Melihat fakta yang dihadirkan begundal ISIS yang tanpa harapan (hopeless), mereka kemudian insyaf. Kita berharap keinsyafan itu dibimbing oleh kesadaran rasional dan dituntun pula oleh kebenaran nurani yang terdalam dan senyatanya. Bukan sebagai sebuah 'keterpaksaan' atau kamuflase karena tidak lagi mempunyai pilihan lain, selain harus melepaskan diri dari begundal-begundal  ISIS itu.
Mestinya, mereka harus tetap istiqomah berada di jalan 'kebenaran' yang dipilihnya, meski fakta yang terbentang di hadapannya sungguh di luar ekspektasi mereka. Karena menilik motif mereka memutuskan untuk 'melepaskan' kewarganegaraan Indonesia untuk bergabung dengan khilafah ala ISIS itu, adalah untuk mendapatkan 'keberkahan' hidup di dunia ini, dan berharap kelak setelah mati memperoleh surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.Â
Di tambah lagi akan dikelilingi oleh 72 bidadari cantik dan bidadara tampan yang akan siap sedia memuaskan birahi mereka melalui pesta seks ala (ustadz) Syam.
Apapun motif para pencari surga ini, tapi demi alasan kemanusiaan Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian harus 'menyelamatkan' mereka. Maka pada Agustus 2017 lalu, BNPT Â memulangkan 18 WNI yang nyaris kehilangan kewarganegaraannya ke Indonesia dari Suriah melalui Erbil, Irak (kesaksian). Â Â
Setibanya di tanah air, BNPT kemudian memberikan "pencerahan" agar lebih sedikit melek otak dan melek hati. Setelah mengikuti program deradikalisasi para eks pengikut ISIS itu kemudian dikembalikan ke masyarakat. Merekapun ramai-ramai memberikan testimoni.
Ada yang tanpa malu hadir di media TV bercerita tentang kebusukan ISIS, yang sebelumnya mereka agung-agungkan. Ada pula yang menceritakan pengalamannya kepada para kuli tinta, kemudian diekspos ke media.
Karena bagaimana pun komitmen mereka yang bertekad ingin berjuang bersama ISIS demi menegakkan khilafah (tapi di balik itu tersembunyi motif sesungguhnya dari para eks pengikut, yakni ingin mendapatkan semua kenikmatan duniawi seperti yang dijanjikan ISIS), membuat mereka nyaris kehilangan kewarganegaraan.Â
Bagi ISIS "pejuang" yang datang bergabung hanyalah bermodalkan semangat untuk membela misi agama (meski kehadirannya karena iming-iming), jadi tidak penting untuk memberi kehormatan kepada mereka berupa status kewarganegaraan. Di mata ISIS para eks pengikut, tetaplah orang asing. Tidak kurang tidak lebih! Â
Ketika para eks pengikut ISIS ini menyesal dan nyaris kehilangan harapan (hopeless), negara melalui Pemerintah memberikan uluran tangan. Pemerintahan sekarang yang sering mendapat stigma negatif sebagai rejim thogut, tapi masih menyimpan rasa welas asih terhadap mantan warga negara Indnesia (WNI).
Saya sengaja menyebut sebagai mantan WNI, karena bagi saya ketika mereka secara sadar memutuskan untuk bergabung dengan kelompok lain, yang nota bene mempunyai negara, maka konsekuensi logisnya pada saat bersamaan gugur pula status kewarganegaraan sebagai WNI. Bahkan lebih jauh orang-orang yang secara sadar ingin bergabung dengan ISIS itu sudah tidak lagi mengakui negara ini sebagai negaranya, plus pemerintahan yang sedang berkuasa.