Oleh : eN-Te
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (23/8/2016) telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai tersangka. Penetapan status tersangka kepada Gubernur Sultra, karena diduga menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang (pihak) lain, baik perorangan maupun korporasi.
Nur Alam diduga telah melakukan kesalahan dalam dua hal. Pertama selaku Gubernur Sultra, Nur Alam telah menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Di samping itu, kesalahahn kedua, Nur Alam juga diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan menerbitkan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara (lihat di sini).
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh komisi antirasuah setelah melakukan penyelidikan dan menemukan dua alat bukti yang cukup. Dalam perkembangannya, KPK juga menduga bahwa Nur Alam tidak hanya melakukan korupsi karena menyalahgunakan wewenang dalam hal menerbitkan dua SK, yakni persetujuan izin usaha dan persetujuan peningkatan ijin usaha pertambangan di Sultra, tapi juga diduga melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
KPK sedang melakukan kajian adanya kemungkinan Nur Alam berpotensi ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus TPPU, bila dalam penyelidikan ditemukan dua alat bukti yang cukup. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK, La Ode Muhammad Syarif. "Sedang dikaji apakah ada kemungkinan tindak pidana pencucian uang," (lihat sumber). Selanjutnya La Ode M. Syarif menyebutkan bahwa “Mengacu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3, Syarif mengatakan ada kemungkinan penyidikan juga mengarah kepada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU)”(lihat sumber).
Gubernur Sultra, Nur Alam merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN). Beliau juga merupakan Gubernur yang dikenal mempunyai prestasi dengan kinerja yang gemilang. Atas prestasi sebagai Gubernur dengan kinerja gemilang, Nur Alam dianugerahi pengahrgaan Bintang Maha Putra Utama dari Presiden. Penghargaan tersebut langsung diberikan oleh Presden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) di istana Negara pada tahun 2014.
Penganugerahan Bintang Maha Putra Utama merupakan penghargaan tertinggi hanya diberikan kepada seseorang yang dinilai sebagai putra putri terbaik dan telah berjasa sangat luar biasa diberbagai bidang yang bermanfaat bagi keutuhan, kelangsungan dan kejayaan bangsa dan negara, serta dalam pembangunan. Penganugerahan penghargaan tertinggi ini menjadi bentuk pengakuan Negara terhadap prestasi dan jasa Nur Alam yang telah memajukan daerahnya selaku Gubernur. “Penghargaan ini sangatlah prestisius dan spesial, mengingat Nur Alam adalah putra daerah Sultra pertama yang berhasil mendapat penghargaan ini” (lihat sumber).
Tidak hanya itu saja pengakuan yang diterima seorang Nur Alam sebagai seorang Gubernur berprestasi. Nur Alam juga dinilai sebagai Gubernur mampu memperoleh penilaian wajatr tanpa pengecualian (WTP) atas laporan hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama tiga tahun berturut-turut sejak 2013 (lihat sumber).
Di samping itu, Nur Alam juga mempunyai prestasi gemilang lainnya, yakni pernah dinobatkan dan berhak mendapatkan penghargaan di Bidang Koperasi, Bidang pertanian, dan Bidang keluarga Berencana. Keberhasilan Nur Alam dalam memajukan Bidang Koperasi, Pertanian, danm keluarga Berencana mengantarkan beliau menyabet tiga Satyalanca sekaligus, yakni Satyalancana Pembangunan di Biang Koperasi, Satyalancana Pembangunan Wirakarya di Bidang Pertanian, dan Stayalancana di Bidang keluarga Berencana (lihat sumber).
Dengan seabrek prestasi gemilang itu sehingga di mata PAN, Nur Alam merupakan kader terbaik yang telah berhasil membangun Sultra. Maka kondisi menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang menjerat Nur Alam membuat PAN prihatin. Menjadi hal yang wajar bila salah satu anggota keluarga ketika ditimpa kemalangan berupa penetapan menjadi tersangka dalam sebuah kasus, apalagi korupsi, maka anggota keluarga lainnya merasa prihatin. Begitu pula PAN.
Meski demikian, kita juga perlu menelisik lebih jauh apakah keprihatinan itu juga dirasakan oleh sesepuh dan pendiri PAN, Amien Rais? Pertanyaan ini patut diajukan mengingat kasus yang menjerat Nur Alam merupakan tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra orfinary crime). Sebuah tindak pidana yang menjadi momok bangsa sehingga membuat seorang Amien Rais memperkenalkan akronim KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sebagai symbol perlawanan pada tahun 1998 untuk menumbangkan Soeharto. Atas jasanya tersebut, kemudian public Indonesia memberikan predikat kepada Amien Rais sebagai Bapak Reformasi.
Tapi apa hendak dikata, setelah hampir 20 tahun perjalanan reformasi penyakit yang menjadi momok bangsa ini belum juga bersih. Malah, terkesan sebaliknya yang terjadi. Sehingga seharusnya Amien Rais merasa miris karena telah gagal mengantarkan negeri ini ke arah yang lebih baik dan sejahtera, bebas dari KKN. Apalagi seorang “kader terbaik” PAN malah terjebak pada kasus dan penyakit yang beliau ingin sembuhkan, terlibat tindak pidana korupsi dan mungkin pula TPPU.
Publik Indonesia mungkin masih ingat bagaimana seorang Amien Rais begitu marah sehingga harus mencaci maki Gubernur DKI saat ini, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Pada kesempatan memberikan pidato di hadapan Kongres Barisan Muda (BM) PAN, Amien Rais menyatakan bahwa Ahok merupakan tipikal pemimpin yang beringas, bengis, dan hampir-hampir seperti bandit. Bahkan lebih jauh Amien Rais menilai bahwa Ahok juga merupakan antek pemodal (lihat sumber).
Patut kita tunggu apa dan bagaimana reaksi Amien Rais ketika mendengar dan menyaksikan bahwa penilaiannya terhadap Ahok ternyata “tidak terbukti”. Yang hadir di hadapannya dan harusnya menjadi tamparan sangat keras ke wajahnya, ketika Amien Rais harus menerima kenyataan bahwa kader "terbaik"? PAN malah yang menjadi antek pemodal.
Ya, Gubernur Sultra, Nur Alam, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus tindak pidana korupsi, dan mungkin akan dijerat pula dengan kasus TPPU, karena telah menyalahgunakan wewenang dalam hal pemberian ijin pertambangan kepada korporasi asing. Atas “kebaikan” hati sang Gubernur, sehingga korporasi asing itu (Hong Kong) memberikan imbalan, balas jasa berupa kickback lebih dari 56 milyar rupiah.
Sebuah angka yang sangat fantastis bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Sultra yang sebagian besar masih jauh dari sejahtera. Keuntungan milyaran yang diperoleh dari pemodal (asing) ini, bukankah memberikan gambaran bahwa Nur Alam merupakan antek pemodal (asing)? Jika begitu, siapa sebenarnya yang menjadi antek pemodal (asing) itu, Ahok atau kader PAN di mata Amien Rais sendiri?
Mari kita tunggu!
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H