Walikota Bandung, Ridwan Kamil (RK) telah menerima dukungan dan telah didelakrasikan oleh Partai Nasdem untuk maju sebagai calon gubernur Jawa Barat (Jabar) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang akan datang (yad). Deklarasi pencalonan Kang Emil (begitu RK biasa disapa) sebagai salah satu bakal cagub Jabar dari Partai Nasdem secara resmi telah dilakukan pada Ahad (19/3/2017) lalu.
Prosesi deklarasi Partai Nasdem itu dilakukan dengan sedikit unik. Di mana ketika akan hadir dan menuju lokasi deklarasi, Kang Emil diarak bagai pangeran. Berjalan dari kediamannya sekitar empat sampai lima kilometer, RK dengan didampingi Ketua DPW Partai Nasdem Saan Mustafa, diantar dengan ‘parade budaya’. Dan ketika kurang dari beberapa ratus meter dari lokasi deklarasi, Kang Emil diusung naik di atas sebuah ‘patung’ berbentuk kepala singa yang dipanggul oleh beberapa pemuda tegap yang merupakan kader dan simpatisan Nasdem (lihat di sini ).
Alur cerita berlanjut. Ketika dipersilahkan naik memberikan sambutan, Kang Emil malah ‘menyindir’ partai lain yang belum bergerak dan tergiur untuk menyatakan dukungan untuk mengusung dirinya. Dengan bertanya, Kang Emil berujar, ‘kenapa partai lain banyak pikiran” (baca di sini). Tentu saja sindiran RK ini ditujukan pula kepada partai yang mem-back up-nya ketika maju sebagai calon walikota Bandung.
Dua partai utama yang mengusung dan mencalonkan RK ketika Pilkada Kota Bandung pada tahun 2013, adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Jadi, seharusnya RK lebih sedikit menunjukkan praktek hihg politic, bila seandai sudah merasa ngebet untuk maju menjadi cagub Jabar. Paling kurang memberitahukan dan mungkin merembugkan tawaran Nasdem itu dengan duar partai pengusungnya, PKS dan Gerindra.
Tapi cara yang dilakukan Kang Emil sungguh mungkin tidak pernah terpikirkan oleh elit kedua partai pendukungnya itu. Dalam pandangan kedua partai pendukungnya, PKS dan Gerindra, RK tidak akan mungkin menujukkan praktek low politic.
Sayangnya fakta hari ini menunjukkan kondisi yang sebaliknya. RK seakan kurang menunjukkan etika yang baik, dengan terlebih dahulu datang untuk sowan dan meminta restu pada dua partai pengusungnya. Belum ada sinyal restu dari kedua partai pengusungnya itu, RK malah langsung menerima ‘pinangan’ Partai Nasdem.
Sehingga wajar bila Partai Gerindra merasa kecewa dengan langkah dan move politic Kang Emil. Gerindra dan juga PKS merasa seperti ditelikung begitu saja. RK dan Partai Nasdem sepertinya sengaja melakukan fait accompli.
Mestinya RK sadar bahwa Gerindra telah pernah mengalami peristiwa yang nyaris sebangun, ‘dilukai dengan sengaja’. Dan luka itu, belum sempat dan mungkin tidak akan pernah sembuh.
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, yang saat-saat ini di putaran kedua Pilkada DKI, mencoba peruntungan untuk kembali menikmati singgasana DKI-1, pernah meninggalkan pengalaman buruk bagi Gerindra. Meninggalkan luka yang membekas hingga kini.
Ahok yang maju mendampingi Jokowi sebagai cagub DKI pada Pilkada 2012 melalui kendaraan politik, Gerindra dan PDIP, malah tega lompat pagar dan secara sepihak menyatakan keluar dari Gerindra. Karena sikapnya tersebut sehingga pada Pilkada DKI 2017, membuat Gerindra tidak lagi memberi ‘tumpangan’ kepada Ahok.
Gerindra pantas merasa kecewa kepada Ahok. Jika tanpa perjuangan dan lobi Prabowo kepada Megawati, mungkin Ahok tidak akan dapat disandingkan dengan Jokowi, dan mungkin tidak akan dapat mengantarkan mereka berdua ke tampuk kekuasaan. Tapi, apa lacur, Ahok memberikan sebuah keniscayaan yang tak terduda. Meninggalkan Gerindra tanpa sedikit pun menyisakan apresiasi. Ahok membalas Gerindra tidak lebih dari, sebuah mimpi buruk.
Berkaca pada kasus Ahok, Gerindra mungkin menilai RK telah melakukan ‘pengkhianatan’. RK atau Kang Emil (dan juga Ahok) bagai anak durhaka, yang tak tahu membalas budi. Ibarat kata, ‘air susu dibalas dengan air tuba’. Bah, sungguh menyakitkan.
Akibatnya kemudian sudah dapat ditebak. Laiknya apa yang sudah ‘dirasakan’ Ahok, kondisi yang sama juga bakalan akan menimpa RK. Rupanya langkah politik RK, dinilai terlalu grasa grusu, tanpa mempertimbangkan etika politik, sehingga berdampak jauh.
Gerindra sebagai salah satu partai pendukung RK sebagai walikota Bandung pun ‘mutung’ dan ‘melempar muka’. Gerindra pun menutup pintu untuk RK (baca di sini). Peluang RK mendapat dukungan dari Gerindra sudah tertutup rapat.
Boleh jadi RK sudah mempunyai feeling bahwa Gerindra tidak akan bakalan mengusung dirinya. Sebab syarat agar RK dapat diusung kembali oleh Gerindra, yakni dia harus masuk menjadi anggota dan kader partai (lihat di sini). Jika RK tetap bersikukuh menjadi ‘orang bebas’, maka kesempatan untuk mendapat usungan dan dukungan dari Gerindra tidak akan pernah terwujud.
Karena itu RK harus dengan lapang dada dan berjiwa besar menerima kenyataan akan ‘ditinggalkan’ partai pengusungnya. Dan rupanya RK sangat menyadari konsekuensi politik yang harus dia terima terkait sikap dan langkah politik ‘meninggalkan’ partai pendukungnya itu.
Wallahu a’alam bish shawab
Makassar, 23/3/2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI