Oleh : eN-Te
Saya menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Inpres Watobuku, Lamakera. Lamakera adalah sebuah kampung pesisir di Pulau Solor Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur NTT.
Lamakera pada awal mulanya hanya merupakan sebuah desa. Tapi karena sekitar 1–3 km ke arah Barat sedikit mendaki di dataran tinggi ada sebuah kampung bernama Tanawerang. Karena Kampung Tanawerang ini masuk sebagai bagian teritori pemerintahan desa Lamakera, sehingga kemudian dengan melihat dari sisi jumlah penduduk, maka Desa Lamakera kemudian dipecah menjadi dua desa, yakni Desa Motonwutun dan Desa Watobuku. Kampung Tanawerang kemudian masuk sebagai bagian dari Desa Motonwutun. Namun dalam perkembangannya, Tanawerang kemudian ‘memisahkan’ diri membentuk daerah administratif sendiri menjadi Desa Tanawerang.
Meski demikian, hal itu tidak membuat warga Moton Wutun berkecil hati. Karena bagi kami, semua lembaga pendidikan (sekolah) itu milik bersama warga Lamakera, tidak hanya milik desa tertentu, meski sekolah tersebut terletak di Desa Watobuku.
Identitas yang kami bawa keluar tetap sebagai warga dan atau anak kandung Lamakera, tidak membawa nama desa. Tidak dikenal sebagai orang Moton Wutun atau Watobuku. Bagi kami sebutan sebagai orang Moton Wutun atau Watobuku hanya mereduksi identitas kami sebagai putra Lamakera, sesuatu yang menjadi identitas yang melekat kuat dalam nadi darah kami. Identitas kebanggaan yang di kenal di mana-mana oleh ‘orang luar’, bahkan sampai di tingkat Nasional.
***
Kembali ke topik! Hari ini negeri besar nan permai bernama Indonesia ini merayakan Hari Guru Nasional. Tepat 25 November (2016), hari ini, semua insan pendidikan meluangkan waktu untuk mengenang dan memberi apresiasi terhadap profesi guru.
Bentuknya, ya, dengan melaksanakan upacara bendera yang diadakan di lembaga-lembaga pendidikan, instansi pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan, pemerintah daerah, dan semua stake-holder pendidikan di seluruh Indonesia.
***
Dalam upacara itu diperdengarkan hymne guru sebagai bentuk penghargaan dan menggugah kesadaran kita untuk kembali mengenang jasa-jasa para Bapak/Ibu guru. Hymne yang sengaja digubah untuk memberi artikulasi, tidak hanya bersifat verbal, tapi mampu menyentuh kalbu bagi setiap insan yang pernah merasakan sentuhan guru.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan cendikia
***
Sebelum ada perubahan lirik pada kalimat terkahir pada bait kedua lagu Hymne Guru, lirik aslinya berbunyi “tanpa tanda jasa”. Karena lirik ini dinilai kurang memberi nilai apresiatif terhadap profesi guru, maka kemudian melalui kesepakatan dikeluarkan surat edaran PGRI mengenai perubahan lirik “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendekia” (lihat di sini).
Ketika lagu itu dikumandangkan, terasa ada ‘perih’ menusuk kalbu. Terkenang akan semua jasa para guruku, terutama di tingkat SD, yang telah dengan kesungguhan dan ketulusan tak berbatas, mengantarkan saya hingga ‘menjadi orang’ hari ini. Berkat ‘tangan dingin’ mereka, meski juga harus merasakan pula ‘kekerasan’, yang oleh pegiat HAM dan perlindungan anak hari ini menjadikan sebagai momok untuk ‘memusuhi’ guru.
Dalam ketersadaran itu, saya teringat dan terkenang kembali semua guru yang pernah hadir membimbing, mengajar, dan mendidik kami. Terutama di tingkat SD.
***
Tersebutlah ketika masih ‘bertapa’ di SD Inpres Watobuku, ada Kepala Sekolah kami yang sangat tegas dan sedikit keras, Achmad Kelake (entahlah, apakah beliau sudah almarhum atau belum, saya kehilangan jejak informasinya). Kesahajaan beliau, ketegasan beliau, telah mampu membuat kami, khususnya saya terinspirasi dan termotivasi untuk mewujudkan ‘harapan’ beliau.
Beliau dengan sangat telaten, tegas, dan penuh wibawa terus mengingatkan kami murid-muridnya, agar jangan pernah berkecil hati. Jangan takut bermimpi. Jangan khawatir menggadang asa.
Bukan hanya pada ‘jam wajib’ seperti yang berlaku sekarang sebagai syarat mendapatkan tunjangan profesi guru, Bapak Achmad Kelake, juga tetap menyediakan waktunya membuka les sore. Secara rutin mewajibkan murid-muridnya, terutama kelas atas (IV – VI) untuk hadir belajar di sore hari di sekolah. Benar-benar mencurahkan semua waktu dan tenaga beliau demi membuat kami ‘pintar’.
Tidak hanya itu, beliau juga tanpa ragu mengajari kami keterempilan bermain pingpong (tenis meja). Kebetulan beliau sangat mahir bermain tenis meja. Karena itu, dengan keterbatasan fasilitas yang ada, beliau berinisiatif membuat meja tenis, dengan dibantu kami muridnya menyulap delapan meja belajar dengan cara merapatkannya sehingga membentuk meja tenis. Beliau pun harus menguras kocek sendiri dengan membeli peralatan tenis meja, ya bola pingpong, net, dan juga bet. Sebuah ketulusan yang sangat jarang, bahkan nyaris tidak kita temukan di era sekarang.
***
Jejak yang baik ini kemudian diteruskan oleh guru-guru kami yang lain. Terutama di kelas atas, diserahkan kepada guru baru, yang berpindah tugas mengajar di sekolah kami. Salah dua dari guru tersebut, adalah Thomas Sili Tokan dan Pietrus (maaf, saya lupa nama lengkapnya).
Dua orang guru berlatar belakang nonmuslim, yang harus berbaur demi tugas mengajar menyiapkan kami, anak didiknya untuk ‘menjadi orang’ kelak di komunitas yang mayoritas, bahkan seratus persen muslim. Sekedar tahu, bahwa Lamakera merupakan perkampungan muslim, dan seluruh warganya beragama Islam.
Kedua guru kami ini, sebagai pendatang baru, awalnya ‘menumpang’ di rumah Kepala Desa dan rumah kenalan mereka. Setelah sekolah kami mendapat bantuan pembangunan rumah mess untuk guru, keduanya pun berpindah ke rumah mess itu.
***
Tentu saja masih banyak lagi guru-guru yang telah menginsipirasi dan memberikan ‘investasi’ yang luar biasa kepada kami. Selain guru-guru yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi guru-guru inspiratif lainnya di SD Inpres Watobuku Lamakera.
Ada Sirajuddin Shubuh, kami biasa menyapanya dengan sebutan Pa’ Shubuh. Ada guru agama (Islam) Ibu Maryam Usman, ada Ibu Hj. Hafsah Hasan, Bapak Syuaib Heba, Bapak Abdul Gani IR (keempatnya sudah alm/almh). Ada Bapak Ali Mustafa, di samping mengajar, beliau juga menjabat sebagai Kepala Desa Watobuku, dan masih ada yang lainnya, yang sayangnya saya sendiri kurang dapat mengingatnya kembali.
***
Di hari ini, di mana profesi mereka kembali dilirik, saya mengingat beliau-beliau, guru-guru kami (saya). Saya hanya berharap dan berdoa, semoga jasa dan pengabdian mereka tidak akan lekang dimakan waktu. Akan terus dikenang oleh kami, yang pernah merasakan sentuhan kelembutan hati mereka. Terima kasih guru-guruku, atas semua inspirasi dan motivasi mulia yang telah kalian curahkan untuk kami (saya).
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 25112016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H