Geger tafsir surah al-Maidah ayat 51 ala Ahok sudah mulai sedikit redah. Kondisi ketentaraman itu kembali menghadirkan rasa sejuk dan nyaman. Alhamdulillah, atmosfir politik dan sosial Indonesia, dan ibukota khususnya, sudah mulai adem kembali, setelah sebelum sempat hangat dan memanas akibat ‘ulah’ Ahok menyentil al-Maidah 51, setelah ada inisiasi meminta maaf. Ulah mana oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai ‘penistaan agama’ dan atau kitab suci Al-Qur’an.
Lepas dari ‘niat’ Gubernur DKI Jakara Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok tulus atau tidak, inisiasi meminta maaf itu telah memberi kontribusi dalam menciptakan rasa damai dan merekatkan kembali rasa persaudaraan demi  persatuan dan kesatuan bangsa. Meski tidak sedikit pula yang merasa belum puas dan ragu dengan permintaan maaf itu. Karena itu, apapun alasannya mereka mendesak agar pihak kepolisian untuk tetap melanjutkan memproses pengaduan mereka tentang ‘penistaan agama’ itu.
Kita menghargai pihak-pihak yang masih bersikeras ingin menghukum Ahok. Silahkan melanjutkan misi ‘mengejar’ Ahok dan mudah-mudahan pihak penegak hukum dapat berlaku adil dalam menegakkan kebenaran itu. Â
Kita juga tidak ingin memaksa orang untuk dengan kerendahan hati pula mau menerima permintaan maaf seseorang karena telah melakukan sebuah ‘keteledoran’. Apakah ‘keteledoran’ itu dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Satu hal yang perlu dipahami bahwa, seseorang dapat saja berbuat ‘teledor’, karena sudah merasa gerah dengan segala provokasi hingga tak mampu lagi menyanggah beban tekanan. Begitu pula dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI 2017.
Jauh sebelum hingar bingar perhelatan Pilkada DKI 2017, resistensi terhadap Ahok sebagai orang yang dilahirkan beretnis Tionghoa (China), dan juga beragama Kristen (non-Islam/nonmuslim) sudah mengemuka dan menggema di ruang publik. Saking gaduhnya mempersoalkan identitas Ahok ini, hingga menimbulkan riak-riak pada atmosfir politik nasional, yang merembet pula pada harmonisasi interaksi sosial. Sampai pada puncaknya, Ahok harus keseleo lidah, melakukan ‘penistaan agama’ sebagaimana yang dituduhkan.
Pihak-pihak yang selama ini menunggu di tikungan, memanfaatkan momentum itu untuk ‘memenjarakan’ Ahok. Maka permintaan maaf yang telah dirilis pun tak berarti apa-apa. Penolakan ini bukan semata masalah ‘niat’, tapi lebih jauh karena masalah identitas Ahok, yang China lagi ‘kapir’.
Meski masih ada kelompok yang menolak permintaan maaf karena meragukan niat Ahok, kita patut mengangkat topi untuk sebuah keberanian menyatakan sikap. Sikap lebih mementingkan kemaslahatan bersama daripada mempertahankan ego hanya semata karena alasan politis.
Berbeda jauh dan mungkin sangat jomplang antara sikap yang diperlihatkan Ahok yang China lagi ‘kapir’ ini, dibandingkan dengan sikap seorang Buni Yani, yang telah dengan sengaja memantik api ‘permusuhan’. Buni Yani yang beridentitas ‘pribumi’ penganut agama mayoritas penduduk negeri ini, ternyata seseorang yang bernyali kecil dan sangat tidak jantan.
Buni Yani merasa tidak bersalah sedikitpun. Bahwa karena ulahnya memotong dan kemudian memosting video pidato Ahok mengenai tafsir surah al-Maidah 51, sehingga membuat negeri ini hampir berada di ujung jurang. Bahkan sambil memelas, ketika hadir pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) pada Selasa (11/10/2016), Buni Yani masih mencoba mengelak. Padahal dia sendiri menurut pengakuannya merasa khawatir dan takut akan ‘dipolisikan’ karena peristiwa vedio pidato Ahok itu, akan tetapi tidak ada sedikit keluar pernyataan penyesalan dan memohon maaf (baca di sini). Â
Buni Yani, yang mengaku sebagai mantan wartawan Tempo, jebolan Amerika, dan juga dosen, tapi rupanya nyalinya hanya secetek. Dengan ‘polosnya’, Buni Yani mengaku bahwa dia gemetaran ketika dia dan pengacaranya mendatangi kantor polisi untuk melaporkan balik kelompok pendukung Ahok yang telah melaporkan dia ke polisi.
Menurut Buni Yani, ia merasa sangat khawatir karena akibat postingan memelintir video pidato Ahok yang telah dipotong dari durasi aslinya, sehingga harus ‘dipolisikan’. Buni Yani mengaku, gemetar ketika ia bersama tim kuasa hukumnya juga membuat laporan balik terhadap Komunitas Muda Ahok Djarot (Kotak Adja).
Hanya saja pengakuan Buni Yani sangat perlu diragukan niatnya. Mengingat ia adalah seorang jurnalis dan wartawan dari sebuah majalah nasional sekelas Tempo. Belum lagi bila menilik profilnya, dengan latar belakang pendidikan luar negeri, jebolan Amerika, serta sebagai seorang dosen. Kok mengaku malah takut berhadapan dengan polisi?
Lebih membuat kita gemas adalah, meski mengaku takut berhadapan dengan polisi (penyelidik dan penyidik), tetapi sikap Buni Yani sungguh di luar ekpekatsi publik dan pemirsa TV One pada acara ILC itu. Tidak ada sedikit pun muncul semburat rasa penyesalan dan kemudian meminta maaf atas kegaduhan yang tidak lepas dari ulahnya.
Sangat berbeda sekali sikap yang ditunjukkan Buni Yani ketika hadir di ILC itu dengan apa yang ditunjukkan di luar. Bahkan dengan sesumbar Buni Yani menantang menyatakan siap meladeni tuntutan itu (lihat di sini). Tidak hanya sampai di situ, Buni Yani bersama timnya juga sudah membuat laporan polisi terhadap Kotak Adja dengan delik pencemaran nama baik (lihat di sini). Â
Soal saling lapor melaporkan ini kita serahkan kepada mereka yang berkompeten untuk mengurai benang kusut itu. Siapa yang paling benar dan jujur dari heboh surah al-Maidah 51 ala Ahok ini kita hanya bisa menunggu dan berharap. Berharap agar masalah ini tidak merembet jauh sampai harus mengorbankan keutuhan dan kebhinekaan bangsa dan negara tercinta ini. Keberagaman ini sangat terlalu mahal dikorbankan hanya karena kepentingan politik sesaat dan bersifat sementara.
Tapi satu hal yang pasti, adalah setelah Ahok meminta maaf karena dugaan telah melakukan penistaan agama (qur’an), publik juga menunggu dan berharap sikap yang sama juga ditunjukkan Buni Yani. Apakah seorang Buni Yani dengan semangat ingin membela kebenaran Islam, mau juga ‘merendahkan’ diri untuk meminta maaf kepada publik. Bahwa gegara ulahnya pula, negeri ini hampir saja menjadi centang perenang. Spirit Islam yang menjadi semangat perjuangannya Buni Yani, dan juga saya sebagai seorang muslim, adalah berbesar hati secara terbuka dan jujur mau mengakui kesalahan dan memohon maaf. Soal apakah setelah meminta maaf itu, akan bersambut atau tidak, itu soal lain.
Saya yakin, setiap mereka yang mengaku beragama, pasti akan tidak tega membiarkan seseorang yang telah menjulurkan tangan meminta maaf, kemudian tak mengulurkan tangan menyambut baik permintaan maaf itu. Kebesaran jiwa dan kelapangan hati jauh lebih penting daripada mengorbankan kedamaian hati hanya karena rasa sumpek sesaat. Karena itu, Buni Yani harus menunjukkan itikad baik dan kejujuran agar mau mengikuti jejak Ahok, meminta maaf pula. Tidak peduli siapa yang salah dan benar dalam kisruh pidato nyeleneh di Kepulauan Seribu yang memantik geger itu.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Oleh : eN-Te
Makassar, 13102016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H