Ulama dalam khazanah Islam dikenal sebagai pewaris para Nabi (waratsatul anbiya). Para Nabi dikenal sebagai orang yang sangat istiqamah dalam menjaga lisan dan akhlaknya. Antara kata dan perbuatan berjalan seiring dan paralel, tidak saling meniadakan, karena senantiasa dipandu langsung oleh kehendak di luar kehendaknya. Ketika seseorang yang telah mengklaim diri sebagai ulama, namun tak mampu menunjukkan identitas sesungguhnya sebagai ulama, maka itu hanya nonsense (omong kosong).
Bila seseorang mampu membakar semangat ‘pengikutnya’ untuk berjuang membela kebenaran, harus mampu pula menunjukkan contoh melalui sikap dan perilakunya. Tapi, ketika pengikut bersikap sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taati), sementara di sisi lain, yang berteriak mengajak malah menunjukkan sikap yang tidak sepatutnya maka hal itu memberikan sinyal buruk. Antara sikap dan perbuatan saling menegasikan.
Sinyal buruk mana akan memberikan implikasi terhadap semangat juang umat. Ketika ghirah (semangat membela) umat sedang berada pada titik kulminasi, namun pada saat bersamaan perilaku patron malah berbanding terbalik sehingga malah menghancurkan seluruh asa umat ke titik nadir. Umat merasa dibohongi di tengah meningkatnya kecintaan untuk mengikuti seluruh nilai ajaran yang dibawa para anbiya.
Publik seakan dipaksa untuk menyaksikan dan menerima realitas, yang tidak selalu memenuhi ekpektasi mereka. Ketika umat sangat mendambakan kehadiran figur agamawan (seperti ulama) yang mampu menghadirkan oase yang menyejukkan di tengah-tengah terik yang mendahagakan, potret yang terbentang di hadapannya malah menampilkan sisi yang sangat kontras dengan ekspektasi itu.
Integritas sebagai pewaris para Nabi, tak lebih dari lip service. Hanya manis di bibir ketika diucapkan, tapi setelah sampai di relung hati bercermin nurani yang bening bersih, malah memberikan gambaran yang tidak seluruhnya sempurna.
Kita boleh berdalih (apologie) untuk membela diri, bahwa sebagai manusia, yang padanya melekat sikap dhaif, maka mengharapkan padanya semua kesempurnaan ibarat meneguk air laut. Semakin diteguk semakin menambah dahaga.
Benar pula pameo itu, bahwa kelemahan itu milik manusia. Tapi jangan menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menjustifikasi naluri hewaniah, yang sesungguhnya harus mampu dikendalikan oleh kesadaran atas panduan moral agama.
Sayangnya hari ini umat disuguhi sebuah potret buram perilaku oarng yang mengklaim diri sebagai habaib. Tidak hanya menyangkut chat mesum tapi juga pembangkangan terhadap proses hukum yang sedang dijalankan sebuah institusi atas nama undang-undang.
Integriras? Di manakah kau berada?
Wallahu a’alam bish shawab
Makassar, 17/5/2017