Atmosfir politik menjelang pesta demokrasi Pemilihan Kepala daerah (Pilkada), khusus untuk DKI Jakarta tidak pernah berhenti menampilkan kejutan. Publik Indonesia dan warga ibukota belum sempat tersadar dari sebuah kejutan, muncul lagi kejutan lainnya. Semua bermuara pada satu titik, menuju kontestasi Pilkada 2017.
***
Pada minggu ke-4 bulan September 2016, kejutan pertama diawali dengan pernyataan kepastian dukungan PDIP kepada pasangan petahana, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, dan Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot). Kepastian dukungan ini setelah Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri memberikan keputusan akhir, setelah sebelumnya memberi lampu hijau ketika bertemua dengan Ahok di kantor DPP PDIP.
“Terintimidasi” oleh dukungan resmi PDIP kepada pasangan petahana, sehingga Poros Cikeas yang dimotori Partai Demokrat, mengajak tiga partai lainnya, yakni PPP, PKB, dan PAN, tak mau kalah untuk juga membuat kejutan. Tak kalah mengagetkan pula apa yang dipertontonkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kejutan dari Poros Cikeas adalah “mengorbankan” karier militer yang lagi moncer Agus Harimukti Yudhoyono (AHY). Ke-4 partai tersebut dengan tanpa kasak-kusuk mendapuk Agus sebagai Cagub. Sedangkan pasangannya dipilih mantan (ketika itu belum menjadi mantan) pejabat senior Pemprov DKI, yakni Sylviana Murni. Maka ke-4 parpol yang bermarkas di Cikeas sehingga kemudian menamakan dirinya Poros Cikeas memproklamirkan Agus-Sylviana sebagai pasangan calon yang akan diusung dalam Pilkada DKI 2017.
***
Tak kalah sigap, Partai Gerindra dan PKS pun bergerak cepat. Merasa semakin terintimidasi, mengingat sudah menjelang garis finis, Gerindra dan PKS belum mencapai kata sepakat untuk mengusung pasangan calon yang benar-benar dapat “diandalkan”. Dikejar deadline waktu, rupanya Gerindra dan PKS grogi juga.
Maka, dengan suara bulat tanpa lonjong, Gerindra dan PKS memutuskan untuk mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai pasangan calon. Maka jadilah, Anies-Sandi sebagai pasangan calon yang terakhir “brojol” dari “orangtua” Pilkada DKI 2017.
***
Jika ketiga pasangan ini diibaratkan sebagai ”anak” Pilkada DKI, maka pasangan Ahok-Djarot merupakan anak sulung, pasangan Agus-Sylviana merupakan anak kedua, dan Anies-Sandi merupakan anak bungsu. Ahok-Djarot pantas menyandang sebagai anak sulung karena lebih dahulu dideklarasikan daripada kedua pasangan lainnya. Ahok-Djarot resmi diusung dan dideklarasikan oleh Poros Teuku Umar bersama tiga parpol lainnya yang telah lebih dahulu menyatakan dukungan kepada petahana. Yakni Partai Nasdem, Hanura, dan Golkar.
Ketiga pasangan calon ini, terutama pasangan kedua yang paling membuat surprise dan mendapat perhatian, tepatnya tanda tanya (?). Mengapa demikian? Karena Agus, dalam kegaduhan mencari calon selama ini tidak pernah terdengar oleh publik diperbincangkan. Bukan saja dalam perbincangan, bahkan belum pernah untuk sekedar masuk dalam pantauan melalui radar survey. Sehingga menjadi wajar apabila publik terperangah ketika Agus dimunculkan dan dipasangkan dengan Sylviana Murni.
***
Begitu pula “pasangan bungsu”. Meski nama Anies Baswedan sering bersileweran di atmosfr politik Nasional, tapi publik tetap saja merasa terkejut, ketika namanya disandingkan dengan Sandiaga Uno. Hal yang membuat keterkejutan, adalah, lebih-lebih, seorang Anies harus menggeser posisi yang sebelumnya ditempati Sandi dan diprediksi akan diusung menjadi calon gubernur (Cagub).
Rupanya manuver PKS untuk menggolkan misinya memasangkan Anies sebagai Cagub daripada Cawagub berjalan mulus. Bagi PKS, Anies lebih memberikan optimisme dan menjanjikan ketimbang Sandi. Karena itu, PKS tak patah semangat untuk terus berjuang sampai pada injury time melobi dan meyakinkan Ketua Umum (Ketum) dan Ketua Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiyanto agar mau meminang Anies sebagai Cagub dipasangkan dengan Sandi.
Lebih mengagetkan lagi, publik tidak menyangka dengan begitu “mudah” seorang Sandi menerima ditempatkan sebagai calon orang kedua. Padahal publik tahu, bahwa Sandi adalah orang yang diproyeksikan dan dipromosikan Prabowo bakal menjadi Cagub usungan Partai Gerindra. Lagi pula sejak awal Sandi sudah wara wiri ke sana kemari mengumbar ambisi politiknya. Bahkan karena ambisi itu pula Sandi sering salah kaprah mengomentari kebijakan Ahok, yang malah menjadi bumerang buat dirinya.
***
Kejutan berikutnya terjadi kemarin (Jumat,07/10/2016). Beberapa media televisi dan meda online melansir berita bahwa PPP versi Muktamar Jakarta, Kubu Djan Farid telah menyatakan dukungan kepada pasangan petahana, Ahok-Djarot (lihat di sini). Sontak saja hal ini juga menimbulkan pertanyaan dan kejutan.
Dukunga Kubu Djan Farid ini serta merta membuat Wakil Ketua DPRD, yang juga merupakan Ketua DPW PPP DKI Jakarta, H. Abraham Lulung Lunggana pasti “salah tingkah”. Pak Haji Lulung pasti merasa serbah salah, dan pasti “terjebak” dalam lingkaran kepentingan politik dua kubu yang bersebarangan.
Bukan saja masalah kubu-kubuan dalam partainya dan dukungan kubu Djan Farid di mana dia juga berafiliasi ke situ, yang membuat H. Lulung kelimpungan (baca: dilematis). Tapi sudah pasti dukungan yang diberikan Kubu Djan Farid akan pula membuat H. Lulung merasa “tidak enak hati” kepada Ahok. Lulung dipaksa untuk menerima "karmanya".
Mengingat H. Lulung sejak awal sudah memposisikan dirinya sebagai “musuh” Ahok. Ibarat air dengan minyak, Lulung dan Ahok tidak akan pernah bertemu dan bersatu. Dan, hari ini, Djan Farid membuat H. Lulung kelimpungan harus menerima “karma” menentukan sikap, kepada siapa dia harus memilih?
***
Bagaimana mungkin seorang musuh akan didukung untuk mencapai posisi prestisius, sementara dia juga menginginkan posisi itu? Di sinilah “kenegarawanan” seorang H. Lulung akan diuji. Apakah dia lebih mementingkan ego politiknya dan syahwat ingin “menghentikan” Ahok, daripada mengkhidmatkan loyalitasnya kepada kepentingan partai. Kepentingan mana merupakan juga kepentingannya sendiri, mengingat H. Lulung juga berada dalam gerbong atau Kubu Djan Farid.
Lagi pula setelah Partai Gerindra dan PKS mendeklarasikan Anies-Sandi, Lulung juga sudah menyatakan mendukung pasangan paling bungsu ini. Dukungan Lulung kepada pasangan yang diusung Poros Gerindra, Anies-Sandi, juga mengekspresikan sikapnya yang berseberangan dengan PPP Kubu Romahurmudzy (Romi). Sementara Kubu Romi telah resmi bergabung dengan Poros Cikeas mendukung pasangan Agus-Sylviana.
***
Akankah setelah Kubu Djan Farid menyatakan dan mendeklarasikan dukungan kepada pasangan petahana, Ahok-Djarot, akan membuat Lulung memutar kembali kemudinya?
Dari laman detiknews.com terkonfirmasi bahwa H. Lulung juga mendukung calon petahana sebagaimana dukungan PPP Kubu Djan Farid (lihat di sini). Bahkan Djan Farid memastikan H. Lulung tetap loyal terhadap partai dan pasti mendukung Ahok, musuh abadinya (lihat di sini).
Menarik untuk kita tunggu dan menyaksikan perkembangan politik kekinian yang dinamis dan sangat cair ini dalam hari-hari mendatang di ibukota. Bahwa politik itu sangat probalistik dan bersifat tidak pasti. Hari ini bisa mendukung pasangan A, besok bisa berbalik arah mendukung pasangan B, dan mungkin lusa berubah arah lagi mendukung pasangan C.
Dengan begitu akan sangat menarik apabila pada masa kampanye nanti publik ibukota disuguhi “kemesraan” Ahok-Lulung di atas panggung kampanye. Sambil bergandengan tangan, berpelukan, berorasi, bernyanyi, berteriak yel-yel. Apabila itu dilakukan oleh H. Lulung sendiri, maka akan semakin seru. Lulung pasti berteriak, Ahok bukan psikopat, tapi yang benar adalah saya salah baca! Dan Lulung akan mengakhiri teriakannya dengan frase, “Hidup Ahok, you is the best”! Ketawa dulu ah! hahahahaaaa
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 08102016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H