***
Pada posisi inilah Ahok berdiri. Ahok memilih untuk merelokasi warga dari pemukiman kumuh, yang merupakan tanah negara yang ditempati secara ilegal. Tujuannya jelas demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. Meski Ahok sendiri menyadari hal tersebut akan menggerus elektabilitasnya di tengah atmosfir politik yang lagi mengharapkan simpati pemilih. Ahok rela mejadi tidak populer (padahal dengan kebijakan itu membuat Ahok semakin populer, hehehe).
Ahok seakan tidak peduli dengan soal elektabilitas. Baginya yang penting dapat menjalankan amanah dengan baik. Soal ada resistensi warga terhadap kebijakan relokasi adalah hal yang wajar. Karena boleh jadi warga beralasan bahwa mereka telah mendiami wilayah tersebut bertahun-tahun. Lagi pula selama menempati pemukiman itu, telah pula menunaikan semua kewajiban, seperti membayar pajak (bumi dan bangunan).
Tapi hal itu bagi Ahok bukan merupakan alasan pembenar membiarkan warga terus menerus menempati pemukiman kumuh itu. Karena itu sama saja membiarkan warga terus berada pada lingkaran setan kemiskinan.
***
Pemerintah tidak asal main gusur. Warga yang terdampak, direlokasi ke tempat yang layak dengan mendapatkan kompensasi yang memadai pula. Meski pada kenyataannya tidak semua warga dapat menerima “niat baik” Pemerintah tersebut.
Di sinilah kemudian para petualang politik (oportunis) bermain. Maka ketika pada proses penggusuran pemukiman warga yang berlangsung sebelumnya, publik dapat menyaksikan banyak petualang itu hadir, seakan ingin tampil menjadi pahlawan (hero).
***
Penggusuran Kampung Pulo, Pasar Ikan, Luar Batang, adalah contoh-contoh konkrit ketika para bakal Cagub itu menunjukkan “simpati” mereka terhadap warga terdampak. Ketika realisasi kebijakan penggusuran itu dijalankan, sangat mudah kita menemukan para politisi dan bakal Cagub mendatangi lokasi. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bersimpati dan berempati dengan kondisi warga terdampak.
Mereka yang berambisi ingin menjadi calon gubernur (Cagub) sebelum proses penetapan calon oleh parpol dan pendaftaran calon di KPUD, beramai-ramai, baik perorangan maupun kelompok selalu hadir di lokasi relokasi. Seperti bakal calon yang kemudian gagal mendapat mandat menjadi Cagub, Hasnaeni Moein. Bakal Cagub yang dijuluki wanita emas ini hadir “berkampanye” di lokasi relokasi Pasar Ikan (lihat di sini). Begitu pula dengan bakal Cagub yang seorang musisi, pernah menantang Ahok dengan mendatangi lokasi penggusuran di perkampungan Penjaringan (lihat di sini).
Lain lagi dengan Yusril Ihza Mahendra. Bakal calon yang sampai beberapa hari sebelum proses pendaftaran di KPUD ini juga tak dari rekan-rekannya menunjukkan simpatinya terhadap warga terdampak gusur (lihat di sini). Bahkan dengan keahliannya sebagai pakar hukum, Yusril juga bersedia pasang badan untuk membela warga terdampak gusur (lihat sumber). Yusril juga bersedia melawan Ahok di pengadilan (lihat sumber).