Oleh : eN-Te
Negeri ini, rupanya mungkin telah ditakdirkan menjadi negeri yang tak pernah bisa merajuk asa bersama dalam kemajemukan. Ada-ada saja peristiwa dan atau insiden yang menciderai kedamaian dalam kemajemukan itu. Beragam faktor telah menjadi alasan untuk menodai kemajemukan itu. Entah itu faktor ekonomi, sosial, politik, maupun agama. Tapi dalam banyak kasus, keragaman itu menjadi terusik hanya karena sentimen keagamaan dan politik. Semuanya bermuara pada satu titik, demi meraih kekuasaan.
Kekuasaan telah menjadi sebuah entry point untuk selalu bertikai. Kasus geger Dimas Kanjeng yang membuat publik Indonesia terhenyak adalah potret yang sangat jelas tentang faktor ekonomi dan sosial yang menjadi motif utama untuk meraih kekuasaan. Dengan cara ‘menipu’, Dimas Kanjeng dengan sangat lihai dapat mengumpulkan pundi-pundi kekayaan hanya dengan satu kalaimat sakral, ‘dapat menggandakan uang’. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya masyarakat pada level bawah (grass root) yang dapat dikelabui dengan sangat mudah, tapi merambah jauh sampai kepada kaum cerdik cendekia seperti tokoh ICMI dan MUI, Marwah Daud Ibrahim.
‘Penistaan’ ala Aa Gatot juga tak kalah mencengangkan. Hanya dengan bermodalkan label guru spiritual, ia dengan begitu mudah mengumpulkan para artis untuk ‘dibimbing’ di dalam padepokannya. Bimbingan dalam pengertian yang sangat luas, hingga dengan sangat leluasa Aa Gatot memperdayai sebagian muridnya. Termasuk memperdayai muridnya sehingga dengan sangat sukarela menyerahkan jiwa dan atau raganya sekaligus sebagai bentuk ‘persembahan dan ketataan’ kepada sang Guru.
Sayangnya, ‘penistaan’ ini baru terkuak setelah sang Guru tersandung pada kasus kriminal dan narkoba. Setelah semua sudah terjadi, bubur sudah menjadi nasi, eee salah, kebalik, nasi sudah menjadi bubur, para muridnya tersadar, bahwa ‘bimbingan’ yang diterima selama ini dari sang Guru dengan kedok agama hanyalah sebuah penipuan semata.
Begitu pula dengan Dimas Kanjeng. Tak mau kalah dengan senior-seniornya yang telah jauh malang melintang dalam dunia persilatan penipuan, Dimas Kanjeng juga mengadopsi pola yang hampir serupa. Maka dengan kedok agama pula, Dimas Kanjeng dengan lihai berkamuflase memiliki kesaktian, yang dalam istilah Marwah Daud sebagai bentuk kemampuan transdimensi, menjadi modus menipu ‘murid-muridnya’ dengan mantra penggandaan uang.
Jauh sebelumnya ada guru spiritual ala artis Eyang Subur. Kepincut dengan ‘kekeriputan’ sang Eyang, Adi Bing Slamet dan kawan-kawan (ABS, dkk) merapat, bersedia menjadi muridnya. Belakangan setelah belang sang Eyang ketahuan, rame-rame ABS, dkk., pun memutar haluan menjauh, bahkan meluapkan kekecewaannya dengan menyampaikan sumpah serapah kepada sang Guru. Lagi-lagi, modus yang digunakan juga sama, memakai kedok agama. Rupanya label sebagai guru spiritual sudah cukup ampuh untuk menaklukkan dan membuat calon murid bertekuk lutut.
Ada pula yang mencoba melakukan kamuflase memberi pengobatan ‘cespleng’ dengan mencampurkan praktek klenik dan takhayyul. Sang aktor pun berusaha bersalin rupa bagai ustadz agar dapat menarik ‘pasien’ untuk hadir berobat kepadanya sekaligus ‘dibaiat’ jadi murid. Dialah Guntur Bumi. Bermodalkan sorban yang melilit di kepalanya, Guntur Bumi menobatkan dirinya sebagai ustadz. Dengan label ustadz, maka masyarakat kita, yang secara umum masih terbuai dengan hal-hal yang bersifat simbolis, dengan mudah dan terlena serta percaya, kemudian datang berobat, meminta wangsit untuk kesembuhan.
Beragam penyimpangan dengan modus agama itu tidak membuat masyarakat dan publik Indonesia menjadi ngeh. Masyarakat kita yang masih belum jauh dari hal-hal yang bersifat klenik dan takhayyul, dengan begitu mudah menerima kehadiran para aktor bahlul itu, tapi juga menganggap biasa terhadap praktek-praktek menyimpang mengatasnamakan agama. Di sana dalam pandangan masyarakat awam, dan mungkin pula sebagian masyarakat terdidik negeri ini, apa yang dilakukan oleh aktor-aktor bahlul di atas adalah bukan manifestasi nyata dari sebuah penodaan dan atau penistaan agama.
Berbeda halnya dengan gonjang-ganjing yang membuat atmosfir politik dan sosial negeri hari-hari ini menjadi sangat gaduh dan tidak kondusif. Publik Indonesia, yang merasa mayoritas dari segi jumlah (kuantitas) seperti kebakaran jenggot hingga harus meluapkan amarah kebencian ketika seseorang yang telah dengan sengaja diidentifikasi sebagai public enemy memberikan reaksi manusiawi ketika ia merasa dalam kondisi tertekan dan tersudutkan.
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, mau atau tidak mau, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa atas ‘tafsir’ nyelenehnya telah menempatkan dirinya sebagai tertuduh tunggal atas dugaan penodaan dan atau penistaan agama. Lepas dari konteks dan redaksi ‘tafsir’ nyelenehnya tersebut, Ahok harus memaklumi kondisi aktual dan faktual hari ini, bahwa karena pidatonya telah memantik kemarahan yang luar biasa. Meski, dalam batas nalar, kondisi itu juga tidak terlepas dari motif politik dan kekuasaan.
Pidato nyeleneh Ahok kemudian diekploitasi sedemikian rupa untuk mengkapitalisasi rasa kebencian kepada Ahok secara personal, sekaligus Ahok dalam perspektif etnis dan agama. Ketidaksukaan yang bermanifestasi menjadi kebencian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi amunisi yang mematikan nalar sehat.
Mantra ajaib yang dapat mensugesti emosi publik pun dimuntahkan. Penodaan dan atau penistaan agama menjadi senjata yang paling memungkinkan dan ampuh untuk mematikan langkah maju eksistensi Ahok.
Ahok tidak menolak atas semua konsekuensi atas ‘tafsirnya’. Bahkan Ahok dengan tegas menyatakan kesediaan untuk ditersangkakan dan dipenjara (lihat di sini), bila seandainya melalui proses hukum yang fair dan berkeadilan, ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan penodaan dan atau penistaan agama.
Menjadi soal apabila proses hukum itu berjalan di bawah tekanan kelompok tertentu, meski mewakili suara mayoritas dari segi kuantitas. Karena seharusnya proses hukum yang fair dan berkeadilan tidak harus mendasarkan pada tekanan suara mayoritas.
Argumentasi di atas tidak serta merta menegasikan kemungkinan meluapkan kekecewaan dengan jalan unjuk rasa (demonstrasi). Akan tetapi, setelah wadah itu digunakan untuk menyampaikan aspirasi, hendaknya tidak lagi diikuti dengan luapan kemarahan sebagai refleksi rasa kecewa berikutnya yang berlebihan dan tidak proporsional. Apalagi harus diikuti dengan rencana demo-demo selanjutnya, yang hanya membuat masyarakat tidak mendapatkan manfaat dan kemaslahatan.
Pemerintah juga sudah menjamin dan memastikan bahwa proses hukum atas dugaan penoadaan dan atau penistaan agama ini akan terus berlanjut. Tapi, publik juga harus bersikap dewasa menerima jika setelah melalui proses hukum yang fair dan berkeadilan, bahwa secara faktual, tidak terbukti telah terjadi penodaan dan penistaan agama itu. Begitu pula sebaliknya, Ahok juga harus legowo menerima kenyataan bahwa konsekuensi dari sikap nyeleneh menafsirkan kitab suci agama lain akan berpotensi merusak angan-angannya.
Ketika publik Indonesia masih terpaku pada dugaan penistaan agama ala Ahok, kembali terjadi kasus yang sungguh sangat merusak nilai-nilai kemajemukan dan mengancam integrasi nasional. Atas alas fanatisme agama dan doktrin ‘menyesatkan’, telah membutakan mata beberapa pemuda sehingga melakukan pemboman tempat ibadah (gereja) agama lain. Lebih memiriskan hati dan bathin, ulah ‘penistaan’ agama ini malah menelan korban bocah-bocah tidak berdosa (lihat di sini). yang lagi sedang menikmati keceriaan masa kecil.
Sayangnya, ulah yang telah dengan sengaja ingin menghancurkan sendi-sendi kemajemukan dan keberagaman ini tidak otomatis diidentifikasi sebagai bentuk penodaan dan atau penistaan agama. Sehingga lantas kemudian juga memancing protes yang sama dari penganut agama yang telah didzalimi. Tapi rupanya hal itu tidak cukup membuat penganut agama yang telah terdzalimi bersikap murka. Malah menampakkan sikap sebaliknya sebagai bentuk 'memaklumi'.
Mungkinkah sikap ‘memaklumi’ ini karena penganut agama yang terdzalimi ini merasa minoritas dari segi jumlah? Padahal sangat jelas target penghancuran itu adalah tempat ibadah yang disucikan. Dan ini juga berlaku bagi tempat-tempat ibadah lainnya, termasuk masjid. Siapa pun, atas alasan apapun tidak mempunyai hak untuk menvonis agama dan atau tempat ibadah tertentu sebagai sesat dan tertolak.
Harusnya setiap penganut agama menyadari dan memberi respek terhadap setiap kepercayaan dan keyakinan orang (penganut) lain. Bahwa wajar bila seseorang atau penganut merasa agama yang dipercaya dan diyakininya sebagai agama yang paling benar dan diterima. Akan menjadi masalah bila seorang penganut agama tertentu kemudian lebih mempercayai dan meyakini agama orang lain yang paling benar dan paling diterima. Begitu pula, tidak elok bila ada orang atau penganut agama tertentu memaksakan kehendaknya agar kepercayaan dan keyakinannya diterima oleh orang lain.
Moral agama juga mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam (ber)agama. Hidup akan lebih terasa indah, bila setiap orang mau menerima dan mengakui eksistensi orang lain. Seperti firman Allah SWT, Q.S. Al-Kafirun, ayat 6, “Lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku).
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 14112016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H