***
Begitu pula “pasangan bungsu”. Meski nama Anies Baswedan sering bersileweran di atmosfr politik Nasional, tapi publik tetap saja merasa terkejut, ketika namanya disandingkan dengan Sandiaga Uno. Hal yang membuat keterkejutan, adalah, lebih-lebih, seorang Anies harus menggeser posisi yang sebelumnya ditempati Sandi dan diprediksi akan diusung menjadi calon gubernur (Cagub).
Rupanya manuver PKS untuk menggolkan misinya memasangkan Anies sebagai Cagub daripada Cawagub berjalan mulus. Bagi PKS, Anies lebih memberikan optimisme dan menjanjikan ketimbang Sandi. Karena itu, PKS tak patah semangat untuk terus berjuang sampai pada injury time melobi dan meyakinkan Ketua Umum (Ketum) dan Ketua Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiyanto agar mau meminang Anies sebagai Cagub dipasangkan dengan Sandi.
Lebih mengagetkan lagi, publik tidak menyangka dengan begitu “mudah” seorang Sandi menerima ditempatkan sebagai calon orang kedua. Padahal publik tahu, bahwa Sandi adalah orang yang diproyeksikan dan dipromosikan Prabowo bakal menjadi Cagub usungan Partai Gerindra. Lagi pula sejak awal Sandi sudah wara wiri ke sana kemari mengumbar ambisi politiknya. Bahkan karena ambisi itu pula Sandi sering salah kaprah mengomentari kebijakan Ahok, yang malah menjadi bumerang buat dirinya.
***
Kejutan berikutnya terjadi kemarin (Jumat,07/10/2016). Beberapa media televisi dan meda online melansir berita bahwa PPP versi Muktamar Jakarta, Kubu Djan Farid telah menyatakan dukungan kepada pasangan petahana, Ahok-Djarot (lihat di sini). Sontak saja hal ini juga menimbulkan pertanyaan dan kejutan.
Dukunga Kubu Djan Farid ini serta merta membuat Wakil Ketua DPRD, yang juga merupakan Ketua DPW PPP DKI Jakarta, H. Abraham Lulung Lunggana pasti “salah tingkah”. Pak Haji Lulung pasti merasa serbah salah, dan pasti “terjebak” dalam lingkaran kepentingan politik dua kubu yang bersebarangan.
Bukan saja masalah kubu-kubuan dalam partainya dan dukungan kubu Djan Farid di mana dia juga berafiliasi ke situ, yang membuat H. Lulung kelimpungan (baca: dilematis). Tapi sudah pasti dukungan yang diberikan Kubu Djan Farid akan pula membuat H. Lulung merasa “tidak enak hati” kepada Ahok. Lulung dipaksa untuk menerima "karmanya".
Mengingat H. Lulung sejak awal sudah memposisikan dirinya sebagai “musuh” Ahok. Ibarat air dengan minyak, Lulung dan Ahok tidak akan pernah bertemu dan bersatu. Dan, hari ini, Djan Farid membuat H. Lulung kelimpungan harus menerima “karma” menentukan sikap, kepada siapa dia harus memilih?
***
Bagaimana mungkin seorang musuh akan didukung untuk mencapai posisi prestisius, sementara dia juga menginginkan posisi itu? Di sinilah “kenegarawanan” seorang H. Lulung akan diuji. Apakah dia lebih mementingkan ego politiknya dan syahwat ingin “menghentikan” Ahok, daripada mengkhidmatkan loyalitasnya kepada kepentingan partai. Kepentingan mana merupakan juga kepentingannya sendiri, mengingat H. Lulung juga berada dalam gerbong atau Kubu Djan Farid.