Kembali ke tokoh ICMI yang cendekia itu. Fenomena mental terabas intelektual ICMI yang terjebak “aura sakti” ini membuatku akhirnya memahami gejala konservatisme beragama. Konservatisme mana yang saya maksud yakni memahami agama dan ritual spritualitas hanya berdasarkan naskah teks, tanpa berusaha sedikit mau bersusah payah untuk juga mengaitkan pada konteksnya.
Maka menjadi wajar bila pada setiap pesta demokrasi, baik Pilpres maupun Pilkada, kita temukan jualan isu primordial berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Isu ini terus saja dipompakan, ditebarkan, digencarkan, disebarkan secara masif tanpa lelah dan letih, hanya untuk berharap umat mau mendengar dan menaati. Sementara pada kondisi lain, mereka seakan tidak mau tahu bahwa umat juga semakin cerdas dan tercerahkan. Umat sudah dapat memilih dan menentukan pilihan, tanpa harus direcoki dengan hal-hal yang bersifat merusak.
Mungkin para penjual ini juga sadar bahwa isu SARA yang dijual sudah tidak laku di pasaran. Tapi, mereka (tetap) yakin bahwa adalah menjadi kewajiban moral untuk menyampaikan kebenaran ini. Dalam kondisi apapun kebenaran itu harus terus disuarakan dan ditegakkan. Dan faktanya memang masih ada sebagian umat yang menelan mentah-mentah propaganda itu.
Padahal bisa jadi semangat pesan yang terkandung dalam wahyu itu tidak semata-mata ditafsirkan secara tekstual. Harus ada keberanian untuk menerobos pakem baku yang sudah ada, dan mau keluar dari teks, kemudian menjabarkannya secara kontekstual. Belum lagi bila kita harus melihat secara menyeluruh rangkaian ayat kitab suci itu, tanpa harus terjebak pada penafsiran bersifat parsial.
***
Dengan begitu, seharusnya menjadi kewajiban para cendekia untuk memberikan edukasi dan pencerahan secara benar dan bertanggung jawab kepada umat. Bukan terjebak pada kepentingan politik golongan yang bersifat temporer. Kemudian malah ikut terlibat dalam “permainan” membodoh-bodohi umat. Jika sudah demikian, akan ke mana lagi umat bertanya dan mengadu?
***
Keterpikatan seorang Marwah sebagai tokoh ICMI membuat kita miris. Bagaimana tidak? Jangan sampai muncul pernyataan mencibir, pantasan saja umat pada akar rumput masih saja tidak bergerak ke gradasi lebih ke atas dari pemahaman keagamaannya, karena mereka yang cendekia saja masih labil dan celakanya masih percaya pada takhayyul?
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29092016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H