Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, Sylviana Murni mulai 'pintar'. Isu-isu yang harus dilontarkan ke publik pun mulai jelas dan menukik. Begitu pula, sasaran tembak yang harus diarahkan.
***
Cawagub yang diusung Poros Cikeas ini mulai memilah-milah dan secara spesifik mengidentifikasi isu yang harus diangkat dan dijual ke publik. Isu-isu yang menjadi perhatian publik mulai masuk dalam radar, kemudian diolah sedemikian rupa untuk mengaduk-aduk rasa dan sentimen pemilih.
Dengan menfokuskan perhatian pada isu-isu yang lagi menjadi perhatian publik (masih seksi), akan dengan mudah memanipulasi sentimen dan emosi pemilih untuk melihat dan membedakan calon pemimpin mana yang lebih mempunyai interest terhadap kepentingan mereka. Ketika emosi dan dahaga pemilih sudah dapat dimanipulasi, maka meski itu masih berupa fantasi, hal itu dapat meningkatkan semangat juang (fight spirit) dan menambah kesiapan maju ke arena pertarungan. Apalagi arena pertarungan itu, adalah semacam Pilkada DKI sebagai etalase negeri.
Magnitude akan semakin jauh, bila isu yang dilontarkan itu berkaitan dengan kebijakan calon kompetitor. Akan lebih heroik lagi bila isu itu langsung tepat menyerang sasaran. Yakni berkaitan dengan performa dan kinerja, khususnya gaya kepemimpinan sang calon kompetitor. Dan akan semakin 'seru' bila berkaitan dengan profil dan kepribadian calon lawan yang menjadi kompetitor nanti. Apalagi calon kompetitor itu merupakan calon petahana, yang kebetulan sedang menjabat, yang berniat hendak melanjutkan kekuasaannya pada periode kedua.
***
Cawagub Poros Cikeas ini rupanya sangat memahami psikologi publik. Mengingat ia merupakan seorang akademisi dan seorang guru besar yang berlatar pendidikan doktor. Jadi sudah pasti sangat tahu mengenai teori-teori komunikasi, dan trik-trik agitatif untuk memanipulasi perasaan publik.
Dengan setting psikologi massa atau publik seperti yang dipahami, ditambah dengan momentum atmosfer dan suhu politik di ibu kota yang lagi menanjak naik, maka Sylviana Murni sudah mulai menabuh genderang perang. Meski dia sendiri menyadari bahwa isu yang akan dilempar dan dijual ke publik berpotensi dapat menyerang balik dirinya. Tapi, dalam 'kesadarannya', Sylvi mungkin berpikir, pantulan itu tidak akan terlalu berdampak.
Bagi Sylviana, yang utama adalah memproduksi isu dan menjajakan ke publik. Apakah isu itu dapat menyentak kesadaran publik dan pemilih untuk melihat dan meneropong dengan jelas fakta yang ada, kemudian menilai, dan menentukan pilihan, tinggal dilihat reaksinya.
***
Bakal Cawagub Poros Cikeas, Sylviana Murni ketika diundang mengisi sebuah diskusi (politik) di Menteng Jakarta Pusat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyerang calon kompetitornya. Dan sangat kebetulan calon lawan atau kompetitornya itu, merupakan mantan atasannya dan juga sedang merawat asa maju bersaing di Pilkada 2017.
Dalam 'penerawangannya', menurut Sylviana, isu yang paling pas ditembakkan sebagai mesiu ke arah petahana adalah menyangkut program dan kebijakan yang sedang berjalan. Maka kebijakan dan program reklamasi teluk Jakarta menjadi atensi khusus Cawagub Poros Cikeas ini untuk diolah menjadi mesiu dan ditembakkan ke arah mantan atasannya. Tidak hanya itu, soal lain yang ikut pula 'digugat' adalah mengenai kebiasaan sang petahana yang hanya melihat kondisi lapangan dari kantor secara digital (sumber).
***
Program reklamasi yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, yang banyak mendapat 'tentangan', bagi Sylviana merupakan kesalahan strategi Pemprov, tidak hanya dalam implementasi, tapi juga menyangkut tahap perencanaan. Termasuk dalam tahap perenacanaan itu adalah berkaitan dengan masalah kajian.
Menurut Sylviana, proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sudah berjalan kemudian terhenti, karena mendapat 'perlawanan' dari berbagai pihak, karena kurang melibatkan partisipasi semua kelompok. Paling kurang ada tiga elemen yang harus dilibatkan secara partisipatif jika menginginkan proyek dan program reklamasi itu dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Ketiga elemen itu, antara lain yakni pemerintah (pusat dan daerah), pihak swasta, dan masyarakat (sumber).
Sampai di situ kita dapat memahami alur pikir Sang Cawagub ini. Akan tetapi, akan menjadi lucu bila mengaitkan posisinya sebelum mengundurkan diri dari pejabat Pemprov DKI karena dipinang menjadi salah cawagub.
Sebab ketika proyek itu sedang dalam pembahasan dan perencanaan, pasti Sang Cawagub juga turut terlibat dalam proses sejak awal. Ya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga nanti tiba pada tahap evaluasi.
***
Jelas bahwa ketika pada tahap perencanaan yang dimulai dengan melakukan kajian pasti Sylviana sangat tahu dan paham semua tahapan proses. Termasuk dalam hal alasan rasional dan latar belakang menunjuk pihak swasta Belanda untuk melakukan kajian, bukan swasta (orang) Indonesia. Dan sebagai seorang pejabat eselon di Pemprov DKI, pasti sangat tahu dan paham, mengapa bukan swasta (orang) Indonesia yang ditunjuk untuk melakukan kajian proyek reklamasi itu, tapi pihak (orang) Belanda.
Adalah menjadi tidak relevan hanya karena momentum kampanye Pilkada, Sang Cawagub malah sekarang berkoar-koar 'menggugat' pelaksana kajian proyek reklamasi. Sebab, penunjukkan pelaksana kajian proyek reklamasi yang dimenangkan pihak swasta (orang) Belanda, bukan merupakan faktor kepentingan lebih mengutamakan pihak asing. Tapi hal itu berdasarkan latar belakang dan pengalaman pihak Belanda yang telah mempunyai pengalaman yang sangat teruji dan terbukti (best practice) mengenai soal reklamasi.
Penunjukkan pihak Belanda tidaklah bermaksud mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, tapi karena pertimbangan best practice. Jadi, mempertanyakan soal siapa pelaksana kajian, apakah orang Indonesia atau orang Belanda, bukan menjadi topik yang harus diperdebatkan kembali, meski untuk jualan kampanye. Apalagi mengangkat isu reklamsi itu hanya karena pertimbangan untuk menyindir atau menyerang lawan tanding (sumber).
***
Rupanya Pemprov DKI menunjuk dan atau menggandeng Belanda untuk melakukan kajian reklamasi bukan tanpa alasan. Menurut Pemprov DKI, bahwa pemilihan Belanda, karena negeri tersebut punya pengetahuan, teknologi, dan pengalaman dalam melakukan reklamasi, dan pusat logistik pelabuhan (sumber). Menurut Gubernur DKI, yang juga merupakan salah satu bakal cagub, sekaligus calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama (BKT) alias Ahok, bahwa, “Untuk membangun ini (reklamasi dan pusat logistik pelabuhan, -pen) bukan hanya biaya yang kita butuhkan tapi juga pengalaman.” (sumber).
Lagipula dibandingkan dengan pengalaman dan teknologi, kemampuan SDM Indonesia belum sebanding dengan pengalaman dan teknologi yang dimiliki Belanda. Mereka mempunyai best practice yang sudah teruji dan terbukti. Sementara Indonesia belum memiliki, tidak hanya pengalaman, tapi juga menyangkut kemampuan skill dan teknologi.
Mestinya, Cawagub Poros Cikeas ini menyadari sebelum mengeluarkan amunisi, mengingat dia juga merupakan bagian inheren dari Pemprov DKI ketika proyek reklamasi itu digagas. Bukan setelah semua sudah berjalan, kemudian karena ada riak-riak menolak, itu pun setelah ada momentum Pilkada DKI, baru kemudian mengeluarkan uneg-uneg. Terlambat atuh!
***
Hal lain yang tak luput pula dari menyasar lawan tanding adalah menyinggung masalah kriteria pemimpin yang baik. Menurut Cawagub Poros Cikeas ini, bahwa pemimpin yang baik itu adalah mereka yang mau turun langsung menemui warga dan melakukan tatap muka dengan warga secara intens. Bukan hanya melihat kondisi lapangan di kantor secara digital (sumber), tapi harus berada di tengah masyarakat.
