Sikap defensif yang kontradikif itu semakin kentara ketika SBY menggunakan tangan Partai Demokrat untuk memproteksi paslon 1 dengan mengeluarkan pernyataan sikap. Isinya pun sudah dapat ditebak, menggunakan standar ganda (sumber).
Bahkan melalui Partai Demokrat, kader dan anggotanya berharap agar proses pemeriksaan terhadap Sylviana dapat ditunda setelah perhelatan Pilkada usai. Sementara dalam kasus Ahok SBY meminta kepada aparat hukum untuk segera memproses hukum demi tegaknya keadilan, tanpa harus menunggu sampai lebaran kuda.
Kontradiksi tidak berhenti sampai di situ. SBY kembali menunjukkan sikap kontrasdiktif defensif kemarin (Rabu, 1/2/17). Merasa ‘diusik’ oleh Penasehat Hukum (PH) Ahok dalam sidang penistaan agama, SBY merasa perlu melakukan konfrensi pers. Tujuannya adalah untuk memberikan klarifikasi atas perkembangan yang terjadi dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi fakta, yakni K.H. Ma’ruf Amin.
Alih-alih membuat semuanya menjadi terang benderang, SBY malah membuat publik menduga-duga bahwa memang betul ada percakapan yang terjadi antara beliau dengan K. H. Ma’ruf Amin. Soal materi percakapan itu terkait dengan situasi terkini menyangkut semua isu dan proses pilkada, itu menjadi hal yang lain.
Bahkan secara tersirat, SBY mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan klarifikasi terhadap kemungkinan lembaga negara terlibat dalam penyadapan telepon tanpa hak, karena hal itu merupakan tindakan ilegal. Bagi SBY tindakan penyadapan ilegal merupakan sebuah skandal, yang dapat menyebabkan sebuah rezim terjungkal. Malah pula SBY melempar isu pula dengan mengatakan bahwa ada pihak-pihak di lingkaran istana yang melarang Jokowi untuk bertemu dengan dirinya (sumber).
***
SBY akan berbicara dan segera bersikap  bila berkaitan dengan kepentingan politik dan citra diri. Padahal sebagai seoang mantan Presiden, SBY harusnya paham dengan geliat perkembangan dan kondisi perpolitikkan tanah air, yang selalu dibumbui isu, rumor, hoax, dan fitnah.
Dengan begitu, SBY harus dapat menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkan sikap-sikap reaktif emosional dan defensif. Lebih arif dalam membaca peta dan ‘cuaca’ politik yang fluktuatif tanpa harus bersikap sensi. Karena hal itu akan melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang merugikan. Bukan saja untuk citra diri, tapi juga akan memberi otimisme kepada anak bangsa dalam memperpanjang asa membangun negeri.
Sudah saatnya SBY lebih menonjolkan sikap kenegarawanan! Karena sikap-sikap kontradiksi akan mengurangi (mereduksi) ketokohannya sebagai mantan Presiden RI.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 2 Â Februari 2017