Walikota Bandung, Ridwan Kamil (RK), yang lebih familiar disapa Kang Emil, berang ketika mendapati sebuah cuitan yang mendiskreditkan dirinya. Cuitan itu berasal dari akun @detik.co. Di mana dalam akun tersebut si empunya akun menulis, "Pantasen aja @ridwankamil mesra sama nasdem. Ternyata anggota syiah laknatullah. #Antisyiahindonesia, #Antisyiah, #Syiahbukanislam" (sumber).
Merasa dituduh (baca : difitnah), Kang Emil pun bereaksi. Rabu (22/3/2017) kemarin seperti terlihat di layar TV, Walikota Bandung ini mengekspresikan kemarahannya atas tuduhan yang tak berdasar itu. Bahkan ia berencana untuk melaporkan akun yang telah dengan sengaja membuat memfitnah dan menyebarkan fitnah tersebut kepada pihak berwajib.
Tentu Kang Emil mempunyai alasan kuat sehingga berniat untuk mempolisikan si penyebar fitnah tersebut. Di satu sisi, reaksi Kang Emil untuk kepentingan subyektifnya, yakni membersihkan nama baiknya. Di pihak lain bahwa sikap dan reaksi walikota Bandung menyikapi fitnah paham syiah itu adalah untuk memberikan efek jera. Dengan melaporkan ke jalur hukum, maka kebiasaan dan hobi fitnah memfitnah ini, yang sejak Pilpres 2014 lalu, bagai cendawan tumbuh menjamur di musim hujan, dan telah menjadi virus yang berbahaya itu, dapat dihentikan.
Kebiasaan menggunjing, ghibah, mengolok-olok, sampai pada membuat berita hoaks menjurus fitnah telah menjadi hobi baru dari sebagian besar elemen bangsa ini. Pasca Pilpres, kebiasaan atau hobi baru ini malah menjadi trend, di mana gejala itu menunjukkan bahwa fitnah(isme) telah bertranformasi menjadi sebuah ideologi baru bagi sebagian orang.
Celakanya, pelopor dari ideologi baru ini adalah mereka yang tergolong sangat terdidik secara akademik. Bahkan pada batas-batas tertentu, yang menjadi corong untuk gerakan ideologi fitnah(isme) ini adalah mereka yang secara penampilan fisik lahiriah sangat alim (bila dilihat dari cara mereka berpakaian). Bahkan lebih jauh, kelompok ini adalah mereka yang mengaku dan mengklaim diri sebagai yang paling benar. Karena itu mereka merasa mempunyai otoritas untuk menentukan siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas ‘diterima’ menurut perspektif keagamaan mereka. Â
Nalar sehat mereka digadaikan hanya untuk memuaskan ‘birahi’ kebencian kepada suatu kelompok tertentu. Nalar yang sejatinya bersifat mulia, malah dengan sengaja dipaksa berpindah ke dengkul. Sehingga yang muncul adalah cara berpikir sesuka udelnya, bukan lagi mendasarkan logikanya dengan menggunakan akal sehat, tapi lebih nampak nafsu melampiaskan ‘birahi’ kebencian atas landasan prasangka dan asumsi.
Kang Emil sudah tepat bila menyikapi fitnah terhadap dirinya dengan melakukan upaya hukum. Hal itu bukan sekedar untuk membela diri sekaligus untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu adalah sebuah sikap zholim. Tapi sebagai sebuah pembelajaran agar tidak semau gue melakukan sebuah tindakan atas dasar prasangka dan asumsi. Jangankan prasangka buruk (su’udzon), untuk prasangka baik (husnudzon) saja agama menganjurkan untuk bersikap hati-hati.
Agama menekankan untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) dan konfirmasi untuk menguji kebenaran informasi yang diterima. Tujuannya agar kita tidak terjebak pada mental block. Mental mana, menyimpulkan sebuah gejala atas dasar referensi nilai dan standar sendiri, yang sangat mungkin, bias. Di mana referensi dan standar nilai tersebut terbentuk oleh alam bawah sadar karena terlalu sering terpapar oleh informasi-informasi yang diterima tanpa melakukan verifikasi, meski informasi tersebut diragukan validitasnya. Dengan begitu mudah menghakimi seseorang tanpa mengetahui validitas informasi yang akan disampaikan dan disebarkan. Apalagi tidak dilandasi logika berpikir yang benar.
Paham syiah sebagaimana dituduhkan akun @detik.co itu kepada RK atau Kang Emil pada beberapa tahun terakhir menjadi isu intoleransi. Bagi sebagian kelompok dari mayoitas umat muslim di negeri yang memiliki motto bhineka tunggal ika, yang menghargai keberagaman, baik suku, etnik, bahasa, ras, dan agama ini, paham syiah itu dianggap sebagai sesat. Syiah dinilai sebagai sebuah paham bertentangan dengan nilai-nilai pokok Islam. Syiah dinilai sebagai paham yang bukan merupakan bagian dari Islam.
Bagi sebagian kelompok umat muslim di negeri ini, haram bila bersentuhan dengan orang yang terindikasi paham syiah dan juga aliran lain di luar paham mainstream (ahlusunnah). Jangankan bersentuhan, mendengar nama syiah saja mereka sangat alergi. Sehingga siapa saja dari kelompok anak bangsa ini menurut perspektif mereka terindikasi berpaham yang berbeda dengan paham mainstream, maka harus ‘dijauhi’.
Karena itu, siapapun yang dipromosikan untuk sebuah posisi tertentu, apalagi di level pemerintahan, harus bebas dan bersih dari stigma paham sesat. Maka wajar, bila seseorang yang merasa ‘bersih’ dari sebuah paham atau ideologi yang disesat-sesatkan atas prasangka dan asumsi, berusaha untuk membela diri. Lepas dari ‘cara’ yang digunakan untuk membersihkan diri dari stigma buruk itu.