Dengan berada dan berbaur di tengah dan bersama warga masyarakat, seorang pemimpin dapat menyelami perasaan dan keinginan (aspirasi) mereka. Sehingga ketika program yang bersentuhan dengan hajat hidup warga, dapat diidentifikasi dengan jelas, berikut merumuskan solusinya secara tepat. Tapi, bila seorang pemimpin enggan turun ke bawah (turba), dan hanya mengandalkan laporan visual secara digital, maka akan berpotensi terjadi manipulasi (rekayasa laporan).
Lebih buruk lagi bila seorang pemimpin hanya mengandalkan laporan dari bawahannya. Bersikap pasif dan menunggu laporan, tidak berusaha secara aktif dan proaktif melakukan tinjauan ke lapangan untuk melihat realitas sesungguhnya yang dialami dan dirasakan warga, akan memunculkan budaya asal bapak senang (ABS). Karena sikap menunggu laporan akan membuka potensi memanipulasi laporan ABS. Dan hal itu bila dibiarkan berlangsung akan menjadi sesuatu yang dianggap lazim.
***
Tapi harusnya sebagai mantan Pejabat eselon Pemprov DKI, seorang Sylviana pasti tahu bahwa metode yang diterapkan oleh Ahok tidak asal mengandalkan laporan visual berbasis digital. Dalam berbagai kesempatan hajatan warga, berupa kawinan, sang petahana juga tak lupa hadir dan malah menyisihkan sebagian dari dana operasionalnya untuk kepentingan membeli 'kado'. Hal itu juga mesti dilihat sebagai salah satu strategi menyambangi warga langsung ke lapangan untuk menyerap, menyelami, dan merasakan perasaan dan keinginan (aspirasi) warga. Fakta itu juga menggambarkan sisi kemanusiaan (humanisme) seorang petahana.
Begitu pula dengan kehadiran langsung sang petahana untuk meresmikan berbagai program Pemprov yang bersentuhan langsung dengan kehidupan warga. Meski ketika hendak menghadiri dan meresmikan sebuah proyek dan atau program Pemprov yang telah rampung, sering kali menyeruak isu demo menolak, tapi hal itu tidak membuat Ahok surut langkah. Bagi Ahok, resistensi warga yang berusaha menolak kehadirannya, merupakan dinamika yang wajar dalam demokrasi.
Tapi, fakta pula membuktikan bahwa ternyata isu demo itu lebih banyak merupakan isapan jempol semata, daripada kenyataan yang terjadi. Mobilisasi massa untuk melakukan demo menolak kehadiran Ahok, ternyata tidak didukung oleh warga. Dalam banyak kasus, mobilisasi itu lebih banyak gagalnya daripada diikuti warga.
***
Bahwa metode laporan berbasis digital yang dipadu dengan metode menyambangi langsung warga adalah dua kombinasi apik untuk mengukur dan mengetahui nadi kehidupan warga. Dengan metode digital, maka memungkinkan setiap kejadian dapat terlaporkan secara cepat, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, laporan itu dapat direspons dengan sigap pula. Pertimbangan lain adalah masalah kepraktisan, efisiensi dan efektivitas. Baik berkaitan dengan laporan, analisis masalah, dan solusi cepat dan darurat, serta upaya tindak lanjut.
Mungkin berawal dari laporan berbasis digital respon yang muncul adalah melakukan tindak lanjut segera dengan mendatangi warga ke lapangan. Setelah berada di lapangan, seorang pemimpin dapat mengidentifikasi laoran masalah yang muncul, kemudian menganalisis, dan melakukan evaluasi, serta membuat kesimpulan. Maka kemudian langkah tindak lanjut dapat dirumuskan dengan cepat dan segera.
***
Ke depan para pasangan calon harus dapat lebih jeli dan cerdas dalam memilih isu (kampanye). Karena bila salah mengangkat isu akan berpotensi malah menyerang balik.
Sindiran tentang proyek reklamasi dan melihat kondisi lapangan hanya berbasis digital, bukan merupakan sesuatu yang salah. Tapi, bila hal itu kurang dapat melihat secara jeli dan tidak dapat membaca sasaran dalam konteks Pilkada, apalagi yang melontarkan adalah juga merupakan bagian dari isu itu sebelum dia resmi menjadi pasangan calon, maka malah akan menjadi bahan cibiran. Dan hal itu bisa menjadi nilai minus yang akan menggerus elektabilitas calon.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 11102016
Oleh : eN-Te
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H