Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Riwayat Ahok Berakhir?

16 November 2016   10:59 Diperbarui: 16 November 2016   11:11 3357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) POLRI, Selasa (15/11/2016), sejak pagi hingga malam, telah melakukan gelar perkara terhadap dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Rencana hasil gelar perkara tersebut akan diumumkan pagi ini (Rabu, 16/11/2016).

Hanya ada dua (2) opsi putusan dari gelar perkara yang dihadiri hampir semua kelompok kepentingan itu. Pertama, berdasarkan hasil ‘dengar’ semua kesaksian para pihak, baik dari pelapor dan terlapor, juga para saksi ahli, menunjukkan bahwa ada bukti kuat yang mengarah pada dugaan penistaan agama. Bahwa Ahok telah dengan sengaja melakukan tindakan pidana menodai dan atau menistakan agama dan kitab suci umat Islam. Karena itu, kasus yang diadukan pantas ditingkatkan ke level penyidikan.

Dengan keputusan tersebut maka pihak kepolisian harus bekerja lebih keras dan lebih lanjut untuk menyidik kasus ‘penistaan’ tersebut dengan memanggil kembali para pihak agar diperiksa guna melengkapi berkas penyidikan. Setelah semua berkas cukup dan memenuhi syarat maka akan langsung dilimpahkan kepada pihak kejaksaan.

Kejaksaan kemudian menidaklanjuti dengan melakukan proses peradilan dan menempatkan Ahok pada kursi pesakitan sebagai terdakwa. Di akhir proses peradilan setelah mendengarkan semua kesaksian oleh para pihak, termasuk saksi ahli, hakim kemudian memutuskan dan menvonis terdakwa, terbukti, 1)bersalah atau 2) tidak bersalah dan harus bebas demi hukum.

Kedua, berdasarkan semua kesaksian pada gelar perkara itu, penyidik kemudian memutuskan bahwa tidak cukup bukti yang meyakinkan untuk melanjutkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Artinya, dari semua penjelasan dan kesaksian para pihak, termasuk para ahli yang dihadirkan, baik dari pihak pelapor maupun terlapor, Ahok dinyatakan tidak terbukti telah melakukan penodaan dan atau penistaan agama. Dengan demikian, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Ahok harus ‘dibebaskan’ dari proses hukum lebih lanjut.

Atas dua opsi keputusan itu, semua pihak diharapkan menghormatinya. Meski dari dua opsi putusan ini, tidak ada yang sempurna. Karena ‘ketidaksempurnaan’ itu, sangat mungkin dan sangat berpotensi mendapat penolakan dari para pihak, baik pelapor maupun terlapor.

Proses tersebut adalah kondisi normal. Namun akan menjadi hal yang perlu disikapi secara hati-hati bila persoalan tersebut telah disusupi kepentingan lain, selain murni kepentingan penegakan hukum. Termasuk keputusan yang dihasilkan berdasarkan gelar perkara terbuka terbatas kemarin, bukan sebagai manifestasi lain dari tekanan dan intimidasi kelompok kepentingan tertentu, tetapi menjunjung tinggi supremasi hukum. Murni sebagai hasil keputusan hukum. Meski kasus ini muncul tidak terlepas dari beragam kepentingan yang telah saling berkelindan menjadi satu.

Mengingat sejak awal kasus ini sangat penuh dengan aroma kepentingan politik. Hanya setelah pidato menyitir surah al-Maidah 51 oleh Ahok di Kepulauan Seribu yang telah diedit dan dipotong oleh seseorang, yang mengaku mantan wartawan, dosen, dan jebolan Amrik pula, membuat status di akun facebooknya dengan kalimat bernada provokatif, maka sontak membuat atmosfir politik Nasional menjadi gonjang-ganjing. Kegaduhan pun melanda negeri. Tumpah ruah orang berjubah putih di jalan-jalan protokol ibukota, baik unjuk rasa (demonstrasi) pada 1410 maupun 411.

Kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan Ahok dengan serta merta ‘membonceng’ kasus tersebut untuk segera ‘melenyapkan’ Ahok dari peredaran kancah politik Nasional. Mereka kemudian bersatu padu dengan sebagian kelompok muslim garis keras, menyamakan dan menyatukan misi.

Targetnya juga jelas, menyasar Ahok yang sedang menggadang-gadang asanya mempertahankan singgasana DKI-1. Tujuannya juga sangat jelas, menghentikkan sekaligus mematikan karier politik Ahok. Pokoknya Ahok tidak boleh lagi eksis untuk mengaktualisasikan dirinya dalam ranah publik, khususnya ranah politik.

Sayangnya, publik Indonesia belum cukup dewasa dalam berdemokrasi. Menyikapi sebuah peristiwa politik dan sosial dengan kaca mata dan mata hati yang jernih dan obyektif. Ada-ada saja kepentingan dan tendensi politik subyektif sebagai pretensi yang membonceng di belakangnya untuk meraih asa (tersembunyi).

Ketidakdewasaan ini bukan hanya menjadi monopoli kaum awam, tapi juga ‘dirampok’ oleh kaum elit dan terdidik. Bahkan dalam banyak hal, terlihat begitu gamblang keawaman masyarakat akar rumput (grass root) dieksploitasi dengan cara memanipulasi sentimen keagamaan mereka. Nilai-nilai religiusitas umat dieksploitasi sedemikian rupa dengan cara-cara yang kadang mengangkangi akal sehat dan nurani yang bersih bening. Semua itu dilakukan karena nalar sehat dan nurani bening bersih itu telah dirasuki kebencian dan ditutupi kepentingan jangka pendek, meraih keuntungan secara politik.

Di sinilah dilema Ahok. Mungkin Ahok hadir pada waktu dan tempat yang salah. Dalam dinamika sosial politik Nasional seperti saat ini, yang masih berada pada tataran pragmatis(me), belum cukup jauh melangkah ke arah ideologis nan idealis(me), tipikal Ahok belum waktunya harus hadir dan berada di depan. Publik Indonesia rupanya belum cukup wise untuk menerima panorama keberagaman sebagai sunnatullah dan anugerah Allah SWT untuk umatnya. Umat dalam pengertian yang sangat luas, dalam perspektif etnis dan agama apapun.

Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, Ahok harus dapat menerima dan tidak boleh menafikkan kenyataan itu. Bahwa politik hukum kita belum cukup memberi perlindungan bagi semua kelompok masyarakat tanpa memandang etnis, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Dan pada persimpangan jalan inilah, ‘riwayat’ Ahok akan ditentukan. Akankah Ahok tetap ‘berkibar’, atau malah tenggelam dalam pusaran ‘tafsir’ yang tak tunggal, tapi malah menjebaknya, sehingga harus mengantarkannya menuju akhir ‘kepunahannya’. 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 16112016

Catatan : artikel ini ditulis sebelum Pengumuman Hasil Gelar Perkara oleh Polisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun