Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hiruk Pikuk Pilkada DKI, Kemana Bang Rozi, Sang “Gubernur Petahana?"

28 Agustus 2016   12:52 Diperbarui: 28 Agustus 2016   21:12 2752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat seleksi alam, semua bakal calon yang telah berwara-wiri “menjajakan” diri itu satu persatu perlahan tapi pasti hilang dari peredaran. Mungkin sebagian calon tersebut tidak atau kurang dapat beradaptasi dan bertahan dalam perang mempertahankan keberlangsungan misinya meraih singsana DKI-1. Mungkin pula para calon tersebut tidak atau belum memenuhi syarat sesuai kriteria parpol, sehingga harus “punah” melalui proses alam itu. Tanpa harus mengeluarkan energy, parpol-parpol menyerahkan proses seleksi alam itu terus berlangsung, kemudian membiarkan dan menunggu calon mana yang memiliki “kekuatan” lebih untuk bertahan.  

Kondisi ini menjelaskan satu hal, yakni ternyata audisi ala parpol untuk menjaring bakal calon itu tidak lebih dari lips service semata. Hanya menyiapkan panggung untuk memberi tempat kepada para bakal calon itu untuk mengekspresikan kegembiaraan, sekaligus kebencian mereka kepada Ahok, tanpa sebuah kepastian.

Buktinya, sampai sejauh ini, dari semua parpol yang membuka lapak audisi tidak pernah mengumumkan hasil penjaringannya secara terbuka ke public. Hanya satu parpol yang sudah secara terbuka mengumumkan hasil penjaringannya, yakni Partai Gerindra. Dari semua peserta audisi di lapaknya, Gerindra memilih kadernya sendiri  sebagai pemenang audisi untuk menjadi bakal Cagub yang akan diusung nanti pada Pilkada DKI 2017, yakni Sandiaga Uno (Sandi).  Pilihan ini kemudian diikuti oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang turut mengusung dan mendukung Sandi.

***

Sepanjang diskursus tentang siapa yang pantas dan paling ideal memimpin ibukota, sejauh ini belum ada kepastian. Ketidakpastian ini membuat suasana dan atmosfir politik ibukota menjadi semakin bising (gaduh). Karena masing-masing parpol dan kelompok masyarakat tidak dapat memilih salah satu dari mereka yang telah “mengiklankan” diri ingin maju bertarung pada Pilkada DKI 2017. Kebisingan semakin bertambah karena focus perhatioan mereka hanya tertuju pada figure petahana, Ahok. Sehingga energy dan emosi mereka seakan dieksploitasi secara massif hanya untuk “menghabiskan” Ahok. Karena sudah sedemikian banyak energy terkuras, secara massif pula, maka nyaris mereka melupakan seseorang yang pernah dinobatkan menjadi gubernur (DKI) tandingan.

Di tengah ramai-ramai nan bising mencari idola baru DKI-1 yang membuat atmosfir politik nasional sangat gaduh, saya teringat pada figure gubernur tandingan yang pernah dideklarasikan dan dilantik ketika rame-rame menolak Ahok yang akan promosi naik tingkat menggantikan Jokowi. Ya, gubernur tandingan ala Front Pembela Islam (FPI) (lihat di sini)

Gubernur tandingan yang dideklarasikan dan dilantik oleh Imam Besar FPI, Rizieq Shihab, dua tahun lalu, tepatnya 10 November 2014, itu adalah Bang Rozi. Itu berarti bila dihitung sejak Ahok naik tingkat menjadi Gubernur DKI, maka Bang Rozi juga seharusnya sampai hari ini masih menjabat sebagai gubernur petahana (tandingan). Sayangnya selama menjabat gubernur tandingan, kiprah “sang petahana” ini nyaris tidak terdengar. Sehingga, mungkin karena alasan itu, membuat para elit parpol tidak sedikit pun menyebut namanya dalam pencarian maupun audisi parpol mencari bakal calon gubernur. Jangan kan menyebut namanya untuk meramaikan atmosfir politik ibukota, melirik saja nama Bang Rozi sekedar untuk memeriahkan pesta dan menambah semarak dagelan mencari idola baru DKI-1 pun, nyaris tidak terdengar. Mengapa demikian?

Saking tidak memiliki aura gubernur tandingan sehingga namanya nyaris terlupakan dalam peta persaingan menuju kursi singgsana DKI-1. Padahal Bang Rozi memiliki modal yang sangat cukup sebagai “gubernur petahana”.  Entah mengapa, sehingga seorang Bang Rozi harus kehilangan magnitudenya untuk mempengaruhi aspirasi warga maupun parpol untuk sekedar menyebut namanya dalam kemeriahan “pesta” yang akan datang.  Mungkinkah sejak ia dilantik menjadi gubernur tandingan, Bang Rozi menyadari bahwa ia hanya dipajang sebagai boneka dan bidak yang akan “dipermainkan” oleh orang-orang dan kelompok-kelompok yang sejak awal antipati, tidak ingin melihat Ahok menjadi Gubernur DKI, sehingga Bang Rozi sendiri tidak ingin melakukan gebrakan?

Entahlah, hanya Bang Rozi saja yang tahu, apa motif dibalik penobatannya sebagai gubernur tandingan. Meski begitu sejak “penampakkannya” sebagai gubernur tandingan, Bang Rozi, turut pula memberi kontribusi kebisingan akibat polemic dan kontroversi. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan dagelan politik semata menambah kesemarakan pesta untuk menghibur parpol yang lagi galau. Ada pula yang menganggap sebagai sesuatu yang serius sehingga perlu diwaspadai. Karena hal itu dapat menjadi embrio munculnya gerakan makar terhadap pemerintahan yang sah. “Itu sama saja dengan membuat boneka ondel-ondel untuk meramaikan parade. Namun jika GT (gubernur tandingan, penulis)adalah sebuah manifestasi sebuah gerakan politik yang bertujuan untuk menciptakan instabilitas penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta dan berdampak pada ketertiban umum, maka ia harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku bagi tindakan makar” (lihat di sini).

Rupanya anggapan bahwa gubernur tandingan itu hanya sebagai lelocun semata ada benarnya. Hal itu diakui sendiri oleh sang gubernur tandingan, Bang Rozi. Berdasarkan pengakuan Bang Rozi bahwa sebenarnya dia sendiri menolak untuk ditunjuk dan diangkat menjadi gubernur tandingan, tapi terus dikejar dan dipaksa menjadi pemimpin Jakarta versi mereka (lihat di sini).

Pengakuan ini memberi konfirmasi bahwa memang sejak awal Bang Rozi hanya diposisikan sebagai pion semata. Pion itu dalam permainan catur mudah digerakkan dan dipindahkan ke mana-mana sesuai dengan selera pemainnya. Ketika pion itu sudah tidak memberi harapan untuk memenangkan pertarungan, maka permainan pun dianggap usai. Keberadaan pion kembali dikumpulkan menjadi satu, dimasukkan kembali ke papan catur, kemudian papan catur pun ditutup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun