Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kok Sepi! Kemana (Bakal) Cagub Ketika Bukit Duri Digusur?

30 September 2016   16:06 Diperbarui: 30 September 2016   17:27 3817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calon Gubernur Petahana, Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok kembali membuktikan bahwa dia tidak mementingkan pencitraan. Soal citra baik dan atau jaga imej atau jaim (lihat di sini), bukan merupakan sebuah hal yang harus menjadi faktor determinan membatasi gerak kebijakannya membangun dan menata ibukota.

Atmosfir politik jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, termasuk DKI Jakarta tidak harus membuat Ahok terpasung kreativitasnya. Kreativitas mana untuk terus menata ibukota untuk tampil lebih elok mempesona.

***

Pembangunan itu membutuhkan ongkos. Dan ongkos, baik ekonomi, politik, maupun sosial sudah menjadi konsekuensi logis untuk sebuah tujuan yang lebih baik dan berdimensi jangka panjang. Bahwa karena itu, sehingga harus ada yang menjadi korban, adalah sebuah realitas yang tak terbantah. Tapi, jika hal itu harus dilakukan sebagai sebuah konsekuensi logis maka itu juga menjadi sesuatu yang niscaya.

Begitu pula dalam memahami kebijakan tentang penataan sebuah wilayah pemukiman warga. Jika menginginkan sebuah wilayah dapat berkembang dengan baik, ramah, dan melayani semua, maka harus ada upaya terencana dan berkelanjutan. Termasuk pula kebijakan penataan lingkungan yang dilakukan dengan pendekatan relokasi (baca: lebih familiar dikenal dengan istilah menggusur/penggusuran). Tentu saja dalam proses relokasi itu juga pasti menelan korban, maka harus dipahami sebagai konsekuensi dari ongkos itu.

***

Dengan logika sederhana seperti itu, maka mestinya setiap kebijakan relokasi tidak harus selalu mendapat resistensi. Lagi pula kebijakan relokasi suatu wilayah atau pemukiman kumuh sudah melalui kajian matang. Misal, wilayah yang akan direlokasi itu merupakan tanah negara yang ditempati warga secara melawan hukum (ilegal), sehingga harus dikembalikan sesuai peruntukannya (lihat di sini).  

Membiarkan warga tetap menempati pemukiman ilegal, dan juga kumuh tersebut akan berpotensi terus menerus membiarkan warga pemukiman sulit terentaskan dari kondisi kemiskinan. Sebab secara rerata sebagian besar warga pemukiman kumuh itu merupakan kelompok penduduk yang relatif berada pada dan di bawah garis kemiskinan. Ditambah lagi, pemukiman-pemukinan kumuh tersebut sangat berpotensi menimbulkan kerawanan yang berdampak pada kepentingan publik (umum), termasuk pula banjir (lihat di sini).  

***

Karena itu menjadi tanggung tanggung jawab Pemerintah sebagai pemegang amanah untuk mensejahterakan mereka (rakyat). Jika membiarkan warga terus menerus berkubang dalam kemiskinan merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang  telah diberikan. Dan hal tersebut akan menempatkan Pemerintah yang dipercaya untuk membenahi, menata, dan membangun dalam rangka mensejahterakan rakyat berada pada posisi dilematis.

Di satu sisi Pemerintah akan dicap sebagai pengkhianat dan tidak becus mengurus warga. Sementara pada kutub lainnya, jika tidak menjalankan usaha untuk mensejahterakan rakyat juga mendapat penilaian yang tidak jauh berbeda, sebagai tidak amanah. Kedua opsi itu, apapun pilihannya, dua-duanya memberikan implikasi negatif. Tinggal seorang pemimpin harus bijak dan berani mengambil resiko tidak populer untuk sebuah ikhtiar mensejahterakan rakyat.    

***

Pada posisi inilah Ahok berdiri. Ahok memilih untuk merelokasi warga dari pemukiman kumuh, yang merupakan tanah negara yang ditempati secara ilegal. Tujuannya jelas demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. Meski Ahok sendiri menyadari hal tersebut akan menggerus elektabilitasnya di tengah atmosfir politik yang lagi mengharapkan simpati pemilih. Ahok rela mejadi tidak populer (padahal dengan kebijakan itu membuat Ahok semakin populer, hehehe).

Ahok seakan tidak peduli dengan soal elektabilitas. Baginya yang penting dapat menjalankan amanah dengan baik. Soal ada resistensi warga terhadap kebijakan relokasi adalah hal yang wajar. Karena  boleh jadi warga beralasan bahwa mereka telah mendiami wilayah tersebut bertahun-tahun. Lagi pula selama menempati pemukiman itu, telah pula menunaikan semua kewajiban, seperti membayar pajak (bumi dan bangunan).

