“Perlakuan mengesankan” itu tidak hanya kami (saya) terima di bangku SD saja, tapi juga sampai menuntaskan jenjang SMA. Sekedar membuka rahasia yang juga pengalaman pribadi, ketika di SMP Kelas 3 saya pernah mendapat “perlakuan mengesankan” dipukul seperti musuh, dari guru Matematika ketika jam wajib belajar (les) sore. Gara-garanya, sebagai koordinator bidang olahraga OSIS, tanpa meminta ijin guru pengawas les sore (guru Matematika) itu, mengeluarkan bola voly dan bermain voli bersama teman-teman di halam sekolah.
Akibatnya saya harus mendapat skor tidak boleh masuk sekolah beberapa hari. Dan saya fine-fine saja, tidak menjadi problemo tersendiri. Malah sang guru Matematika yang telah memberikan “perlakuan mengesankan” itu, ketika mempunyai hajatan membangun rumahnya, saya ikut bersama teman-teman rame-rame datang membantu.
Masih di jenjang SMP. Pernah suatu ketika saat jam pelajaran Olahraga Kesehatan (ORKES), karena guru mata pelajarannya tidak hadir, maka berinisiatif mengajak teman sekelas untuk mengisi jam pelajaran itu dengan bermain sepakbola di lapangan samping sekolah. Kebetulan ada sebuah kelas letak jendelanya berhadapan dengan lapangan itu. Jendela ruang kelas terbuat dari kaca. Ketika sedang asyik bermain dan pada sebuah momen saya memegang (menggiring) bola ke arah gawang (yang tepat berada di bawah jendela ruang kelas), kemudian dengan keras saya menendang bola ke arah gawang, dan alamaaak, bolanya malah menghantam kaca jendela ruang kelas itu. Pecah berantakan. Sialnya pecahan kaca jendela malah jatuh menimpa salah seorang siswa perempuan, sehingga membuat pipi mulusnya terluka dan berdarah. Duh, apes lagi gua.
Segera setelah itu saya pun harus kembali berhadapan dengan aturan sekolah. Kepada saya, Wakil Kepala Sekolah yang juga seorang guru Biologi, mengatakan, "Kau itu nakal sekali, mungkin untuk menghentikanmu perlu dipanggil seorang "pintar" untuk memberi tulah (maksud menyihir), baru kau bisa sadar". Saya pun hanya diam saja.
Begitu pula ketika melanjutkan ke SMA. Lagi-lagi saya membuat “ulah”, sehingga guru Sejarah saya murka. Di depan teman-teman di ruang kelas, saya mendemonstrasikan sikap yang seharusnya “tidak pantas” dilakukan seorang siswa (anak didik). Melihat sikap saya itu, guru Sejarah itu pun mengamuk, menghajar saya, lagi-lagi ibarat menghajar musuh. Bahkan peristiwa itu membuat seluruh sivitas kampus (terdiri dari tiga sekolah SMA, SMEA, dan SPG dari satu Yayasan) menjadi gempar, karena ada yang menafsirkan situasi saat itu, saya seakan-akan menunjukkan sikap perlawanan. Kembali saya harus mendapat “hadiah” diskor dari sekolah. Hal yang nyaris sama juga dialami teman-teman lainnya bila melakukan kesalahan.
Tapi, hubungan yang sangat problematik itu tidak menimbulkan rasa dendam sedikitpun. Rasa kecewa dan sakit hati sesaat, pasti ada dan manusiawi, tapi setelah itu, semuanya kembali berjalan normal. Kondisi itu, tidak mengurangi rasa hormat kami (saya) sedikit pun kepada guru. Interaksi kami (saya) dengan para guru sebagaimana layaknya anak kepada orangtuanya.
Bahwa pada suatu saat seorang orangtua merasa jengah dengan sikap anak-anaknya sehingga memancing amarah dan sikap kasar, adalah sebuah proses interaksi yang manusiawi. Asal semuanya dilandasi oleh niat yang baik untuk kepentingan dan kebaikan masa depan anak-anaknya. Tidak lebih dari itu. Saya yakin, guru-guru saya (kami/kita) dulu dan juga guru-guru yang saat ini sedang menghadapi kasus hukum karena dikriminalisasi, tidak mempunyai niat sedikit pun untuk menghancurkan masa depan anak didiknya dengan “perlakuan mengesankan” itu.
***
Guru-guru tempo doeloe, seperti guru-guru kami (saya) di SD, menjalankan tugas mengajar dan mendidik tanpa pamrih. Kadang dalam mengajar mereka tidak lupa menyelipkan pesan-pesan moral dan spirit untuk tetap optimis. Berani menggantungkan cita-cita setinggi langit, meski fakta secara ekonomis sungguh adalah sesuatu yang mustahal.
Tidak cukup sampai di situ, guru-guru SD saya itu tanpa bosan-bosan menanamkan pula nilai-nilai kebaikan dan budi pekerti. Satu hal yang sangat sederhana, tapi menurutku adalah sebuah petuah yang sangat mengesankan. Ketika menunjukkan cara memegang buku (dulu sangat jarang ada yang mempunyai tas buku, sehingga buku harus dipegang langsung), dianjurkan agar meletakkan dan memegang buku di antara siku sambil tangan diangkat dengan kemiringan 45 derajat. Tujuannya adalah agar sewaktu-waktu buku yang di tangan itu dapat dicium. Maksudnya adalah supaya kita menghargai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Masih berkaitan dengan nilai untuk menghargai buku sebagai sumber ilmu. Tidak hanya menganjurkan meletakkan dan memegang buku pada siku, supaya sewaktu-waktu dapat dicium, tapi mereka juga wanti-wanti berpesan agar tidak sekali-kali menjadikan buku sebagai alas duduk. Bagi mereka itu sebuah sikap kurang ajar yang tidak menghargai buku yang telah “mencerdaskan” kita. Karena di dalam bukulah semua ilmu dan pengetahuan berada dan digali.