Pasalnya karena khatib Jumat di Masjid Balaikota Makassar itu, rupanya dalam ‘orasinya’ merasa perlu menyinggung Ahok dan konsep kepemimpinan dalam Islam. Katanya, bahwa dia ingin menyitir ayat al-Qur’an, yang sangat jarang dijadikan materi khutbah atau ceramah, karena takut dicap sebagai oarng yang tidak demokratis. Karena dianggap ayat tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi.
Mendengar itu, sebelum dia menyebut nama Gubernur DKI Jakarta sekarang, feelling saya sudah mengatakan bahwa pasti ini akan merembet ke masalah Ahok. Dan benar saja, Ahok memang telah menjadi fenomena yang menggetarkan sebagian elemen bangsa ini. Maka kata-kata kafir, pemimpin kafir, dan istilah lainnya yang sangat stigmatis meluncur deras dari mulutnya.
Dalam salah satu khutbahnya, si Khatib menegaskan bahwa bagaimana mungkin mengharapkan penduduk negeri menjadi beriman, jika pemimpinnya saja kafir. Pada bagian lain si Khatib menyebutkan bahwa sejujur-jujurnya, seadil-adilnya pemimpin kafir, tetaplah dia seorang kafir. Jadi apa pun predikat ‘mulia nan baik’ yang dilekatkan pada kepemimpinan si kafir itu, tidak akan memberi kredit point atas ‘kebaikan’ yang telah dihadirkan. Kemudian meluncur deras isi khutbah yang sungguh sangat mendiskreditkan seseorang hanya atas alasan berbeda keyakinan.
Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan bergumam dalam hati mendengar khutbah Jumat itu. Mungkinkah sebagai rangkaian dari ritual ibadah (dua rukun khutbah Jumat merupakan pengganti dua rakaat sholat dhuhur), diisi dengan ceramah yang bersifat mencaci maki, mengumpat, dan menghujat? Â
Setelah dua kejadian itu, pertanyaan pun berkelebat dalam pikiran dan juga hati saya. Ini ada (gejala) apa? Ada masalah apa antara si pejabat itu dengan Ahok sehingga harus membawa-bawa nama Ahok dalam urusan saya? Mungkinkah, sedang muncul gejala massif, yakni ketakutan terhadap fenomena Ahok? Adakah getaran ‘perubahan’ yang ditawarkan Ahok di ibukota, akan merambah jauh sehingga membuat pejabat-pejabat dan juga khatib jumat yang ada di daerah merasa kegerahan?  Mungkinkah muncul gejala phobia, jangan-jangan fenomena Ahok ini akan melanda daerah sehingga membuat mereka juga menjadi tidak nyaman?
Konsep Pembangunan Ekonomi
‘Ahokbia’ merupakan istilah yang sengaja saya gabung dari kata Ahok dan phobia dengan mengadaptasi istilah-istilah yang sebelumnya dikenal publik. Misalnya sebuah konsep pembangunan ekonomi dengan orang (tokoh) yang mengembangkan konsep itu. Sebut saja, Habibienomic, merujuk pada konsep pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh mantan Presiden RI ke-3, B. J. Habibie. Atau sebelumnya, dikenal pula Hattanomic  (1), yang merujuk pada konsep pembangunan ekonomi berdasarkan pemikiran mantan Wakil Presiden RI ke-1, Mohammad Hatta.
Begitu pula ketika Presiden ke-6, Soesila Bambang Yhudoyono (SBY) menjalankan pemerintahan, yang dinilai cenderung memberikan proteksi yang berlebihan, sehingga muncul istilah Hattanomic (2). Hattanomic (2) merujuk pada konsep pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh rezim SBY, di bawah komando Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa pada saat itu.
Hatta-nomics (2), itulah istilah yang disematkan oleh Kevin O Rourke, pengamat ekonomi lulusan Harvard University, terhadap orientasi kebijakan ekonomi saat ini yang dinilai protektif, restriktif dalam perdagangan dan membatasi modal asing (sumber).
Sedangkan Hattanomic (1) versi Wakil Presiden RI ke-1, Mohammad Hatta, pada intinya adalah "memastikan tidak ada paria di Indonesia." Pandangan konsep pembangunan ekonomi Mohammad Hatta ini merupakan pengaruh pandangan Charles Fourier yang sering dikutipnya: nous voulons batir un monde ou tout le monde soit heureux (kami mau membangun dunia yang di dalamnya setiap orang bahagia). Karena itu, basisnya pemerataan ekonomi, keadilan sosial dan kemerdekaan abadi (sumber).
Habibienomics adalah istilah yang diberikan oleh Kwik Kian Gie terhadap konsep pembangunan ekonomi yang diajukan oleh Habibie awal tahun 90-an. Suatu konsep yang sebenarnya berasal dari ekonom-ekonom MIT dimana teknologi menjadi salah penggerak utama dari kemajuan (ekonomi) sebuah bangsa (sumber). Istilah "Habibienomics" pertama kali ditawarkan oleh pengamat ekonomi terkemuka Kwik Kian Gie dalam harian Kompas 3 Maret 1993 dengan tulisannya berJudul "Konsef Pembangunan Ekonomi Prof. Habibie" (sumber).