Tapi hal itu bagi Ahok bukan merupakan alasan pembenar membiarkan warga terus menerus menempati pemukiman kumuh itu. Karena itu sama saja membiarkan warga terus berada pada lingkaran setan kemiskinan.

***

Pemerintah tidak asal main gusur. Warga yang terdampak, direlokasi ke tempat yang layak dengan  mendapatkan kompensasi yang memadai pula. Meski pada kenyataannya tidak semua warga dapat menerima “niat baik” Pemerintah tersebut.

Di sinilah kemudian para petualang politik (oportunis) bermain. Maka ketika pada proses penggusuran pemukiman warga yang berlangsung sebelumnya, publik dapat menyaksikan banyak petualang itu hadir, seakan ingin tampil menjadi pahlawan (hero).

***

Penggusuran Kampung Pulo, Pasar Ikan, Luar Batang, adalah contoh-contoh konkrit ketika para bakal Cagub itu menunjukkan “simpati” mereka terhadap warga terdampak. Ketika realisasi kebijakan penggusuran itu dijalankan, sangat mudah kita menemukan para politisi dan bakal Cagub mendatangi lokasi. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bersimpati dan berempati dengan kondisi warga terdampak.

Mereka yang berambisi ingin menjadi calon gubernur (Cagub) sebelum proses penetapan calon oleh parpol dan pendaftaran calon di KPUD, beramai-ramai, baik perorangan maupun kelompok selalu hadir di lokasi relokasi. Seperti bakal calon yang kemudian gagal mendapat mandat menjadi Cagub, Hasnaeni Moein. Bakal Cagub yang dijuluki wanita emas ini hadir “berkampanye” di lokasi relokasi Pasar Ikan (lihat di sini). Begitu pula dengan bakal Cagub yang seorang musisi, pernah menantang Ahok dengan mendatangi lokasi penggusuran di perkampungan Penjaringan (lihat di sini).

Lain lagi dengan Yusril Ihza Mahendra. Bakal calon yang sampai beberapa hari sebelum proses pendaftaran di KPUD ini juga tak dari rekan-rekannya menunjukkan simpatinya terhadap warga terdampak gusur (lihat di sini). Bahkan dengan keahliannya sebagai pakar hukum, Yusril juga bersedia pasang badan untuk membela warga terdampak gusur (lihat sumber). Yusril juga bersedia melawan Ahok di pengadilan (lihat sumber).

Bukan hanya itu saja. Para bakal Cagub itu juga menawarkan berbagai “jasa” kepada warga. Ada yang menyumbang tenda, logistik, dan bentuk sumbangan lainnya bagi warga terdampak, sekedar untuk mendapatkan simpati. Tujuannya jelas supaya dapat menaikkan elektabilitas mereka, sekaligus mengambil hati warga agar kelak ketika mereka terpilih dan ditetapkan sebagai calon resmi, dapat menjatuhkan pilihannya kepada mereka.

***

Sayangnya sikap altruisme itu, seakan hilang lenyap ketika kesempatan untuk masuk dalam arena permainan yang sudah tertutup. Dan ketika permainan sudah usai (game over) para bakal Cagub yang sebelum proses pendaftaran di KPUD wara-wiri “menjajakan” diri seakan hilang ditelan bumi.

Maka ketika kemarin Ahok kembali menjalankan kebijakan melakukan relokasi (penggusuran) di Kampung Bukit Duri (Rabu, 28/9/2016), seakan sepi dari “pengunjung”. Ya, baik politisi maupun bakal Cagub. Mungkin mereka merasa tidak ada gunanya lagi menunjukkan simpati dan empati kepada warga terdampak gusur. Karena bagi mereka sudah tidak ada lagi implikasi keuntungan (politik), ketika permainan sudah berakhir.

Sungguh sangat disayangkan, animo, sikap peduli, jiwa sosial, dan semangat membela mereka langsung pudar ketika ambisi untuk menggapai singgasana sudah tertutup. Padahal publik berharap apa yang telah ditunjukkan pada momen-momen sebelumnya bukan karena ada vested interest, melainkan karena panggilan nurani kemanusiaan.

Adalah sangat mulia niat mereka dalam membela kaum dhuafa yang tertindas, jika tidak disusupi kepentingan politik jangka pendek. Dengan realitas seperti itu, membuat publik juga menduga, ternyata mereka tidak lebih dari bunglon. Berkamuflase ketika ada kepentingan yang ingin diraih. Namun ketika kepentingan itu semakin jauh dan hilang, mereka kembali pada identitas asli mereka. Urusan kaum dhuafa yang tertindas bukan lagi menjadi perhatian dan urusan mereka.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 30092016

 Oleh : eN-Te

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun