Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mental Terabas Tokoh ICMI, Terpikat “Aura Sakti” Dimas Kanjeng, dan Jualan Isu SARA dalam Pesta Demokrasi

29 September 2016   10:49 Diperbarui: 29 September 2016   14:12 2002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : http://bangka.tribunnews.com/2016/09/28/kabareskrim-heran-kopassus-hingga-pejabat-bisa-ditipu-taat-pribadi-modus-penggandaan-uang

Oleh : eN-Te

Publik Indonesia benar-benar dibuat terkaget-kaget. Belum lama mantan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Gatot Brajamukti diciduk Polisi akibat penyalahgunaan narkoba dan penyimpangan praktek-praktek “keagamaan”, serta kejahatan seksual, hari-hari ini publik Indonesia kembali dikejutkan sebuah kasus yang tidak kalah menggegerkan.

***

Ya, kasus yang menjerat seseorang yang oleh para pengikutnya menganggap orang itu memiliki “aura sakti”.  Kesaktian mana menurut pengikutnya dapat menggandakan nilai kekayaan (uang) seseorang menjadi berlipa-lipat.

Tak tanggung-tanggung, di antara para pengikutnya itu, terdapat seorang tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Bahkan atas “keikhlasannya” mempercayai kesaktian sang patron, tokoh ICMI itu didapuk menjadi Ketua Yayasan Padepokan. Dialah Marwah Daud Ibrahim, Ph.D., seorang cendekiawan, akademisi, dan pernah menjadi praktisi politik (politisi). Tidak hanya seorang Marwah yang tokoh ICMI akademisi, cendekia, dan politisi, menurut Kepala Badan Resor Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri,  dari Kopassus sampai pejabat juga ikut tertipu oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi (lihat di sini).

***

Siapa sebenarnya Mardah Daud Ibrahim (untuk mudahnya kita sebut saja Marwah)? Perempuan berkerudung ini lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan, 8 November 1956. Pengalamannya dan karier serta profil pendidikannya cukup membuat kita berdecap kagum.

Marwah merupakan lulusan atau jebolan luar negeri. Pendidikan Master dan Doktoralnya dia selesaikan di Amerika Serikat (AS). Sekembalinya dari AS, ia bergabung dengan organisasi ICMI, menjabat sebagai Sekretaris Umum. Selain itu, ia aktif di Partai Golkar, partai yang membawanya ke gedung parlemen (lihat di sini).

***

Menilik pada latar belakang pendidikannya saja, apalagi merupakan alumni AS, membuat hati ini menjadi masygul, lantas bertanya, ada apa dengan Marwah? Belum lagi bila kita kaitkan dengan komunitas kecendekiaannya di mana dia bergabung. Komunitas cendekia itu, tak sembarang, membawa-bawa nama sebuah agama besar yang menjadi anutan mayoritas warga bangsa ini, ICMI.

Tapi, mengapa Marwah kemudian harus “terjebak” pada mentalitas manusia Indoensia yang oleh Koentjaraningrat disebut sebagai mental terabas? Mental ingin mendapatkan sesuatu secara cepat, instan, kilat, tanpa harus mengeluarkan usaha ektra. Mental ingin kaya mendadak dengan tanpa harus mengeluarkan peluh keringat.

Bukan sampai di situ saja, Marwah bahkan sampai “percaya” bahwa Taat Pribadi, pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng (PDK) adalah seseorang yang sakti. Dalam sebuah wawancara TV (tadi malam di TV One, 28/9/2016), saya melihat bagaimana pendapat Marwah terhadap seorang Taat Pribadi  ini. Menurutnya, bahwa “kesaktian” Taat Pribadi merupakan sesuatu yang nyata dan faktual. Dan bagi Marwah hal itu tidak dapat dijelaskan secara akal sehat (rasio), tapi harus didekati melalui dimensi spiritual.

Menurut Marwah, pimpinan PDK, Taat pribadi merupakan aset Indonesia (lihat di sini). Bahkan tak segan, Marwah juga mensejajarkan Taat Pribadi ini dengan Habibie. Keduanya, di mata Marwah memiliki kelebihan pada sisi masing-masing. Habibie diberi kelebihan berupa kemampuan luar biasa dari sisi ilmu pengetahuan. Sedangkan Taat Pribadi diberikan karomah yang luar biasa (lihat di sini). Karena itu, setelah melakukan sholat istikharah dan perenungan panjang, kemudian ia (Marwah) memutuskan untuk bergabung dalam Yayasan PDK.

Tidak berhenti sampai di situ. Marwah bahkan sampai-sampai harus membanding-bandingkan “kesaktian” patronnya ini dengan keagungan Nabi Sulaiman As. Menurutnya, bahwa di jaman dulu, sebagaimana ajaran agama dan kitab suci, bahwa Nabi Sulaiman As mempunyai kesaktian untuk mendatangkan apa saja. Jangan kan harta (uang), Nabi Sulaiman As mampu berbicara dengan (bahasa) binatang, dan malah dapat memerintahkan jin. Karena itu, seorang Marwah yang intelek dan cerdas ini, tidak heran harus terpukai pada daya magis seorang Taat Pribadi.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa Marwah sedang berada dalam kondisi “tidak sadar”. Atau dengan kata lain, kesadaran rasionalnya sedang dalam pengaruh magis. Istilah umum yang biasa dikenal khalayak, yakni (di)hipnotis. Pertanyaannya, mungkinkah dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman akademik serta karier politiknya, sampai harus membuat seorang Marwah terjebak dalam dunia arasional? Wallahu’ alam, hanya dia dan Allah yang tahu!

