Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amien Rais Membuat Respek Saya pada Tokoh Agama Habis

21 Agustus 2016   11:21 Diperbarui: 21 Agustus 2016   22:50 4685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa mereka memahami dan sangat tahu bahwa ada doktrin agama yang menyatakan bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan (membunuh orang). Tapi mengapa pula dalam banyak peristiwa politik, kelompok yang merasa paling Islami ini menjadikan fitnah sebagi menu utama untuk menyerang dan menjatuhkan lawan? Boleh saja kita mengatakan wajarlah, namanya saja politik, apa saja bisa dilakukan. Semua hal menjadi “halal” bila bersentuhan dengan politik.

Tapi bagi saya, hal ini merupakan anomali sikap beragama dan distrosi moral agama yang dilakukan secara sengaja dan telanjang. Praktek hipokritisme yang dikamuflase dengan bahasa agama. Lebih lucu lagi mendasarkan keistiqomahan itu hanya melalui tampilan fisik berupa aksesories pakaian dan jubbah semata.  Padahal hal itu hanya merupakan sesuatu yang artifisial, tidak merupakan hal yang substansial. Dan saya (sudah) merasa muak dengan perilaku seperti itu.

Jika mindset seperti ini, menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka tidak ada gunanya lagi berkutat dengan norma. Padahal norma (semua norma, apalagi norma agama) merupakan frame-view (kerangka pandang), yang menjadi kerangka acuan untuk menentukan pilihan baik dan buruk. Jika semuanya berkriteria baik, apa yang menjadi pembeda bahwa itu memang benar-benar baik?

Mereka yang melakukan salah kaprah itu, melekat pada dirinya sebagai tokoh agama, sekaligus di sisi lain juga menyandang label sebagai tokoh politik. Meski menyandang juga predikat tokoh politik, tapi hal itu tidak harus mendominasi perannya sebagai tokoh agama, yang mengayomi dan menenteramkan. Mestinya hadir sebagai penyejuk, bukan malah sebaliknya, datang menambah suhu politik dan suasana social menjadi tak karu-karuan. Maka pada kondisi ini, jangan salahkan bila umat juga harus menentukan bersikap masa bodoh dengan anjuran dan ajakan “menyerang” pihak lain, yang jelas-jelas mempunyai hak politik dan social sesuai dengan ketentuan konstitusi (Negara).

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 21  Agustus  2016      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun