Pendapat senada disampaikan pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin. Menurut Said, meski secara normatif, Ahok mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang Pilkada. Akan tetapi, dari sisi etika ketatanegaraan menjadi masalah bila sebagai seorang Gubernur, yang merupakan "pelaksana undang-undang" hendak menyoal ketentuan yang diatur dalam undang-undang (sumber).
Dari perspektif moral ketatanegaraan ini, maka reaksi Ahok dengan mengajukan JR ke MK untuk menguji ketentuan pasal 70 ayat 3 mengenai cuti kampanye bagi petahana dalam UU Pilkada dinilai sebagai sebuah tindakan yang kurang elegan. Bagi Said, karena itu menyangkut etika bernegara, di mana sebagai Gubernur harus menjalankan etika politik dan pemerintahan sesuai TAP MPR Nomor VI Tahun 2001, maka diharapkan agar Ahok mencabut permohonan JR itu.
Bahwa mengajukan uji materi ketentuan atau pasal sebuah undang-undang menjadi hak konstitusional seorang warga negara, termasuk juga Ahok, hendaknya hal itu tidak dipandang sebagai hak semata, secara an sich. Harusnya kampanye dan cuti kampanye tidak hanya dipandang sebagai hak bagi seorang calon petahana yang ingin maju bertarung dalam sebuah kontestasi Pilkada, tapi dilihat pula bahwa dalam konteks etika ketatanegaraan dan pemerintahan, klaim hak itu tidak serta merta menggugurkan pula kewajibannya sebagai pejabat negara. Karena pada hak itu melekat pula kewajiban.
Bila pada suatu hak melekat pula kewajiban, maka kewajiban itu harus dapat mendominasi kepentingan subyektif sehingga dapat menggugurkan hak. Begitu pula karena kewajiban konstitusional maka seseorang warga negara, tak terkecuali seorang Gubernur yang sedang menjabat , kemudian berniat ingin “memperpanjang” masa jabatannya sehingga maju mencalonkan diri kembali pada sebuah kontestasi, seperti Pilkada, maka seharusnya dapat mengesampingkan hak konstitusionalnya. Meski secara normatif hak konstitusional itu merupakan sebuah keniscayaan.
Di mana sebagai pejabat negara setingkat Gubernur, misalnya, hendaknya harus menjalankan ketentuan undang-undang secara selurus-lurusnya setelah disahkan. Bukan malah dengan membenturkan kepentingan subyektif kemudian berusaha dengan berbagai cara menggugat eksistensi semangat undang-undang tersebut.
Semangat sebuah undang-undang adalah untuk memberikan kepastian dalam sebuah urusan dan kepentingan publik. Termasuk pula persoalan politik dan pemerintahan. Dan UU Pilkada hadir untuk memberikan rambu-rambu agar para penyelenggara negara dapat menjalankan fungsinya secara benar, lurus, dan bertanggung jawab sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diikrarkan.
Pakar HTN lain yang turut memberikan tanggapan terhadap polemik cuti kampanye bagi petahan adalah Machfud MD. Mantan Ketua MK ini, malah lebih tegas menyatakan bahwa cuti kampanye adalah kewajiban bagi setiap calon (petahana), bukan merupakan hak. “Saya ingin katakan, cuti itu bukan hak, tapi cuti kewajiban” (sumber). Menurut Machfud MD, bahwa "dalam konteks pemilihan gubernur, cuti itu kewajiban, tidak boleh ditolak. Itu sudah berlaku bagi banyak pejabat dan jabatan" (sumber)
Margarito Kamis lain lagi. Pakar HTN yang menjadi narasumber favorit TV One ini berpendapat bahwa Ahok tidak boleh tidak, harus cuti. "Harus cuti, tidak ada cerita gak mau cuti. Kalau tidak cuti gugur, dia (Ahok) harus digugurkan. Jika tidak digugurkan, kita yang gugurkan” (sumber).
Karena bagi Margarito, ketentuan mengenai cuti selama masa kampanye merupakan ketentuan yang bersifat mengikat dan tidak memberikan pilihan bagi pejabat yang mau maju. Jadi, dengan begitu, masa cuti menjadi absolut. Dengan begitu, Ahok harus meletakkan jabatannya mulai 26 Oktober 2016 hingga pemungutan suara pada 11 Februari 2017 (sumber).
Karena itu menjadi hal yang tidak lazim bila ketika hendak maju mencalonkan diri menjadi Cagub pada Pilkada DKI 2017, maka Ahok harus melakukan uji materi terhadap ketentuan cuti kampanye. Lebih ironis lagi karena posisi Ahok sebagai penjabat negara, yang menurut etika pemerintahan seharusnya melaksanakan ketentuan undang-undang itu tanpa harus merasa berbenturan dengan kepentingan subyektifnya sebagai seorang warga negara.
Pendapat yang sedikit lebih berimbang dalam melihat “kegundahan” Ahok ini dikemukakan oleh pakar HTN dari Univeristas Gadjah Mada (UGM), yakni Refli Harun. Menurut Refli, apa yang dilakukan Ahok dengan mengajukan JR terhadap ketentuan cuti kampanye merupakan sebuah langkah yang sudah tepat.