***

Kasus-kasus yang menawarkan mimpi ala angin surga ini sudah sering terjadi. Mereka yang terkungkung oleh mental terabas ini sudah sering pula menyaksikan dan melihat pepesan kosong dari janji-janji ala angin surga ini. Tapi, toh, semua pengalaman buruk rupanya tidak dapat menjadi cermin dan pelajaran berharga. Tetap saja terjebak!

Bahwa untuk sukses dalam hal mengumpulkan kekayaan, tidak bisa dilakukan dengan menutup mata kemudian hanya dengan membaca simsalabim, abda kadabra, terus (setelah) membuka mata, langsung jadi. Uang langsung bertumpuk di depan mata. Aksiooma alamiah, bahwa semua harus melalui proses, berjenjang dan bertahap, setapak demi setapak, kemudian atas ridha-Nya pula, berkah itu hadir dan mengalir dinegasikan tanpa nalar sehat.

***

Kita boleh merunut dan menemukan berbagai modus penipuan yang menjanjikan keuntungan berlipat dalam waktu hanya sekejap melalui berbagai saluran media. Dari semua kasus yang pernah terjadi, hanya satu pesan penting yang disampaikan, yakni harus bersikap hati-hati. Jangan tergiur pada janji manis ala angin surga yang memberi keuntungan berlipat dalam waktu sekejap. Tapi, kejadian yang sama setelah sebuah kasus dengan modus penipun itu redup dari peredaran pemberitaan, kembali terulang dan menelan korban.

Mereka tahu bahwa modus itu dijalankan penipu ala “sinterklas” secara lancar ketika awal bergerak, karena “keuntungan” yang dibayarkan kepada pelanggan juga berasal dari nasabah di belakang mereka. Setelah berjalan beberapa waktu, ketika nasabah sudah mulai seret bergabung, baru ketahuan dan tersadar, bahwa mereka sudah tertipu. Pada saat “kesadaran” itu mulai pulih, sayangnya para aktor penipu itu sudah hilang entah ke mana?

***

Kembali ke tokoh ICMI yang cendekia itu. Fenomena mental terabas intelektual ICMI yang terjebak “aura sakti” ini membuatku akhirnya memahami gejala konservatisme beragama. Konservatisme mana yang saya maksud yakni memahami agama dan ritual spritualitas hanya berdasarkan naskah teks, tanpa berusaha sedikit mau bersusah payah untuk juga mengaitkan pada konteksnya.

Maka menjadi wajar bila pada setiap pesta demokrasi, baik Pilpres maupun Pilkada, kita temukan jualan isu primordial berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Isu ini terus saja dipompakan, ditebarkan, digencarkan, disebarkan secara masif tanpa lelah dan letih, hanya untuk berharap umat mau mendengar dan menaati. Sementara pada kondisi lain, mereka seakan tidak mau tahu bahwa umat juga semakin cerdas dan tercerahkan. Umat sudah dapat memilih dan menentukan pilihan, tanpa harus direcoki dengan hal-hal yang bersifat merusak.

Mungkin para penjual ini juga sadar bahwa isu SARA yang dijual sudah tidak laku di pasaran. Tapi,  mereka (tetap) yakin bahwa adalah menjadi kewajiban moral untuk menyampaikan kebenaran ini. Dalam kondisi apapun kebenaran itu harus terus disuarakan dan ditegakkan. Dan faktanya memang masih ada sebagian umat yang menelan mentah-mentah propaganda itu.

Padahal bisa jadi semangat pesan yang terkandung dalam wahyu itu tidak semata-mata ditafsirkan secara tekstual. Harus ada keberanian untuk menerobos pakem baku yang sudah ada, dan mau keluar dari teks, kemudian menjabarkannya secara kontekstual. Belum lagi bila kita harus melihat secara menyeluruh rangkaian ayat kitab suci itu, tanpa harus terjebak pada penafsiran bersifat parsial.

***

Dengan begitu, seharusnya menjadi kewajiban para cendekia untuk memberikan edukasi dan pencerahan secara benar dan bertanggung jawab kepada umat. Bukan terjebak pada kepentingan politik golongan yang bersifat temporer. Kemudian malah ikut terlibat dalam “permainan” membodoh-bodohi umat. Jika sudah demikian, akan ke mana lagi umat bertanya dan mengadu?

***

Keterpikatan seorang Marwah sebagai tokoh ICMI membuat kita miris. Bagaimana tidak? Jangan sampai muncul pernyataan mencibir, pantasan saja umat pada akar rumput masih saja tidak bergerak ke gradasi lebih ke atas dari pemahaman keagamaannya, karena mereka yang cendekia saja masih labil dan celakanya masih percaya pada takhayyul?

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 29092016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun