika para eks pengikut ISIS ini menyesal dan nyaris kehilangan harapan (hopeless), negara melalui Pemerintah memberikan uluran tangan. Pemerintahan sekarang yang sering mendapat stigma negatif sebagai rejim thogut, tapi masih menyimpan rasa welas asih terhadap mantan warga negara Indnesia (WNI).
Saya sengaja menyebut sebagai mantan WNI, karena bagi saya ketika mereka secara sadar memutuskan untuk bergabung dengan kelompok lain, yang nota bene mempunyai negara, maka konsekuensi logisnya pada saat bersamaan gugur pula status kewarganegaraan sebagai WNI. Bahkan lebih jauh orang-orang yang secara sadar ingin bergabung dengan ISIS itu sudah tidak lagi mengakui negara ini sebagai negaranya, plus pemerintahan yang sedang berkuasa.
Jadi, jika sekarang pemerintah melalui BNPT masih mengulurkan tangan untuk menyelamatkan status kewarnegaraan mereka, maka tidak hanya harus membuka mata dan telinga untuk melihat dan membandingkan apa yang ada dalam fantasi mereka akibat brain washing dan fakta tentang kemurahan hati  rejim saat ini. Dengan demikian, pemerintah perlu memastikan bahwa kehadiran para eks pengikut ISIS dan mantan WNI ini tidak akan membawa persoalan baru ke dalam negeri.
Penting untuk memastikan bahwa mereka yang kembali ini tidak membawa paham radikal, dan menjadi virus yang dapat menyebar mempengaruhi yang lain. Harus pula dipastikan bahwa bibit-bibit radikalisme yang sempat hinggap dan tumbuh di benak para eks pengikut ISIS ini tidak akan mekar kembali. Tidak hanya memastikan bibit radikalisme akan berpotensi mekar kembali, tapi juga harus diputus mata rantainya, sehingga tidak membuat kelompok perindu surga ala khilafah ini kembali kambuh.
Mengingat kondisi "sembuh" semacam itu bisa saja bersifat sementara. Sehingga pada kondisi tertentu, mereka bisa terpapar kembali, dan dengan begitu bibit-bibit radikalisme yang pernah tersemai itu bisa  mekar dan muncul kembali dalam bentuk yang lebih halus.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 16092017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H