Pidato nyeleneh Ahok kemudian diekploitasi sedemikian rupa untuk mengkapitalisasi rasa kebencian kepada Ahok secara personal, sekaligus Ahok dalam perspektif etnis dan agama. Ketidaksukaan yang bermanifestasi menjadi kebencian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi amunisi yang mematikan nalar sehat.
Mantra ajaib yang dapat mensugesti emosi publik pun dimuntahkan. Penodaan dan atau penistaan agama menjadi senjata yang paling memungkinkan dan ampuh untuk mematikan langkah maju eksistensi Ahok.
Ahok tidak menolak atas semua konsekuensi atas ‘tafsirnya’. Bahkan Ahok dengan tegas menyatakan kesediaan untuk ditersangkakan dan dipenjara (lihat di sini), bila seandainya melalui proses hukum yang fair dan berkeadilan, ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan penodaan dan atau penistaan agama.
Menjadi soal apabila proses hukum itu berjalan di bawah tekanan kelompok tertentu, meski mewakili suara mayoritas dari segi kuantitas. Karena seharusnya proses hukum yang fair dan berkeadilan tidak harus mendasarkan pada tekanan suara mayoritas.
Argumentasi di atas tidak serta merta menegasikan kemungkinan meluapkan kekecewaan dengan jalan unjuk rasa (demonstrasi). Akan tetapi, setelah wadah itu digunakan untuk menyampaikan aspirasi, hendaknya tidak lagi diikuti dengan luapan kemarahan sebagai refleksi rasa kecewa berikutnya yang berlebihan dan tidak proporsional. Apalagi harus diikuti dengan rencana demo-demo selanjutnya, yang hanya membuat masyarakat tidak mendapatkan manfaat dan kemaslahatan.
Pemerintah juga sudah menjamin dan memastikan bahwa proses hukum atas dugaan penoadaan dan atau penistaan agama ini akan terus berlanjut. Tapi, publik juga harus bersikap dewasa menerima jika setelah melalui proses hukum yang fair dan berkeadilan, bahwa secara faktual, tidak terbukti telah terjadi penodaan dan penistaan agama itu. Begitu pula sebaliknya, Ahok juga harus legowo menerima kenyataan bahwa konsekuensi dari sikap nyeleneh menafsirkan kitab suci agama lain akan berpotensi merusak angan-angannya.
Ketika publik Indonesia masih terpaku pada dugaan penistaan agama ala Ahok, kembali terjadi kasus yang sungguh sangat merusak nilai-nilai kemajemukan dan mengancam integrasi nasional. Atas alas fanatisme agama dan doktrin ‘menyesatkan’, telah membutakan mata beberapa pemuda sehingga melakukan pemboman tempat ibadah (gereja) agama lain. Lebih memiriskan hati dan bathin, ulah ‘penistaan’ agama ini malah menelan korban bocah-bocah tidak berdosa (lihat di sini). yang lagi sedang menikmati keceriaan masa kecil.
Sayangnya, ulah yang telah dengan sengaja ingin menghancurkan sendi-sendi kemajemukan dan keberagaman ini tidak otomatis diidentifikasi sebagai bentuk penodaan dan atau penistaan agama. Sehingga lantas kemudian juga memancing protes yang sama dari penganut agama yang telah didzalimi. Tapi rupanya hal itu tidak cukup membuat penganut agama yang telah terdzalimi bersikap murka. Malah menampakkan sikap sebaliknya sebagai bentuk 'memaklumi'.
Mungkinkah sikap ‘memaklumi’ ini karena penganut agama yang terdzalimi ini merasa minoritas dari segi jumlah? Padahal sangat jelas target penghancuran itu adalah tempat ibadah yang disucikan. Dan ini juga berlaku bagi tempat-tempat ibadah lainnya, termasuk masjid. Siapa pun, atas alasan apapun tidak mempunyai hak untuk menvonis agama dan atau tempat ibadah tertentu sebagai sesat dan tertolak.
Harusnya setiap penganut agama menyadari dan memberi respek terhadap setiap kepercayaan dan keyakinan orang (penganut) lain. Bahwa wajar bila seseorang atau penganut merasa agama yang dipercaya dan diyakininya sebagai agama yang paling benar dan diterima. Akan menjadi masalah bila seorang penganut agama tertentu kemudian lebih mempercayai dan meyakini agama orang lain yang paling benar dan paling diterima. Begitu pula, tidak elok bila ada orang atau penganut agama tertentu memaksakan kehendaknya agar kepercayaan dan keyakinannya diterima oleh orang lain.
Moral agama juga mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam (ber)agama. Hidup akan lebih terasa indah, bila setiap orang mau menerima dan mengakui eksistensi orang lain. Seperti firman Allah SWT, Q.S. Al-Kafirun, ayat 6, “Lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku).