Dengan sistem kekerabatan seperti itu malah menjadi kekuatan yang saling menguatkan antarkerabat. Masing-masing anggota keluarga (kerabat) merasa bertanggung jawab atas ‘keberadaan’ anggota keluarganya yang lain. Hal ini menjadi karakter atau jati diri sesungguhnya dari warga NTT. Di maan sesulit apapun kondisinya tetap memiliki etos kerja untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri sambil bersandar pada budaya guyub (rukun) yang menjadi nilai penguat kekerabatan.
Karakter merasa malu bila anggota keluarga (kerabat) yang mengalami kesulitan dalam hal memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi sangat kuat. Budaya guyub (rukun) yang senang bergotong royong dan ikut marasakan ‘penderitaan’ kerabat apalagi saudara merupakan sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi. Â
Dengan kesadaran seperti itu, maka antaranggota keluarga merasa berkewajiban dan bertanggung jawab turut menopang dan menjaga kelangsungan hidup anggota keluarga yang lain. Termasuk dalam hal memastikan setiap anggota keluarga (kerabat) mendapat pendidikan yang layak. Â
Karena itu meski hanya memiliki hubungan darah sebagai saudara sepupu, misalnya, akan tetap merasa terpanggil untuk ikut membantu kesuksesan pendidikan saudaranya hingga tuntas. Kondisi demikian, nyaris kita temukan pada komunitas sosial lainnya, apalagi berdomisili di kota-kota besar.
Harus pula diakui bahwa meski secara rerata taraf ekonomi warga NTT  masih berada relatif belum mapan, tapi hal itu tidak membuat ‘empati’ mereka menjadi mati. Antarkerabat masih memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pendidikan anggota keluarga dan kerabatnya. Karena itu, saya boleh bangga, meski berasal dari keluarga relatif biasa, sebagaimana umumnya warga NTT, tapi mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Â
Bila dilihat dan dibandingkan dengan tingkat atau taraf ekonomi yang relatif kurang mendukung serasa sulit untuk sampai pada kondisi seperti yang dialami warga dengan ekonomi yang sama di kota-kota besar. Makanya perlu secara jujur mengakui bahwa menjadi sebuah keheranan yang tak menemukan ujungnya, ketika saya mendapati sebagian anak-anak dari warga yang relatif kehidupannya sama dengan kami, warga NTT, tapi merasa ‘enggan’ untuk mendorong anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak. Apalagi hingga mencapai jenjang pendidikan tinggi.
Bukan Isapan Jempol
Kota tanpa ‘gepeng’ bukan merupakan isapan jempol belaka. Kesan guru saya yang diceritakan kepada  kami (saya) bukan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Karena apa yang disampaikan merupakan realitas sesungguhnya yang mencerminkan kondisi faktual yang dilihat dan dirasakan.
Penilaian terhadap fenomena ‘gepeng’ di Kota Kupang yang guru saya lihat dan amati itu terjadi pada era 1980-an. Kondisi tersebut bahkan sampai hari ini belum pernah berubah. Kota Kupang masih ‘steril’ dari fenomena penyakit sosial, di mana bebas dari warga yang tanpa merasa risih dan malu menjadikan mengemis sebagai profesi utnuk mendapatkan penghasilan.
Gambaran itu bukan sebagai ‘kamuflase’ untuk menutupi fakta yang sesungguhnya. Boleh jadi ada yang beranggapan bahwa mengingat saya juga menjadi bagian dari warga yang berasal dari NTT, sehingga ‘malu’ mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Terakhir kali saya menginjakkan kaki (kembali) di Kota Kupang pada Oktober 2015, fakta bahwa ‘Kota Tanpa Pengemis’ itu, masih tetap aktual. Bahkan hingga hari ini!