Seperti kasus aktual yang sedang terjadi di Lamakera hari ini, kita mesti cermat melihat, bahwa di sana ada anomali. Anomali itu disebabkan karena terdapat hubungan kekerabatan yang sangat dekat, antara laki-laki dan perempuan yang secara adat tidak dibenarkan. Dilihat dari silsilah keturunan, maka si laki-laki berstatus sebagai Paman (Om) bagi si perempuan, di mana hal itu ibarat seorang paman menikahi keponakannya sendiri.
Segera setelah itu saya harus memberi stressing bahwa kondisi itu dapat ditempuh bila semuanya berjalan normal, bukan karena sebuah “kondisi darurat”. Yakni kondisi di mana seorang calon mempelai perempuan itu terpaksa dinikahkan karena faktor X, karena telah dengan sengaja melanggar dan menabrak norma agama (syariat).
***
Tidak ada yang salah dengan pandangan bahwa bila syariat tidak melarang, kenapa harus dipersulit? Tapi buat saya menjadi sesuatu yang lucu dan terlalu simplistis bila karena “kondisi darurat”, kemudian dengan tergopoh-gopoh baru berpaling ke ketentuan syariat. Terus di mana selama ini syariat “bersemayam” ketika tradisi itu berlaku dan dipraktekkan? Mengapa tidak sejak awal syariat hadir untuk memberi panduan dalam penerapan tradisi adat itu, sehingga tidak berbenturan ketika ada kondisi aktual seperti hari ini terjadi di Lamakera?
Hal itu terjadi karena mereka yang terlibat (pasangan itu) secara sadar dan telah dengan sengaja mengabaikan aturan dan ketentuan syariat. Saya yakin, inilah alasan utama, sehingga kita kemudian dengan tiba-tiba bersikap lunak terhadap tradisi yang selama ini menjadi sistem nilai yang mengatur dan mengikat kita. Mirisnya, hal ini didukung oleh mereka, yang selama ini dianggap sebagai pemangku adat, yang sering terlibat langsung dalam menyelesaikan masalah adat.
***
Bahwa secara perspektif agama (menurut syariat), hubungan itu tidak dilarang, katakanlah “dibolehkan”. Meski pandangan itu boleh-boleh saja, tapi pertanyaan kemudian muncul adalah, mengapa dilakukan dengan cara melanggar syariat? Ini perlu jawaban, bukan sekedar apologie.
Dibolehkan, saya beri tanda petik, untuk memberikan stressing bahwa dalam hal mengikuti syariat agama, harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar norma syariat pula. Mengingat kita lahir dan hadir, tidak dalam sebuah ruang hampa. Tapi lahir dan hadir dalam sebuah setting lingkungan dan kondisi yang mempunyai nilai.