Usai “tersisih” dari hajatan konvensi Partai Demokrat, Anies pun berlabuh di kubu Capres PDIP, Joko Widodo (Jokowi). Anies lantas didaulat menjadi juru bicara (jubir) kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sebagai Capres-Cawapres.
Lantas mengapa Anies tertarik berlabuh dan bersedia menjadi jubir kubu KIH waktu Pilpres 2014 kemarin? Menarik untuk menelisik lebih jauh alasan Anies bergabung dengan kubu KIH yang mengusung Jokowi-JK.
Dalam sebuah surat elektronik (e-mail) yang ditujukan kepada semua pendukungnya, Anies membeberkan alasannya memilih bergabung dengan kubu Jokowi-JK. Dalam surat itu, Anies menulis bahwa, “... setelah 15 tahun lebih reformasi berjalan, dirinya merasa Indonesia memerlukan penyegaran”. Penyegaran yang dimaksud adalah meliputi cara pandang baru, semangat baru, pendekatan baru, cara kerja baru, dan bahkan orang baru (lihat sumber).
***
Itulah “motif politik” Anies yang sangat idealis ketika memutuskan mendukung Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 lalu. Atas pilihan politik itu, kemudian setelah terpilih menjadi pemenang kontestasi, Jokowi-JK mengganjar “jasanya” dengan mendapuk Anies sebagai Mendikbud. Akan tetapi, kurang dari dua tahun masa pengabdiannya, Jokowi harus melengserkan Anies dari kursi Mendikbud.
Entah apa alasannya sehingga seorang Anies dengan predikat sebagai Tokoh Muda yang diprediksi sebagai salah satu orang yang akan mengubah dunia, harus terpental dari lingkaran dalam istana. Padahal posisi Mendikbud sangat berpotensi untuk mewujudkan idealismenya membawa perubahan bagi negeri ini. Apalagi bidang yang digeluti itu bersentuhan langsung dengan pembangunan insan Indonesia yang berkarakter kuat, yakni sumberdaya manusia (SDM) melalui pendidikan.
Sampai sekarang pun publik masih bertanya-tanya, menagap Anies harus diganti? Apakah hal itu berkaitan dengan potensi Anies akan menelikung Presiden pada 2019, publik juga hanya bisa menerka dan berspekulasi. Mungkin juga seorang Anies juga tak tahu apa alasan sebenarnya sehingga dia harus tergusur dari lingkaran dalam Jokowi. Meski sejak awal, Anies sangat “dipercaya” oleh Jokowi. Apapun spekulasi dan dugaan yang berkembang hari ini, semua hanya Jokowi yang tahu.
***
Bahwa reshuffle cabinet adalah sebuah keniscayaan dalam politik. Dan keniscayaan bahwa Anies diganti dari Mendikbud juga sudah terjadi. Karena itu, kita boleh berpendapat bahwa proses pergantian Anies dari Mendikbud oleh Jokowi adalah kewajaran politik. Bukan merupakan sebuah hal yang luar biasa.
Dengan demikian, kita tidak perlu terlalu jauh berspekulasi bahwa langkah Anies menerima pinangan Partai Gerindra dan PKS untuk dicalonkan menjadi Calon Gubernur (Cagub) DKI bukan karena alasan subyektif untuk memberi sinyal “perlawanan”. Bukan juga karena tendensi untuk membalas dendam (politik).
Tidak juga karena aji mumpung. Anies tetaplah Anies yang inspiratif dengan idealismenya, tidak akan mudah berubah wujud dan bermetafora menjadi oportunis hanya karena ada kesempatan membentang di depan.