Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Reaksi Ahok Atas Uji Materi UU Pilkada tentang Cuti Kampanye

23 Agustus 2016   11:53 Diperbarui: 23 Agustus 2016   12:10 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gbr. https://metro.tempo.co/read/news/2016/08/22/231797818/hadiri-sidang-di-mk-ini-permohonan-ahok

Oleh : eN-Te

Pilgub DKI 2017 yang akan datang ternyata menimbulkan banyak kegaduhan. Mulai dari masalah calon independen (perseorangan), penjaringan dan penentuan bakal calon gubernur (Cagub) oleh partai politik (parpol) hingga masalah Undang-Undang (UU) Pilkada, khususnya yang bersentuhan dengan ketentuan masalah cuti selama  kampanye.

Salah satu ketentuan kampanye yang tertuang dalam Undang-Undang Pilkada adalah pasal mengenai kewajiban seorang petahana yang akan maju bertarung harus mengambil cuti kampanye. Yang menjadi soal kemudian adalah durasi waktu untuk cuti kampanye yang cukup lama bagi petahana,  yang bila melihat masa kampanye Pilkada DKI, berlangsung dari  22 Oktober 2016 sampai dengan 11 Februari 2017.

Sayangnya  ketentuan pasal mengenai cuti kampanye ini belakangan menimbulkan polemik. Hal ini bermula ketika DPR RI merevisi ketentuan mengenai kampanye dalam UU Pilkada yang sebelumnya hanya mensyaratkan seorang petahana harus cuti ketika akan melaksanakan kampanye. Sementara bila dibandingkan dengan ketentuan UU Pilkada hasil revisi maka seorang petahana harus “meninggalkan” jabatannya  selama empat bulan. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang, satu catur wulan.

Lamanya waktu cuti kampanye ini berarti mengurangi masa jabatan seorang petahana yang telah disumpah harus menjalankan kewajibannya selama periode  waktu berkuasa. Seorang petahana telah disumpah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, selurus-lurusnya sampai masa jabatannya berakhir. Jika karena kampanye sehingga petahana harus cuti selama kurun waktu tertentu, hal  itu berarti petahana telah dengan sengaja “mengurangi” kewajiban menjalankan tugasnya dari sisi waktu secara cukup signifikan.

Pada 2017 tidak hanya DKI Jakarta saja yang akan menyelenggarakan Pilkada, masih ada daerah-daerah lainnya juga melaksanakan hajatan yang sama. Dan pada daerah-daerah tersebut juga melibatkan petahana untuk maju bertarung memperebutkan kekuasaan untuk periode berikutnya (periode ke-2). Tapi, meski demikian, para petahana itu tidak terlihat reaktif turut pula terlibat dalam persoalan polemik tentang ketentuan cuti kampanye yang diatur dalam UU Pilkada itu.

Gubernur DKI yang saat ini dijabat Ahok, yang akan maju kembali pada Pilkada 2017 yang terlihat sangat garang menentang ketentuan cuti kampanye itu. Dalam pandangan sang Gubernur, bahwa ketentuan itu sangat merugikan dirinya, hal mana akan membuat geraknya dalam memantau dan mengontrol penyelenggaraan pemerintahan DKI, khususnya dalam pembahasan RAPBD, menjadi sangat tidak efektif bahkan berkurang.

Merasa dirugikan oleh ketentuan mengenai aturan cuti kampanye itu, maka Ahok pun bereaksi. Ahok pun mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan yang “merugikan” petahana itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan uji materi terhadap UU Pilkada khususnya mengenai pasal yang mengatur petahana harus cuti selama masa kampanye berlangsung merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Begitu pula dengan Ahok, mempunyai hak yang sama, sebagai petahana yang akan maju kembali dalam Pilkada DKI 2017.

Persoalan kemudian muncul adalah bila yang mengajukan uji materi tersebut adalah seseorang yang karena jabatannya, harus menjalankan undang-undang sebagai pejabat negara. Sehingga apa yang dilakukan Ahok, lepas dari argumentasi hak konstitusional sebagai warga negara, dipandang sebagai sebuah tindakan yang tidak elok.

Menanggapi “ulah” Ahok ini, Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menyatakan, bahwa soal Judicial Review (JR) memang merupakan hak warga negara, tetapi dalam konteks petahana, ia merupakan bagian dari Pemerintah, sebagai pejabat negara yang bertugas untuk melaksanakan undang-undang . “Pejabat negara itu tugasnya adalah melaksanakan keputusan Undang-Undang"  (sumber).

Pendapat senada disampaikan pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin. Menurut Said, meski secara normatif, Ahok mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang Pilkada. Akan tetapi, dari sisi etika ketatanegaraan menjadi masalah bila sebagai seorang Gubernur, yang merupakan "pelaksana undang-undang" hendak menyoal ketentuan yang diatur dalam undang-undang (sumber).

Dari perspektif moral ketatanegaraan ini, maka reaksi Ahok dengan mengajukan JR ke MK untuk menguji ketentuan pasal 70 ayat 3 mengenai cuti kampanye bagi petahana dalam UU Pilkada dinilai sebagai sebuah tindakan yang kurang elegan. Bagi Said, karena itu menyangkut etika bernegara, di mana sebagai Gubernur harus menjalankan etika politik dan pemerintahan sesuai TAP MPR Nomor VI Tahun 2001, maka diharapkan agar Ahok mencabut permohonan JR itu.

Bahwa mengajukan uji materi ketentuan atau pasal sebuah undang-undang menjadi hak konstitusional seorang warga negara, termasuk juga Ahok, hendaknya hal itu tidak dipandang sebagai hak semata, secara an sich. Harusnya kampanye dan cuti kampanye tidak hanya dipandang sebagai hak bagi seorang calon petahana yang ingin maju bertarung dalam sebuah kontestasi Pilkada, tapi dilihat pula bahwa dalam konteks etika ketatanegaraan dan pemerintahan, klaim hak itu tidak serta merta menggugurkan pula kewajibannya sebagai pejabat negara. Karena pada hak itu melekat pula kewajiban.

Bila pada suatu hak melekat pula kewajiban, maka kewajiban itu harus dapat mendominasi kepentingan subyektif sehingga dapat menggugurkan hak. Begitu pula karena kewajiban konstitusional maka seseorang warga negara, tak terkecuali seorang Gubernur yang sedang menjabat , kemudian berniat ingin “memperpanjang” masa jabatannya sehingga maju mencalonkan diri kembali pada sebuah kontestasi, seperti Pilkada, maka seharusnya dapat mengesampingkan hak konstitusionalnya. Meski secara normatif hak konstitusional itu merupakan sebuah keniscayaan.

Di mana sebagai pejabat negara setingkat Gubernur, misalnya, hendaknya harus menjalankan ketentuan undang-undang secara selurus-lurusnya setelah disahkan. Bukan malah dengan membenturkan kepentingan subyektif kemudian berusaha dengan berbagai cara menggugat eksistensi semangat undang-undang tersebut.

Semangat sebuah undang-undang adalah untuk memberikan kepastian dalam sebuah urusan dan kepentingan publik. Termasuk pula  persoalan politik dan pemerintahan. Dan UU Pilkada hadir untuk memberikan rambu-rambu agar para penyelenggara negara dapat menjalankan fungsinya secara benar, lurus, dan bertanggung jawab sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diikrarkan.

Pakar HTN lain yang turut memberikan tanggapan terhadap polemik cuti kampanye bagi petahan adalah Machfud MD. Mantan Ketua MK ini, malah lebih tegas menyatakan bahwa cuti kampanye adalah kewajiban bagi setiap calon (petahana), bukan merupakan hak. “Saya ingin katakan, cuti itu bukan hak, tapi cuti kewajiban” (sumber). Menurut Machfud MD, bahwa "dalam konteks pemilihan gubernur, cuti itu kewajiban, tidak boleh ditolak. Itu sudah berlaku bagi banyak pejabat dan jabatan" (sumber)

Margarito Kamis lain lagi. Pakar HTN yang menjadi narasumber favorit   TV One ini berpendapat bahwa Ahok tidak boleh tidak, harus cuti. "Harus cuti, tidak ada cerita gak mau cuti. Kalau tidak cuti gugur, dia (Ahok) harus digugurkan. Jika tidak digugurkan, kita yang gugurkan” (sumber).

Karena bagi Margarito, ketentuan mengenai cuti selama masa kampanye merupakan ketentuan yang bersifat mengikat dan tidak memberikan pilihan bagi pejabat yang mau maju. Jadi, dengan begitu, masa cuti menjadi absolut. Dengan begitu, Ahok harus meletakkan jabatannya mulai 26 Oktober 2016 hingga pemungutan suara pada 11 Februari 2017 (sumber).

Karena itu menjadi hal yang tidak lazim bila ketika hendak maju mencalonkan diri menjadi Cagub pada Pilkada DKI 2017, maka Ahok harus melakukan uji materi terhadap ketentuan cuti kampanye. Lebih ironis lagi karena posisi Ahok sebagai penjabat negara, yang menurut etika pemerintahan seharusnya melaksanakan ketentuan undang-undang itu tanpa harus merasa berbenturan dengan kepentingan subyektifnya sebagai seorang warga negara.

Pendapat yang sedikit lebih berimbang dalam melihat “kegundahan” Ahok ini dikemukakan oleh pakar HTN dari Univeristas Gadjah Mada (UGM), yakni Refli Harun. Menurut Refli, apa yang dilakukan Ahok dengan mengajukan JR terhadap ketentuan cuti kampanye merupakan sebuah langkah yang sudah tepat.

Refli beralasan bahwa ketentuan UU Pilkada mengenai cuti selama masa kampanye itu “memberatkan” petahana. Sebab frasa “cuti selama kampanye” berbeda dengan “cuti ketika kampanye”. Cuti selama kampanye bermakna bahwa seorang petahana harus cuti selama proses kampanye berlangsung, dan itu membutuhkan dan memakan waktu yang cukup lama. Merujuk pada masa kampanye Pilkada DKI, yang berlangsung dari 22 Oktober 2016 s.d. 11 Februari 2017, maka Ahok harus menjalani cuti kampanye selama kurang lebih 4 bulan. Itu berarti, petahana praktis harus cuti selama empat (4) bulan, sebuah rentang waktu yang cukup lama bagi seorang petahana, hampir memotong setengah tahun masa jabatannya.

Menurut Refly, frasa pada ‘selama masa kampanye’ dapat memberatkan petahana sebab itu berarti petahana harus cuti cukup lama. Proses selama masa kampanye cukup lama, berbeda dengan saat melakukan kampanye atau kegiatan di lapangan. Bagi Refli, makna cuti itu sendiri dimaksudkan agar petahana tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya saat berkampanye (sumber).

Untuk menengahi perdebatan itu, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudien Haris pun turut memberikan jalan tengah. Menurut Haris, bahwa polemik mengenai cuti selama kampanye ini dapat diselesaikan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Dengan PKPU dapat dicari win-win solution antara keinginan untuk tetap menjalankan semangat UU Pilkada dan dapat mengadopsi kepentingan dan kebutuhan (subyektif) petahana. KPU dapat mengeluarkan sebuah ketentuan atau aturan yang menjembatani perbedaan dalam menyikapi ketentuan UU Pilkada tentang cuti kampanye itu dengan kebutuhan petahana untuk cuti. Di mana petahana baru mengambil cuti ketika akan melakukan kampanye, mungkin pada waktu-waktu yang telah dijadwalkan saja, sehingga  tidak menghambat aktivitas petahana di satu daerah (sumber). Dengan begitu berarti ketika petahana tidak melakukan kampanye, tentu saja petahana masih bisa bekerja memimpin daerahnya masing-masing karena secara resmi masih menjadi kepala daerah.

Kondisi ideal seperti yang diusulkan Syamsuddin Haris ini dapat saja menjadi sebuah jalan tengah yang menguntungkan semua pihak tergantung pada kemauan untuk melakukan terobosan (politik dan hukum). Terobosan politik itu dapat diperankan oleh pemerintah melalui KPU dengan mengeluarkan PKPU, sedangkan terobosan hukum itu dapat dilakukan oleh para Hakim MK yang sedang melakukan sidang uji materi yang dimohonkan oleh termohon, dalam hal ini Ahok sebagai Gubernur DKI yang masih menjabat. Jika jalan tengah ini menjadi niscaya maka kegadukan akibat polemik mengenai cuti kampanye ini dapat berkurang dan reda. Dan hal itu akan sangat menguntungkan semua pihak, sehingga semua calon dapat bersaing secara fair dan sportif menuju gelanggang Pilkada, tanpa ada perasaan curiga akan dicurangi. Patut pula kita tunggu apa reaksi Ahok selanjutnya bila permohonan yang diajukan tidak memberikan hasil yang sesuai dengan harapannya! 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 23 Agustus 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun