Bila imbuhan ‘pe’ dan ‘me’ itu dipasangkan pada kata dasar maka akan terbentuk kata benda dan kata kerja. Jika melihat konstruksi kata benda ‘pengemis’, maka seakan-akan kata tersebut terbentuk dari imbuhan ‘pe’ + (kata dasar) ‘ngemis’ atau ‘pe’ + (kata dasar) ‘emis’. Begitu pula dengan kata kerja ‘mengemis’, terbentuk dari imbuhan ‘me’ + (kata dasar) ‘ngemis’ atau ‘me’ + (kata dasar) ‘emis’.
Sekurang-kurang ada dua sumber yang sedikit memberi saya gambaran untuk menemukan kata dasar dari kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ itu. Salah satu sumber (kalipaksi) menyebutkan bahwa kata ‘pengemis’ atau ‘mengemis’ awal mulanya berasal dari kata ‘kamis’.
Dijelaskan bahwa pata tahun 1950-an di daerah pesisir Jawa Timur, berlangsung kebiasaan atau adat di mana pada hari Kamis, para pemuda sering mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengumpulkan sumbangan, yang selanjutnya akan dibagikan ke warga yang kurang mampu. Singkatnya bahwa kebiasaan mengumpulkan sumbangan itu dalam perkembangannya dikenal sebagai kegiatan ‘ngemis’, yang merujuk pada hari Kamis di mana kegiatan itu biasa dilakukan. “Kebiasaan yang berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa Jawa, Kemis), maka dari situ lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah di hari Kemis dengan sebutan ‘ngemis’.
Sumber lain (khalayak) menjelaskan bahwa kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ berasal dari kata dasar ‘emis’. Dicontohkan pembentukan kata ‘pengemis’ itu dengan menganalogikan dengan kata dasar ‘edar’ yang mendapat imbuhan ‘pe’, sehingga terbentuk kata ‘pengedar’. Dengan contoh seperti itu, maka kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ merupakan kata jadian yang terdiri dari awalan ‘pe’ + (kata dasar) ‘emis’. Begitu pula dengan kata kerja ‘mengemis’, terbentuk dari imbuhan ‘me’ + (kata dasar) ‘emis’.
Dengan demikian jika melihat konstruksi katanya, maka kata pengemis merupakan kata benda. Menurut fungsinya, sebuah kata dasar bila mendapat imbuhan ‘pe’ maka akan membentuk kata benda. Dengan demikian kata ‘pengemis’ merupakan gabungan kata kerja yang mendapat awalan ‘pe’ sehingga terbentuk kata ‘pengemis’ yang merujuk pada orang yang melakukan kegiatan mengemis.
Dalam perkembangannya kata ‘pengemis’ juga mengalami pergeseran makna. Di mana kegiatan mengemis dijadikan sebagai lahan untuk mendapatkan keuntungan finansial sebagai sebuah profesi. Sehingga pengemis diartikan sebagai “profesi yang sengaja menimbulkan belas kasih atau mengancam orang lain sehingga diberikan uang” (kompasiana.com).
Intinya mengemis adalah kegiatan untuk mendapatkan penghasilan dengan jalan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan kedok untuk mengharapkan belas kasih orang lain. Orang yang melakukan kegiatan mengemis inilah yang disebut pengemis.
Di kota-kota besar merupakan sebuah pemandangan yang lumrah bila melihat orang-orang yang berpakaian lusuh dan sangat bersahaja, bahkan berpura-pura nelangsa di tempat-tempat umum, berusaha tampil lugu dan mengiba-iba agar orang di sekitarnya menaruh welas kasih kemudian memberikan ‘sumbangan’ kepada mereka. Ada yang memang benar-benar secara kodrat fisik tidak mampu lagi berusaha menghasilkan sesuatu melalui sebuah pekerjaan normal. Dengan kondisi seperti itu maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukannya adalah dengan jalan mengemis.
Kondisi tersebut mungkin masih dapat dimaklumi. Tapi faktanya kegiatan mengemis dalam perkembangan telah mengalami ‘revitalisasi’. Maksud saya sengaja dimanfaatkan oleh orang-orang ‘kreatif’ untuk mendapatkan keuntungan tanpa harus berpeluh keringat melalui pekerjaan yang terhormat. Mungkin karena, melihat ‘prospek’ yang sangat menjanjikan sehingga ada orang yang bermental kemaruk, memanfaatkan momentum itu untuk mendapatkan keuntungan. Malah ‘profesi’ ini juga dijalankan secara terorganisir, di mana orang-orang ‘kreatif’ tersebut sengaja mengkoordinir dan memanfaatkan beberapa atau sebagian orang untuk mengemis, lalu mereka yang menikmati hasilnya.
‘Orang suruhan’ ini hanya berfungsi sebagai pekerja yang diberi imbalan tergantung berapa rupiah yang dapat dia kumpulkan dalam sehari. Mereka yang dimanfaatkan sebagai ‘orang suruhan’ ini terutama adalah anak-anak dan kaum perempuan (ibu-ibu/emak-emak dan nenek-nenek). Kelompok usia dan jenis kelamin inilah yang paling rentan dimanfaatkan dan dikadali oleh ‘orang kreatif’ itu.