Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap Misteri Penempatan Jurusan di Madrasah Unggulan di Makassar

29 Juli 2016   13:47 Diperbarui: 5 Agustus 2016   13:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu manfaat dari wawancara inventori ini adalah untuk mengetahui bakat dan minat individu. Inventori minat dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pada setiap individu ada perbedaan dalam minat baik secara umum maupun minat pekerjaan tertentu. Karena itu inventori minat dirancang untuk menilai minat-minat pribadi dan mengaitkan minat-minat tersebut dengan wilayah kerja yang lain (lihat sumber terkait). Tes inventori sangat berguna untuk mengetahui karakteristik kepribadian seperti minat, penyesuaian diri, motivasi, dan prasangka (lihat sumber terkait).

Di sinilah peran guru BK dibutuhkan. Bukan malah hanya mengandalkan hasil TPA dan tes psikologi kemudian dengan begitu saja dan sangat arogan mengabaikan nilai rapor dan nilai UN. Tanpa disadari respon Wakasek bidang Kurikulum, Kepsek, dan juga guru BK ketika disampaikan pandangan seperti ini malah bersikap resisten dan menyalahkan balik orangtua siswa, menjadi sebuah pertanyaan. Ada apa di balik semua ini? Sehingga terkesan seorang guru BK hanya menjalankan instruksi atasan tanpa memberikan pertimbangan rasional sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Bahwa pihak sekolah dapat saja berdalih tentang “kemurnian” nilai UN, karena beberapa alasan, misal kebocoran soal, mental siswa, dan atau siswa lagi beruntung, dlsb. Tapi, semestinya “keraguan” yang sama juga harus digunakan pula dalam membaca atau menilai hasil TPA dan tes psikologi. Itu berarti, baik nilai UN maupun TPA dan tes psikologi mempunyai peluang yang sama, untuk “diragukan”, karena sifatnya gambling. Sama-sama bergantung pada mental subyek (siswa) yang mengikuti ujian pada saat itu. Tapi keraguan itu dapat ditepis bila pihak sekolah sedikit bekerja keras (padahal itu kewajiban) untuk membandingkan dengan nilai rapor.  Kami juga telah melakukan cross check kepada guru BK pada beberapa (5 – 6) SMA Negeri di Kota Makassar.  

Dari semua guru BK yang kami hubungi untuk mengkros cek dan konfirmasi, hampir semuanya menyatakan bahwa dalam hal penentuan jurusan di SMA/MA/SMK harus mengacu pada acuan utama, yakni nilai rapor SMP/MTs, nilai UN, dan rekomendasi guru BK. Bila ketiga-tiganya sudah ada dan telah memenuhi, maka pihak sekolah sudah dapat menentukan jurusan sesuai minat anak, tanpa perlu melakukan TPA dan tes psikologi. Karena hasil rapor dan UN merupakan rekaman prestasi anak selama 3 (tiga) tahun di SMP/MTs, yang dapat menjadi gambaran kecenderungan minat anak. Artinya, hasil TPA dan tes psikologi hanya sebagai data pendukung, bukan merupakan alat ukur utama untuk menentukan penempatan jurusan sesuai minat anak.    

Begitu pula dengan alasan akan sangat merepotkan bila harus pula mengacu pada nilai rapor anak. Alasan ini sangat lemah, hanya demi kepraktisan harus mengabaikan ketentuan Permen, sehingga berakibat pada kesalahan dalam penempatan jurusan anak. Akibat lanjutnya adalah siswa yang menjadi korban dari salah jurusan yang tidak sesuai dengan minatnya, sebagaimana indikator nilai rapor dan UN. Secara tidak langsung pihak sekolah dengan sengaja mendzalimi anak (siswa), mengorban mental dan masa depan anak.

Pihak Madrasah unggulan itu berargumen bahwa telah 3 (tiga) tahun menerapkan metode pemilihan jurusan berdasarkan hasil TPA dan tes psikologi, sejauh ini aman-aman saja, dan tidak menimbulkan “protes” dari orangtua siswa maupun siswa. Meski demikian, hal itu tidaklah cukup kuat untuk menjadi alasan, bila pada tahun ini, dengan metode yang sama kemudian mendapat protes dari orangtua siswa.

Mengapa demikian? Karena boleh jadi pada dua (2) tahun sebelumnya, orangtua siswa tidak menyadari bahwa metode pemilihan kelompok peminatan (jurusan) yang diterapkan di Madrasah unggulan itu, tidak seluruhnya mengacu pada Permendikbud nomor 59/2013, sebagaimana kami sebutkan di atas. Belum lagi, bila harus merujuk pada lembaga yang melaksanakan tes psikologi, apakah memiliki sertifikasi untuk melakukan tes, dan atau diakui kredibilitasnya.

Selanjutnya, pihak Madrasah unggulan itu juga berargumen bahwa  bahwa siswa masih mungkin berpindah jurusan setelah belajar selama satu semester (6 bulan) atau triwulan (3 bulan). Ketentuan ini dapat diterapkan bila semua prosedur dan langkah-langkah sebagaimana digariskan oleh Permendikbud nomor 59/2013 itu dilaksanakan. Akan menjadi sebuah problem bila penerapan ketentuan dalam Permendikbud 59/2013 tidak seutuhnya dilaksanakan. Hanya sebagiannya saja yang dilaksanakan, itu pun hanya mengambil dan mengutamakan ketentuan yang sifatnya pendukung dan dianggap mudah. Ini menunjukkan bahwa pihak Madrasah unggulan itu tidak ingin direpotkan dan hanya mau mencari jalan pintas.

Karena itu mesti logikanya di balik, jika dapat dicegah dari awal semester atau awal triwulan, mengapa harus menunggu satu semester atau triwulan? Apalagi “waktu tunggu” anak itu, bukan karena kesalahannya, tapi akibat kesalahan menerapkan metode dan atau prosedur yang cenderung dipaksakan.

Alasan lain mengapa pihak Madrasah unggulan itu enggan menganulir kebijakan tentang pemilihan kelompok peminatan (jurusan), karena hal itu akan mengubah hampir seluruh komposisi kelas  dan jurusan. Akibat lanjutnya adalah pasti akan pula berpengaruh terhadap perubahan absensi kelas. Selanjutnya yang paling krusial adalah bahwa pembatalan itu akan menyebabkan proses belajar mengajar menjadi terganggu (terhambat).

Meski demikian, kondisi itu dapat diakali dengan hanya melakukan perombakan terbatas. Maksudnya, hanya anak-anak yang merasa pemilihan kelompok peminatan (jurusan) tidak sesuai saja yang dipindah atau bertukaran. Toh, tidak semua anak yang merasa jurusannya tidak sesuai minatnya bermohon pindah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun