Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontradiksi SBY dalam Balada Penistaan Agama

2 Februari 2017   11:18 Diperbarui: 2 Februari 2017   11:25 5381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr : https://chirpstory.com/li/334785

Oleh : eN-Te

Pertarungan menjelang hari ‘H’ pemilihan Pilgub DKI 2017 semakin seru. Segala strategi dan taktik jitu dipasang dan dicobatandingkan. Termasuk pula berbagai ‘tipu muslihat’ juga dipertontonkan. Begitu pula dengan sikap politik yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan trend pergerakan dan estimasi ke mana bandul suara pemilih akan bergerak.

Tokoh-tokoh politik di balik layar juga turut mengambil peran ingin menentukan. Semua sumber daya yang diperlukan dan memungkinkan, akan dimobilisasi demi kepentingn memenangkan pertarungan. Meski semua cara itu tidak selamanya berkesuaian dengan adab dan etika (ber)politik.

Ilustrasi di atas memberikan setting untuk membaca kondisi pertarungan memperbutkan DKI 1 saat ini. Semua tokoh politik di balik layar tidak lagi malu-malu kucing memperlihatkan hasrat  untuk dapat terlibat memenangkan pertarungan itu. Maka berbagai cara dan strategi dicobabentangkan untuk mengukur magnitude keterpengaruhan terhadap gerakan bandul suara pemilih.

***

Pasca Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014 yang dimenangkan pasangan calon (paslon) Jokowi-JK, atmosfir politik ibukota, sebagai miniature Indonesia selalu memperlihatkan geliat yang nyaris membuat negeri ini centang perenang. Gosip, isu, rumor politik yang dibumbui berita hoax dan fitnah menjadi menu harian yang dicobakonsumsikan ke public. Publik dalam ketaksadaran tak mampu lagi mencerna ‘menu’ itu secara cermat seksama. Sehingga tanpa sadar, public kemudian terjepak pada sebuah kondisi pancaroba yang tak menentu. Lebih parah lagi, karena telah terjebak, sehingga kemudian tenggelam dalam arus pusaran yang nyaris tidak dapat dihindarinya.

Tampuk pimpinan ibukota yang ditinggalkan Jokowi kemudian beralihtangan. Ahok yang berpasangan dengan Jokowi ketika kontestasi Pilkada DKI 2012, naik pangkat dan dilantik menggantikan Jokowi sebagai nahkoda baru. Dan hal itu sesuai dengan mekanisme konstitusional yang selama ini berlaku dan dipraktekkan dalam system ketatanegaraan kita.

Mekanisme konstitusional ini sudah menjadi sebuah keharusan yang lazim dipraktekkan dalam system ketatanegaraan yang berlaku di negeri ini. Tetapi ‘durian runtuh’ yang diperoleh Ahok tidak serta merta membuatnya duduk nyaman di singgsana baru.

Berbagai kelompok entitas yang sejak awal bersikap resisten dan phobia terhadap kelompok minoritas, memasang kuda-kuda menolak Ahok sebagai Gubernur menggantikan Jokowi. Tak segan dan tak malu pula mereka harus melantik seorang ‘gubernur lain’ sebagai tandingan. Meski figure dan profil gubernur tandingan itu, secara lahiriah terkesan sangat lucu, lugu dan culun.

***

Kehadiran Ahok sebagai komandan  di ibukota telah membuka perspektif baru daam langgam mengelola birokrasi yang terbuka dan melayani. Di samping itu pula memberikan warna baru bagi praktek-praktek kepemerintahan yang sehat, jauh dari praktek kongkalikong. Masyarakat pun merasa manfaatnya dan memberikan tesmoni atas keberhasilan itu.

Sayangnya tidak semua pihak bersikap welcome dengan iklim baru tersebut. Kelompok-kelompok yang selama ini telah merasa nyaman dengan kondisi sebelumnya, malah merasa terusik. Ketika sang petahana berniat melanjutkan masa kepemimpinan untuk satu periode berikutnya, maka menyeruak ke permukaan resistensi bergelombang dari sebagian elemen masyarakat, terutama kelompok yang merasa ‘terpinggirkan’ karena kehadiran dan kebijakan Petahana.

Berbagai isu dicobamuntahkan ke public dengan harapan dapat mempengaruhi persepsi mereka. Bahwa apa yang dilihat dan dirasakan sebagai manfaat atas kepemimpinan Ahok adalah tidak lebih dari fatamorgana dan kamuflase. Tidak hanya menyangkut kepribadian petahana, tapi juga menggunakan nash-nash agama untuk mempengaruhi persepsi public.

Tapi semua strategi  itu sejauh ini, tidak cukup kuat untuk dapat menarik bandul keterjatuhhatian public terhadap kepemimpinan Ahok. Maka ‘perangkap’ pun dipasang untuk memantau setiap gerak-gerik dan polah tingkah Ahok. Kali-kali saja, dia kurang awas dan mawas diri sehingga alpa. Dan kesempatan itu datang, ibarat pucuk dicinta ulam tiba.

