***
Program reklamasi yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, yang banyak mendapat 'tentangan', bagi Sylviana merupakan kesalahan strategi Pemprov, tidak hanya dalam implementasi, tapi juga menyangkut tahap perencanaan. Termasuk dalam tahap perenacanaan itu adalah berkaitan dengan masalah kajian.
Menurut Sylviana, proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sudah berjalan kemudian terhenti, karena mendapat 'perlawanan' dari berbagai pihak, karena kurang melibatkan partisipasi semua kelompok. Paling kurang ada tiga elemen yang harus dilibatkan secara partisipatif jika menginginkan proyek dan program reklamasi itu dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Ketiga elemen itu, antara lain yakni pemerintah (pusat dan daerah), pihak swasta, dan masyarakat (sumber).
Sampai di situ kita dapat memahami alur pikir Sang Cawagub ini. Akan tetapi, akan menjadi lucu bila mengaitkan posisinya sebelum mengundurkan diri dari pejabat Pemprov DKI karena dipinang menjadi salah cawagub.
Sebab ketika proyek itu sedang dalam pembahasan dan perencanaan, pasti Sang Cawagub juga turut terlibat dalam proses sejak awal. Ya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga nanti tiba pada tahap evaluasi.
***
Jelas bahwa ketika pada tahap perencanaan yang dimulai dengan melakukan kajian pasti Sylviana sangat tahu dan paham semua tahapan proses. Termasuk dalam hal alasan rasional dan latar belakang menunjuk pihak swasta Belanda untuk melakukan kajian, bukan swasta (orang) Indonesia. Dan sebagai seorang pejabat eselon di Pemprov DKI, pasti sangat tahu dan paham, mengapa bukan swasta (orang) Indonesia yang ditunjuk untuk melakukan kajian proyek reklamasi itu, tapi pihak (orang) Belanda.
Adalah menjadi tidak relevan hanya karena momentum kampanye Pilkada, Sang Cawagub malah sekarang berkoar-koar 'menggugat' pelaksana kajian proyek reklamasi. Sebab, penunjukkan pelaksana kajian proyek reklamasi yang dimenangkan pihak swasta (orang) Belanda, bukan merupakan faktor kepentingan lebih mengutamakan pihak asing. Tapi hal itu berdasarkan latar belakang dan pengalaman pihak Belanda yang telah mempunyai pengalaman yang sangat teruji dan terbukti (best practice) mengenai soal reklamasi.
Penunjukkan pihak Belanda tidaklah bermaksud mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, tapi karena pertimbangan best practice. Jadi, mempertanyakan soal siapa pelaksana kajian, apakah orang Indonesia atau orang Belanda, bukan menjadi topik yang harus diperdebatkan kembali, meski untuk jualan kampanye. Apalagi mengangkat isu reklamsi itu hanya karena pertimbangan untuk menyindir atau menyerang lawan tanding (sumber).
***
Rupanya Pemprov DKI menunjuk dan atau menggandeng Belanda untuk melakukan kajian reklamasi bukan tanpa alasan. Menurut Pemprov DKI, bahwa pemilihan Belanda, karena negeri tersebut punya pengetahuan, teknologi, dan pengalaman dalam melakukan reklamasi, dan pusat logistik pelabuhan (sumber). Menurut Gubernur DKI, yang juga merupakan salah satu bakal cagub, sekaligus calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama (BKT) alias Ahok, bahwa, “Untuk membangun ini (reklamasi dan pusat logistik pelabuhan, -pen) bukan hanya biaya yang kita butuhkan tapi juga pengalaman.” (sumber).
Lagipula dibandingkan dengan pengalaman dan teknologi, kemampuan SDM Indonesia belum sebanding dengan pengalaman dan teknologi yang dimiliki Belanda. Mereka mempunyai best practice yang sudah teruji dan terbukti. Sementara Indonesia belum memiliki, tidak hanya pengalaman, tapi juga menyangkut kemampuan skill dan teknologi.
Mestinya, Cawagub Poros Cikeas ini menyadari sebelum mengeluarkan amunisi, mengingat dia juga merupakan bagian inheren dari Pemprov DKI ketika proyek reklamasi itu digagas. Bukan setelah semua sudah berjalan, kemudian karena ada riak-riak menolak, itu pun setelah ada momentum Pilkada DKI, baru kemudian mengeluarkan uneg-uneg. Terlambat atuh!