Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih untuk Guru-guruku!

22 Juli 2016   15:22 Diperbarui: 23 Juli 2016   14:11 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada lagi tetek benget persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh orangtua ketika anaknya diterima menjadi “warga baru” di sekolah. Tidak ada seragam sekolah dengan berbagai aksesories lainnya sebagai simbol siswa baru. Tidak ada sepatu, yang dipersyaratkan harus seragam (seluruhnya satu warna) seperti praktek kekakuan di sekolah-sekolah saat ini.

Bahkan terkadang, kami (termasuk) saya, harus bertelanjang kaki pergi pulang sekolah dengan pakaian seadanya. Antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, tidak ada yang menonjol dalam hal kelengkapan dan pakaian sekolah. Sehingga tidak terlihat perasaan canggung, karena secara umum, masing-masing keluarga di kampung memiliki tingkat ekonomi yang relatif tidak jauh berbeda.

Guru-guru pun merasa tidak ada problemo dengan kondisi keterbatasan (calon) anak didik mereka. Buat mereka kehadiran siswa baru adalah ladang untuk menyemai amal kebaikan, maka mereka bersiap diri untuk dapat memastikan (calon) anak didiknya tersebut “menjadi orang” kelak di kemudian hari. Mereka tidak merasa perlu pusing dengan persyaratan-persyaratan tetek bengek lainnya yang tidak perlu dan penting.

Bagi mereka, seragam dan kelengkapan lainnya hanya merupakan “aksesories” semata. Jika tetap berkutat dengan hal seperti itu, hanya akan menghambat nilai kebaikan yang akan disemai. Bagi guru-guru di kampung, yang penting siswa dapat belajar, tanpa perlu bersikap kaku dengan hal-hal yang bersifat artifisial, yang tidak terkait langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Setiap anak hanya bermodalkan kemauan dan keberanian untuk bersosialisasi melalui interaksi dengan anak-anak lainnya. Maka proses pembelajaran di tahun ajaran baru itupun mulai berjalan.

***

Tapi, sesungguhnya, kondisi keterbatasan itu tidak menggambarkan bahwa para orangtua di kampung-kampung tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Mereka, para orangtua, tetap menunjukkan perhatian dan kepedulian meski tidak dapat “melengkapi” semua kebutuhan sekolah, dan juga tidak harus mendampingi langsung anak-anaknya datang mendaftar dan masuk sekolah di hari pertama. Begitu pula dengan kelengkapan lainnya yang harus dipenuhi sebagai layaknya seorang murid sekolah. Mereka, para orangtua percaya dan yakin, bahwa para guru di sekolah dapat mengasuh, membimbing, dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab.

Itulah masa-masa yang menggambarkan animo terhadap pendidikan masih merupakan hal yang urgen. Pendidikan masih dipandang murni (pure) sebagai investasi masa depan dan awal persiapan karakter anak untuk memasuki gerbang kehidupan yang lebih luas dan kompleks. Sehingga hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan proses pembentukan karakter anak, tidak menjadi sebuah variabel yang perlu dipusingkan.

Beda dengan sekarang. Muncul sebuah fenomena yang menggambarkan bahwa sekolah tidak lagi murni sebagai “instrumen pendidikan” untuk menyiapkan karakter anak agar dapat mandiri dan bertanggung jawab. Pragmatisme dan budaya hedonisme telah mempengaruhi cara pandang sehingga menimbulkan pula pergeseran nilai, di mana sekolah sudah menjadi ajang komersialisasi. Segala hal dihitung dan dinilai dengan fulus.

***

Tidak hanya soal komersialisasi pendidikan di lembaga-lembaga sekolah, tapi juga yang sangat menyedihkan adalah penghargaan dan rasa hormat anak didik kepada guru-gurunya. Ada kecenderungan, siswa hanya menganggap seseorang itu gurunya, ketika berhadapan langsung secara formal di dalam kelas ketika proses pembelajaran itu sedang berlangsung. Beranjak sedikit lebih jauh ketika berinteraksi dengan gurunya di areal kampus (sekolah). Selebihnya, ketika sudah meninggalkan areal kampus (sekolah), orang-orang yang telah sangat berjasa memberikan “sesuatu” kepada mereka, tidak lagi mendapat penghormatan dan apresiasi semestinya. Interaksi antara guru dan anak didiknya (siswa) pun hanya bersifat formalitas dan mekanis, tidak lagi menjadi sebuah variabel yang menentukan dalam proses tumbuh kembang anak.

Entah kepada siapa, “salah ibu mengandung” ini dilemparkan! Maka menjadi hal yang lumrah, ketika seorang guru, karena alasan mendidik, dengan sedikit bersikap kasar kepada siswa, langsung mendapat perlakuan yang sungguh membuat hati ini menjadi miris. Hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan anak menjadi tameng yang sangat sempurna untuk melakukan proteksi secara berlebihan kepada anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun