***
Sekarang kita kembali ke topik! Setelah semua parpol menetapkan pilihan dan mendaftarkan pasangan calon, maka tertutup sudah peluang bagi calon-calon lainnya selama ini berwara-wiri “menjual diri” aar dipinang menjadi calon. Salah satu figur yang sempat bermetafora menjadi “mickey mouse”yang sangat ingin maju menjadi Cagub DKI adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra.
Dengan realitas dan fakta politik saat ini, pertanyaan kemudian muncul adalah, terus bagaimana dengan nasib sang profesor “mickey mouse”? Jelas sudah, setelah semua parpol menentukan pasangan calon dan mendaftarkan ke KPUD, maka nasib sang profesor pun seperti tenggelam.
Padahal sang profesor sebelum semua parpol menetapkan dan menentukan pilihannya, sangat yakin dan optimis bakal diusung menjadi Cagub. Bahkan dengan sangat yakin sang profesor pernah berujar pasti, bahwa parpol-parpol selain yang sudah menentukan pilihannya, akan mengusung dan mendeklarasikan dirinya sebagai Cagub (lihat di sini). Sayangnya sampai batas akhir pendaftaran di KPUD ditutup (23/9/2016 pkl. 24.00), nama sang profesor tidak pernah disebut-sebut. Entah karena apa, sehingga figur bertalenta (baca: tokoh) nasional menurut pengakuannya, yang rela turun level, tidak pernah masuk dalam radar parpol. Jangan kan masuk radar dan disebut, dilirik pun parpol-parpol itu pada enggan. Kasimaaan!
Terbetik khabar bahwa nama profesor terpaksa “disingkirkan”, karena di samping sebagai Ketum parpol gagal, ia juga dianggap merupakan seseorang yang bertipikal sombong. Seperti disampaikan Wakil Ketum Demokrat Sarief Hasan. Menurut Syarief Hasan, "Yusril ditolak dianggap Ketum PBB, jadi aneh kalau ketum PBB kita dukung, sementara dia tidak punya kursi di DKI. Yang kedua, dia dianggap agak sombong," (lihat di sini).
Menyadari realitas politik dalam Pilkada DKI tidak memihak dirinya, sang profesor pun buru-buru meminta maaf. Permintaan maaf ini juga memberikan indikasi bahwa sang profesor menyadari “kelemahannya”.
Bisa juga kelemahan yang dimaksud itu juga menyangkut karakter sombong yang menjadi alasan beberapa parpol menolak dirinya dicalonkan menjadi bakal Cagub. Dengan lirih, sang profesor pun berkata, “Saya mohon maaf pula jika saya telah mengecewakan para pendukung. Saya memetik hikmah dan sekaligus introspeksi atas semua yang terjadi” (lihat di sini).
***
Kegagalan Prof. Yusril sebenarnya tidak mengagetkan bagi sebagian publik. Termasuk juga saya.
Sejak awal sudah diprediksi bahwa kehadiran Yusril hanya sebagai pengembira semarak kontestasi. Yusril dianggap hanya mengandalkan ambisi, tanpa memikirkan realitas politik yang sesungguhnya. Kenyataan yang ada sudah sangat jelas menunjukkan bahwa figurnya tidak “layak jual”.
Dua alasan utama menolak Yusril seperti disampaikan Syarief Hasan oleh parpol-parpol Poros Cikeas, sebenarnya sudah menjadi gambaran. Hal lain sang profesor ditolak karena selama menjadi “hulubalang” SBY, ia dianggap seorang menteri yang “mbalelo”. Bahkan setelah diganti pun sang profesor sering menempatkan diri sebagai lawan SBY. Keduanya sering “berselisih” dalam masalah hukum (tata negara), dan sebagaimana keahliannya, selalu saja sang profesor memenangkan pertarungan. Dan rupanya “preseden buruk” ini tidak ingin diulangi SBY dalam hal kontestasi Pilkada DKI 2017 ini.