Karena itu, menurut Grace Natalie yang juga Ketum PSI, bahwa terbongkarnya kelompok penebar kebencian berkonten SARA, Saracen ini sangat terkait dengan budaya literasi kita yang sangat rendah. Di mana dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih sangat rendah maka hal itu berpengaruh terhadap dua hal, yakni traditional literacyrate(tingkat melek huruf tradisional) dan digital literacy rate (tingkat melek digital). Dengan traditional literacy rate-nya rendah maka  (sudah) pasti digital literacy rate juga rendah. Jadi dengan tipologi masyarakat seperti itu, mereka kemudian menerima informasi (hoaks),  bereaksi, meresponi tanpa mencerna dulu dalam otaknya, apa masalah yang sebenarnya.
Kondisi tersebut berbanding lurus dengan mewabahnya budaya menebar kebencian berkonten SARA melalui berita hoaks dan fitnah yang lagi menjadi trend. Celakanya wabah 'penyakit latah', yang gampang percaya dan membagikan berita dan atau informasi hoaks tidak hanya menjangkiti kelompok sosial dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tapi hal itu sudah menular jauh sampai menjangkiti komunitas sosial terdidik dan intelek. Tidak sedikit dari orang-orang terdidik yang termakan provokasi sampah melalui berita dan atau informasi hoaks itu berasal dari kalangan akademisi.
Maka, saya tidak heran ketika menyimak pendapat Effendi Ghazali (yang katanya pakar komunikasi, tapi pendapatnya cenderung tendensius dan partisan) pada acara ILC yang membahas tentang 'kelompok bangsat' Saracen, dengan entengnya mengatakan  bahwa negara ini terlalu tegang dalam menghadapi isu Saracen. Bagi Effendi, kita (negara) tidak perlu menanggapi secara serius dan membesar-besarkan masalah Saracen ini.
Lain Effendi Ghazali (EG), lain pula Rocky Gerung (RG). Dalam kaca mata Rocky Gerung bahwa berita dan atau informasi hoaks itu juga penting, sebagai penyeimbang. Meski kedua orang ini (EG dan RG) juga sadar bahwa kebencian SARA, dalam teori sosial manapun, dipercaya berpotensi akan menimbulkan konfilk sosial yang sangat parah, sekaligus merusak keberagaman, kerukunan (toleransi), dan tenun kebangsaan sebuah negara.
Refleksi
Menghadapi skandal' Saracen itu, Grace Natalie mengajak kita untuk melakukan refleksi terhadap pelaksanaan Pilkada DKI 2017 kemarin. Menurutnya, bahwa kita harus jujur mengakui bahwa kontestasi di Pilkada DKI kemarin, isu agama menjadi alat atau komoditas untuk meraih kekuasaan (politik).
Memanfaatkan semua saluran (media) yang mempunyai daya jangkau yang nyaris tanpa batas, seperti facebook, WA, dan BBM untuk menyebarkan konten-konten yang berisi hoaks (berita bohong), maka akan sudah pasti mempunyai daya destruktifnya luar biasa besar. Apalagi kemudian diamplikasi dengan momen-momen pemilihan.
Karena itu Grace Natalie mengajak kepada semua elemen bangsa ini "agar menarik politik itu kembali kepada tempatnya yang mulia". Dengan kata lain politik harus dikembalikan pada 'khittahnya'.
Harus disadari bahwa fenomena Saracen, menemukan konteksnya ketika bertemu dengan nafsu politik yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Dan hal tersebut harusnya diberantas sampai ke akar-akarnya. Kita tidak perlu bersikap permisif terhadap pola tingkah kelompok yang kehilangan kewarasannya untuk mengoyak tenun kebangsaan kita.
Di akhir paparannya, Grace Natalie kembali berpesan, bahwa sebagai ibu dari anak-anak, dan juga semua orang yang punya anak, pasti ingin, anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang damai, toleran, dan menghargai kemajemukan. Karena kemajemukan itu adalah fakta (keras) di Indonesia. Dan harusnya bisa menjadi aset yang perlu dijaga dan dipertahankan bersama-sama. Â