***

Ahok, yang dasar kurang dapat mengontrol lisan, kapan dan di mana dia berada, silap lidah menyinggung substansi larangan yang terkandung dalam surah al-Maidah ayat 51. Ketika hadir di Kepualauan Seribu, Ahok tanpa berdosa ‘menggugat’ keyakinan umat mayoritas di luar keyakinannya. Meski Ahok sendiri membantah bahwa apa yang dilakukan bukan bermaksud menodai atau menghina keyakinan tertentu, apalagi keyakinan dari umat mayoritas negeri ini. Akibat silap lidah itu, Ahok juga secara jantan menyampaikan permohonan maaf atas ‘keteledorannya’ itu.

Publik pun menjadi gempar, khususnya umat Islam. Lepas dari pemotongan video asli dari durasi sesungguhnya menjadi hanya beberapa detik saja, sehingga telah kehilangan konteks, sebagai penganut mayoritas, umat Islam kemudian tersadar. Bahwa ada sesuatu yang salah dari pidato itu. Meski reaksi umat kelihatan lebih dipengaruhi oleh ketersinggungan atas alas sentimen keagamaan. Sebab kemudian yang terjadi adalah gejolak yang bersifat reaktif, tanpa memahami substansi dan konteks pidato itu disampaikan.

***

Protes pun lahir. Berbagai komponen masyarakat Islam yang merasa keyakinan agamanya ‘dilecehkan’ bangkit dan bergerak. Satu tujuannya, meminta pertanggungjawaban Ahok.

Awalnya hanya berupa tuntutan pertanggungjawaban moral dan sosial. Tapi kemudian eskalasi amarah karena ketersinggungan itu meluas dan meninggi. Gelombang protes menjalar ke seluruh negeri. Laporan polisi pun menjadi sebuah opsi rasional untuk mengurangi eskalasi kemarahan akibat lisan Ahok.

Polisi pun bersikap. Semua laporan masyarakat terkait ‘insiden’ al-Maidah 51 ditindaklanjuti. Sayangnya dalam proses tindak lanjut polisi atas laporan kasus, yang terkenal dengan sebutan penistaan agama itu, umat kurang wise. Tidak ingin sedikit bersabar menunggu penyelidikan polisi.

Dalam kondisi rentan seperti itu, umat mudah sekali diprovokasi melalui upaya memanipulasi dan eksploitasi rasa keagamaannya. Hanya dengan satu istilah,  ghirah, maka emosi umat tersulut ke ubun-ubun. Soalnya dalam pandangan Buya Hamka, bahwa orang yang tidak lagi memiliki ghirah beragama, maka lebih baik (segera) memakai kain kafan saja. Tidak perlu lagi hidup, karena hidup sudah tidak mempunyai makna.

Datanglah pihak-pihak yang ingin meneguk di air keruh. Kondisi umat yang sedang bimbang, antara membela kepentingan agama, atau melihat permasalahan secara obyektif rasional dengan mempertimbangkan segala yang mungkin dapat menemukan rasionalisasinya, pun terjebak. Menolak berarti dicap sebagai tak berghirah, sementara di pihak lain, mendukung, akan dieksploitasi sikap keagamaannya tanpa disadari.

***

Polisi pun gamang. Dalam tekanan massa yang sangat massif, polisi pun ‘mengalah’. Apalagi ada penumpang gelap yang ingin memanfaatkan reaksi massa yang sedang tersinggung dan marah. Bahkan mantan Presiden SBY merasa harus pula memberi warning. Sayangnya warning yang diberikan itu, cenderung dibaca sebagai move politic untuk kepentingan politik anak dan dinastinya pada kontestasi Pilkada DKI 2017.

Sebagai mantan Presiden, SBY seharusnya lebih bersikap negarawan daripada politisi. Tapi dalam kasus penistaan agama yang melibatkan petahana, SBY malah silap lidah pula.

Terminologi lebaran kuda tiba-tiba menjadi sangat terkenal dan menjadi viral di dunia maya. Dan terminologi lebaran kuda kemudian ditafsirkan sebagai sebuah isyarat nyata kepentingan politik anak yang sedang diperjuangkan sang ayahanda tercinta. SBY tanpa sadar dan menduga, telah menggeser ‘maqomnya’, dari seorang negarawan menjadi seorang politisi an sich.

Satu kesempatan SBY selalu menekankan pentingnya menghormati hukum dengan tetap berpijak pada prinsip equality before the law, tapi dalam kasus penistaan agama, SBY kurang dapat menahan diri. Syahwat politik yang menjadi bagian inheren dari setiap individu, meski itu adalah manusiawi, tapi tidak dapat dikendalikan. Bukan malah menentramkan suasana yang lagi gaduh, SBY malah memperkenalkan istilah baru, lebaran kuda. Seghera lebaran kuda pun menjadi trending topic.

Konsistensi menjadi sebuah barang langkah. Hanya orang-orang yang sudah mencapai pada ‘maqom’ istiqomah, tidak akan mudah tergiur oleh kepentingan politik yang bersifat sesaat. Mereka lebih mengutamakan kepentingan negara bangsa yang bersifat jangka panjang, dari pada ego pribadi, kelompok nan partisan dan sektoral.

Kejadin pun berulang. SBY kembali menunjukkan sikap reaktif sebagai cermin nyata seorang politisi. Sikap sensitif menjadi sisi minus yang membuatnya terjebak. Merasa ditunjuk hidung sebagai penyandang dana dan penggerak unjuk rasa 411, SBY bereaksi. Lagi-lagi sikap reaktif ini membuat SBY terlihat kontradiksi.

Sikap yang sama tidak diperlihatkan SBY ketika lawan politik Ahok dilaporkan dalam kasus yang nyaris serupa. Penghinaan lambang dan ideologi negara tidak cukup seksi untuk menarik perhatian SBY. Juga masalah penistaan agama. Mantan Presiden ke-6 ini diam seribu bahasa. Kontras sekali dengan isu yang berkaitan dengan kepentingan politik dan citra diri.

Hal yang sebaliknya terjadi, sensi SBY kembali menyeruak ke publik ketika pasangan Agus dalam kontestasi Pilkada DKI, Sylviana Murni ditengarai memiliki rekam jejak bermasalah. Dua kasus sekaligus ditimpakan kepada Sylvi. Pembangunan masjid dan dana hibah Pramuka.

Merasa ‘serangan’ ini dapat meruntuhkan kredibilitas pasangan calon (paslon) 1, AHY-Sylviana, sang ayahanda pun turun gelanggang. Tiba-tiba, dari peraduannya, SBY mentweet cuitan ‘doa tweeter’, mengadu kepada Tuhan tentang berita hoax dan fitnah. Tak lupa pula SBY melalui cuitannya itu menyimpan prasangka terhadap rezim yang berkuasa sebagai sumber utama pembuat berita hoax. Kontras lagi sikap SBY. Di satu sisi SBY bersikap sangat ofensif mndesak pihak kepolisian untuk segera memproses kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, yang juga sebagai petahana kompetitor AHY, tapi pada saat lain bersikap defensif bila berkaitan dengan kepentingan politik anak dan citra diri.

Sikap defensif yang kontradikif itu semakin kentara ketika SBY menggunakan tangan Partai Demokrat untuk memproteksi paslon 1 dengan mengeluarkan pernyataan sikap. Isinya pun sudah dapat ditebak, menggunakan standar ganda (sumber).

Bahkan melalui Partai Demokrat, kader dan anggotanya berharap agar proses pemeriksaan terhadap Sylviana dapat ditunda setelah perhelatan Pilkada usai. Sementara dalam kasus Ahok SBY meminta kepada aparat hukum untuk segera memproses hukum demi tegaknya keadilan, tanpa harus menunggu sampai lebaran kuda.

Kontradiksi tidak berhenti sampai di situ. SBY kembali menunjukkan sikap kontrasdiktif defensif kemarin (Rabu, 1/2/17). Merasa ‘diusik’ oleh Penasehat Hukum (PH) Ahok dalam sidang penistaan agama, SBY merasa perlu melakukan konfrensi pers. Tujuannya adalah untuk memberikan klarifikasi atas perkembangan yang terjadi dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi fakta, yakni K.H. Ma’ruf Amin.

Alih-alih membuat semuanya menjadi terang benderang, SBY malah membuat publik menduga-duga bahwa memang betul ada percakapan yang terjadi antara beliau dengan K. H. Ma’ruf Amin. Soal materi percakapan itu terkait dengan situasi terkini menyangkut semua isu dan proses pilkada, itu menjadi hal yang lain.

Bahkan secara tersirat, SBY mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan klarifikasi terhadap kemungkinan lembaga negara terlibat dalam penyadapan telepon tanpa hak, karena hal itu merupakan tindakan ilegal. Bagi SBY tindakan penyadapan ilegal merupakan sebuah skandal, yang dapat menyebabkan sebuah rezim terjungkal. Malah pula SBY melempar isu pula dengan mengatakan bahwa ada pihak-pihak di lingkaran istana yang melarang Jokowi untuk bertemu dengan dirinya (sumber).

***

SBY akan berbicara dan segera bersikap  bila berkaitan dengan kepentingan politik dan citra diri. Padahal sebagai seoang mantan Presiden, SBY harusnya paham dengan geliat perkembangan dan kondisi perpolitikkan tanah air, yang selalu dibumbui isu, rumor, hoax, dan fitnah.

Dengan begitu, SBY harus dapat menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkan sikap-sikap reaktif emosional dan defensif. Lebih arif dalam membaca peta dan ‘cuaca’ politik yang fluktuatif tanpa harus bersikap sensi. Karena hal itu akan melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang merugikan. Bukan saja untuk citra diri, tapi juga akan memberi otimisme kepada anak bangsa dalam memperpanjang asa membangun negeri.

Sudah saatnya SBY lebih menonjolkan sikap kenegarawanan! Karena sikap-sikap kontradiksi akan mengurangi (mereduksi) ketokohannya sebagai mantan Presiden RI.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 2  Februari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun