Oleh : eN-Te
Pada pertengahan pekan kemarin, tepatnya 18 Juli 2016, semua sekolah di seluruh Indonesia sudah mulai menjalani tahun ajaran baru. Ketika tahun ajaran baru menjelang maka setiap lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah (SD-SMA), termasuk pula pendidikan anak usia dini (PAUD: TK, KB, PG, TPA) menerima “warga baru”.
Berkaitan dengan penerimaan “warga baru” itu, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan menerbitkan sebuah kebijakan yang kemudian dikenal sebagai gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah. Dalam mendorong gerakan itu dapat berjalan, maka kemudian Mendikbud menerbitkan sebuah Surat Edaran (SE) yang menghimbau kepada semua pimpinan instansi, baik pusat maupun daerah agar mengijinkan bagi PNS untuk mendampingi dan mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah.
Kebijakan atau himbauan Mendikbud itu tertuang dalam SE, nomor 4/2016, tanggal 11 Juli 2016. Menyikapi dan memperkuat surat edaran Mendikbud tersebut, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB) mengeluarkan pula sebuah surat nomor B/2461/M/PANRB/07/2016 tentang izin PNS di hari pertama masuk sekolah.
Gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah, seperti termuat dalam SE Mendikbud, dengan pertimbangan bahwa hari pertama sekolah juga menjadi kesempatan mendorong interaksi orang tua dengan guru untuk menjalin komitmen bersama dalam mengawal pendidikan anak. Bila telah terjalin komitmen bersama antara orangtua dan guru melalui interaksi ketika hari pertama sekolah, maka diharapkan akan tumbuh iklim pembelajaran yang lebih positif dan menyenangkan.
Dampak positif lainnya akan dirasakan seluruh warga sekolah, khususnya siswa untuk dapat mengikuti semua proses pembelajaran tanpa ada perasaan-perasaan “terbebani, sehingga mereka dapat mengekspresikan semua potensinya secara optimal. Di akhir pembelajarannya nanti siswa-siswa dapat menunjukkan kinerja belajarnya melalui prestasi belajar yang baik pula.
***
Kesemarakan gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah tahun ini, mengingatkan saya ketika untuk pertama kalinya masuk sekolah. Saya harus mengakui bahwa era ketika saya sekolah dulu tidak “segemerlap” sekarang. Apalagi sekolahnya nun jauh di sana, di sebuah perkampungan pesisir, di pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Di kampung, ketika mendaftarkan diri untuk masuk sebagai siswa baru di sebuah sekolah dasar (SD), harus dilakukan sendiri. Tidak diantar dan tidak pula dijemput ketika sekolah sudah usai.
Calon siswa, dengan tidak membawa “apa-apa”, hanya bermodalkan usia yang sudah memasuki usia wajib sekolah, dengan persyaratan menyilangkan tangan kanan ke kuping kiri atau sebaliknya. Bila ujung jari tangan kanan/kiri telah menyentuh kuping kiri/kanan, berarti pertanda sudah memenuhi syarat diterima sebagai “warga baru” sekolah itu.
Ketika didaftarkan menjadi siswa baru, maka pada hari itu pula langsung mengikuti proses pembelajaran. Tidak ada istilah mengikuti tes ini, tes itu, karena pembukaan pendaftaran siswa baru dilakukan pada hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru.
Tidak ada lagi tetek benget persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh orangtua ketika anaknya diterima menjadi “warga baru” di sekolah. Tidak ada seragam sekolah dengan berbagai aksesories lainnya sebagai simbol siswa baru. Tidak ada sepatu, yang dipersyaratkan harus seragam (seluruhnya satu warna) seperti praktek kekakuan di sekolah-sekolah saat ini.
Bahkan terkadang, kami (termasuk) saya, harus bertelanjang kaki pergi pulang sekolah dengan pakaian seadanya. Antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, tidak ada yang menonjol dalam hal kelengkapan dan pakaian sekolah. Sehingga tidak terlihat perasaan canggung, karena secara umum, masing-masing keluarga di kampung memiliki tingkat ekonomi yang relatif tidak jauh berbeda.
Guru-guru pun merasa tidak ada problemo dengan kondisi keterbatasan (calon) anak didik mereka. Buat mereka kehadiran siswa baru adalah ladang untuk menyemai amal kebaikan, maka mereka bersiap diri untuk dapat memastikan (calon) anak didiknya tersebut “menjadi orang” kelak di kemudian hari. Mereka tidak merasa perlu pusing dengan persyaratan-persyaratan tetek bengek lainnya yang tidak perlu dan penting.
Bagi mereka, seragam dan kelengkapan lainnya hanya merupakan “aksesories” semata. Jika tetap berkutat dengan hal seperti itu, hanya akan menghambat nilai kebaikan yang akan disemai. Bagi guru-guru di kampung, yang penting siswa dapat belajar, tanpa perlu bersikap kaku dengan hal-hal yang bersifat artifisial, yang tidak terkait langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Setiap anak hanya bermodalkan kemauan dan keberanian untuk bersosialisasi melalui interaksi dengan anak-anak lainnya. Maka proses pembelajaran di tahun ajaran baru itupun mulai berjalan.
***
Tapi, sesungguhnya, kondisi keterbatasan itu tidak menggambarkan bahwa para orangtua di kampung-kampung tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Mereka, para orangtua, tetap menunjukkan perhatian dan kepedulian meski tidak dapat “melengkapi” semua kebutuhan sekolah, dan juga tidak harus mendampingi langsung anak-anaknya datang mendaftar dan masuk sekolah di hari pertama. Begitu pula dengan kelengkapan lainnya yang harus dipenuhi sebagai layaknya seorang murid sekolah. Mereka, para orangtua percaya dan yakin, bahwa para guru di sekolah dapat mengasuh, membimbing, dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab.
Itulah masa-masa yang menggambarkan animo terhadap pendidikan masih merupakan hal yang urgen. Pendidikan masih dipandang murni (pure) sebagai investasi masa depan dan awal persiapan karakter anak untuk memasuki gerbang kehidupan yang lebih luas dan kompleks. Sehingga hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan proses pembentukan karakter anak, tidak menjadi sebuah variabel yang perlu dipusingkan.
Beda dengan sekarang. Muncul sebuah fenomena yang menggambarkan bahwa sekolah tidak lagi murni sebagai “instrumen pendidikan” untuk menyiapkan karakter anak agar dapat mandiri dan bertanggung jawab. Pragmatisme dan budaya hedonisme telah mempengaruhi cara pandang sehingga menimbulkan pula pergeseran nilai, di mana sekolah sudah menjadi ajang komersialisasi. Segala hal dihitung dan dinilai dengan fulus.
***
Tidak hanya soal komersialisasi pendidikan di lembaga-lembaga sekolah, tapi juga yang sangat menyedihkan adalah penghargaan dan rasa hormat anak didik kepada guru-gurunya. Ada kecenderungan, siswa hanya menganggap seseorang itu gurunya, ketika berhadapan langsung secara formal di dalam kelas ketika proses pembelajaran itu sedang berlangsung. Beranjak sedikit lebih jauh ketika berinteraksi dengan gurunya di areal kampus (sekolah). Selebihnya, ketika sudah meninggalkan areal kampus (sekolah), orang-orang yang telah sangat berjasa memberikan “sesuatu” kepada mereka, tidak lagi mendapat penghormatan dan apresiasi semestinya. Interaksi antara guru dan anak didiknya (siswa) pun hanya bersifat formalitas dan mekanis, tidak lagi menjadi sebuah variabel yang menentukan dalam proses tumbuh kembang anak.
Entah kepada siapa, “salah ibu mengandung” ini dilemparkan! Maka menjadi hal yang lumrah, ketika seorang guru, karena alasan mendidik, dengan sedikit bersikap kasar kepada siswa, langsung mendapat perlakuan yang sungguh membuat hati ini menjadi miris. Hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan anak menjadi tameng yang sangat sempurna untuk melakukan proteksi secara berlebihan kepada anak.
Anak pun ngelunjak. Merasa mendapat keistimewaan maka mereka (siswa) pun berulah seenaknya. Ketika sedikit mendapat perlakuan kasar secara fisik yang kurang menyenangkan dari gurunya, lantas dengan sigap memberikan reaksi tidak hormat. Lebih tragis lagi, orangtua juga lebay, ketika mendapat laporan anaknya diperlakukan sedikit kasar secara fisik, meski hanya dicubit dengan alasan mendidik, langsung menempuh jalur hukum, melaporkan guru ke polisi.
Fenomena guru berhadapan dengan hukum pada beberapa tahun terakhir membuat komunitas guru menjadi sangat was-was. Timbul rasa khawatir dan takut (meski untuk tujuan mendidik), para guru tidak mau mengambil resiko. Takut “dikriminalisasi dan dipolisikan”. Jika sudah demikian, siapa pula yang harus disalahkan?
***
Profesi dan status guru tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan. Padahal profesi guru pada awal-awal kemerdekaan hingga era tahun 80-an masih merupakan profesi terhormat. Tapi sekarang, karena “kecengengan”, baik siswa dan orangtua, membuat profesi ini seperti kehilangan makna.
Imbas dari kondisi itu, membuat para guru menjalani kewajiban mengajar dan mungkin pula mendidik sebagai sebuah formalitas semata. Nilai pengabdian dari guru sebagai profesi mulia seakan kehilangan rohnya. Semangat untuk mengabdi di tengah paham dan arus budaya hedonis telah terkikis, ditambah lagi dengan proses degradasi profesi guru yang secara sadar dilakukan oleh anak dan orangtua.
Para pegiat HAM dan perlindungan anak juga tidak jarang memberi andil dan kontribusi terhadap degradasi profesi guru. Profesi dan komunitas guru dibiarkan menjaga “marwahnya” sendiri, tanpa sedikit pun memberi ruang simpati, apalagi empati. Begitu pula pihak penegak hukum, ya polisi, ya jaksa, ya hakim. Ruang negosiasi untuk mencari titik temu secara kekeluargaan ketika dihadapkan dengan “kasus” yang melibatkan siswa dan guru, hanya diberikan di ruang sidang. Kadang pintu negosiasi penyelesaian secara kekelurgaan malah ditutup rapat-rapat.
Maka jangan heran bila sekarang profesi guru seakan dijauhi oleh sebagian anak negeri. Dalam pandangan mereka, profesi guru tidak hannya tidak menjanjikan, tapi rentan terhadap upaya kriminalisasi. Meski mereka menyadari bahwa profesi lain juga sangat terbuka peluang berhadapan dengan hukum pula.
***
Kondisi kegamangan guru itu seharusnya turut membuat kita prihatin. Perasaan prihatin semakin terasa bila saya mengingat ketika masa-masa (awal) masuk sekolah. Pengalaman mendapat “perlakuan mengesankan” dari guru-guru saya sejak SD sampai SMA, membuat saya merasa prihatin dengan nasib guru-guru sekarang, terutama bagi guru-guru yang mengalami kriminalisasi karena ulah anak dan orangtua.
Perlakuan mengesankan tidak hanya menyangkut perlakuan yang baik-baik saja, tapi juga perlakuan-perlakuan yang (maaf), mungkin paling kasar (dalam kacamata HAM dan perlindungan anak sekarang). Ditendang, ditempeleng, dirotan, dibenturkan kepala ke meja, dihukum berlari mengelilingi lapangan upacara seluas lapangan sepakbola, adalah menu sehari-hari dan bagian kecil dari “perlakuan mengesankan” dari guru terhadap kami, anak-anak didiknya.
Bagi kami (saya), apa yang dilakukan oleh guru dengan “perlakuan mengesankan” itu, adalah bagian dari upaya mereka untuk menyiapkan kami (saya) “menjadi orang” kelak. Tegasnya “perlakuan mengesankan” itu juga adalah bagian dari mendidik. Tidak ada perasaan dendam, apalagi berusaha mengkriminalisasi dengan melaporkan sikap guru itu kepada penegak hukum. Sesuatu yang tidak mungkin kami (saya) lakukan. Sebab dalam benak kami (saya), adalah wajar guru bersikap demikian, karena mereka tidak ingin kami (saya) gagal.
“Perlakuan mengesankan” itu tidak hanya kami (saya) terima di bangku SD saja, tapi juga sampai menuntaskan jenjang SMA. Sekedar membuka rahasia yang juga pengalaman pribadi, ketika di SMP Kelas 3 saya pernah mendapat “perlakuan mengesankan” dipukul seperti musuh, dari guru Matematika ketika jam wajib belajar (les) sore. Gara-garanya, sebagai koordinator bidang olahraga OSIS, tanpa meminta ijin guru pengawas les sore (guru Matematika) itu, mengeluarkan bola voly dan bermain voli bersama teman-teman di halam sekolah.
Akibatnya saya harus mendapat skor tidak boleh masuk sekolah beberapa hari. Dan saya fine-fine saja, tidak menjadi problemo tersendiri. Malah sang guru Matematika yang telah memberikan “perlakuan mengesankan” itu, ketika mempunyai hajatan membangun rumahnya, saya ikut bersama teman-teman rame-rame datang membantu.
Masih di jenjang SMP. Pernah suatu ketika saat jam pelajaran Olahraga Kesehatan (ORKES), karena guru mata pelajarannya tidak hadir, maka berinisiatif mengajak teman sekelas untuk mengisi jam pelajaran itu dengan bermain sepakbola di lapangan samping sekolah. Kebetulan ada sebuah kelas letak jendelanya berhadapan dengan lapangan itu. Jendela ruang kelas terbuat dari kaca. Ketika sedang asyik bermain dan pada sebuah momen saya memegang (menggiring) bola ke arah gawang (yang tepat berada di bawah jendela ruang kelas), kemudian dengan keras saya menendang bola ke arah gawang, dan alamaaak, bolanya malah menghantam kaca jendela ruang kelas itu. Pecah berantakan. Sialnya pecahan kaca jendela malah jatuh menimpa salah seorang siswa perempuan, sehingga membuat pipi mulusnya terluka dan berdarah. Duh, apes lagi gua.
Segera setelah itu saya pun harus kembali berhadapan dengan aturan sekolah. Kepada saya, Wakil Kepala Sekolah yang juga seorang guru Biologi, mengatakan, "Kau itu nakal sekali, mungkin untuk menghentikanmu perlu dipanggil seorang "pintar" untuk memberi tulah (maksud menyihir), baru kau bisa sadar". Saya pun hanya diam saja.
Begitu pula ketika melanjutkan ke SMA. Lagi-lagi saya membuat “ulah”, sehingga guru Sejarah saya murka. Di depan teman-teman di ruang kelas, saya mendemonstrasikan sikap yang seharusnya “tidak pantas” dilakukan seorang siswa (anak didik). Melihat sikap saya itu, guru Sejarah itu pun mengamuk, menghajar saya, lagi-lagi ibarat menghajar musuh. Bahkan peristiwa itu membuat seluruh sivitas kampus (terdiri dari tiga sekolah SMA, SMEA, dan SPG dari satu Yayasan) menjadi gempar, karena ada yang menafsirkan situasi saat itu, saya seakan-akan menunjukkan sikap perlawanan. Kembali saya harus mendapat “hadiah” diskor dari sekolah. Hal yang nyaris sama juga dialami teman-teman lainnya bila melakukan kesalahan.
Tapi, hubungan yang sangat problematik itu tidak menimbulkan rasa dendam sedikitpun. Rasa kecewa dan sakit hati sesaat, pasti ada dan manusiawi, tapi setelah itu, semuanya kembali berjalan normal. Kondisi itu, tidak mengurangi rasa hormat kami (saya) sedikit pun kepada guru. Interaksi kami (saya) dengan para guru sebagaimana layaknya anak kepada orangtuanya.
Bahwa pada suatu saat seorang orangtua merasa jengah dengan sikap anak-anaknya sehingga memancing amarah dan sikap kasar, adalah sebuah proses interaksi yang manusiawi. Asal semuanya dilandasi oleh niat yang baik untuk kepentingan dan kebaikan masa depan anak-anaknya. Tidak lebih dari itu. Saya yakin, guru-guru saya (kami/kita) dulu dan juga guru-guru yang saat ini sedang menghadapi kasus hukum karena dikriminalisasi, tidak mempunyai niat sedikit pun untuk menghancurkan masa depan anak didiknya dengan “perlakuan mengesankan” itu.
***
Guru-guru tempo doeloe, seperti guru-guru kami (saya) di SD, menjalankan tugas mengajar dan mendidik tanpa pamrih. Kadang dalam mengajar mereka tidak lupa menyelipkan pesan-pesan moral dan spirit untuk tetap optimis. Berani menggantungkan cita-cita setinggi langit, meski fakta secara ekonomis sungguh adalah sesuatu yang mustahal.
Tidak cukup sampai di situ, guru-guru SD saya itu tanpa bosan-bosan menanamkan pula nilai-nilai kebaikan dan budi pekerti. Satu hal yang sangat sederhana, tapi menurutku adalah sebuah petuah yang sangat mengesankan. Ketika menunjukkan cara memegang buku (dulu sangat jarang ada yang mempunyai tas buku, sehingga buku harus dipegang langsung), dianjurkan agar meletakkan dan memegang buku di antara siku sambil tangan diangkat dengan kemiringan 45 derajat. Tujuannya adalah agar sewaktu-waktu buku yang di tangan itu dapat dicium. Maksudnya adalah supaya kita menghargai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Masih berkaitan dengan nilai untuk menghargai buku sebagai sumber ilmu. Tidak hanya menganjurkan meletakkan dan memegang buku pada siku, supaya sewaktu-waktu dapat dicium, tapi mereka juga wanti-wanti berpesan agar tidak sekali-kali menjadikan buku sebagai alas duduk. Bagi mereka itu sebuah sikap kurang ajar yang tidak menghargai buku yang telah “mencerdaskan” kita. Karena di dalam bukulah semua ilmu dan pengetahuan berada dan digali.
Karena itu, ketika guru-guru kami membutuhkan pertolongan dan bantuan, baik berupa mencarikan kayu bakar, atau membutuhkan air untuk kebutuhan mandi dan keperluan keluarga, kami tak merasa terbebani mencari dan membawakannya. Jarak antara rumah guru dengan tempat mencari kayu bakar di hutan sekitar kampung, atau menimbakan air dari sumur, itu cukup jauh. Radiusnya antara 2 -3 km. Dan cara mendatangkannya dengan tidak menggunakan peralatan bantuan lain selain dengan cara memikul. Tapi meski demikian semua pekerjaan itu, kami lakukan dengan perasaan senang dan gembira, tanpa ada keluhan sedikit pun. Karena bagi kami, apa yang kami berikan itu belum seberapa jika dibandingkan dengan jasa-jasa para guru tersebut.
***
Berkat “perlakuan mengesankan” dan nilai-nilai budi pekerti, serta semangat untuk maju dari guru-guru saya tempo doeloe, sehingga hari ini, alhamdulillah, saya sudah “menjadi orang”. Jika tanpa “perlakuan mengesankan” dan jasa-jasa dari guru-guru saya tempo doeloe itu, bisa saja “kemapanan” ini belum tentu saya rasakan.
Karena itu, kepada guru-guruku (sekedar menyebut sebagian nama, mantan Kepala SD Inpres Watobuku, Bapak Achmad Kelake, Bapak H. Rauf Rape Dasy, Bapak Sirajuddin Shubuh, Bapak Thomas Sili Tokan, Bapak Syuaib Heba, Bapak Abdul Gani Usman Prakon, Ibu Hj. Hafsah Hasan KS., Ibu Maryam Usman Prakon, Bapak Muhammad Ishak (guru Matematika di SMPN Lamahala), Guru Sejarah (di SMA Suryamandala), dll., yang tidak sempat saya sebutkan namanya), yang telah sangat amat berjasa mengantarkan saya hingga bisa sampai pada posisi saat ini, saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
Dan dalam kemasygulan menyampaikan terima kasih, saya juga mengangkat topi memberi hormat sebagai penghargaan terhadap ketulusan hati dan keikhlasan memberikan ilmu dan nasehat-nasehat yang sangat berguna dalam membentuk karakter kami (saya). Tak lupa pula saya mengucapkan permohonan maaf dengan sikap bengal saya, sehingga membuat Bapak/Ibu terpaksa harus memberi “perlakuan mengesankan” kepada saya.
Tak lengkap rasanya bila pernyataan terima kasih tidak dibarengi dengan pernyataan harapan berupa doa. Semoga semua guru saya yang telah mencurahkan semua pengetahuan dan nilai-nilai karakter yang baik, mendapat keberkahan. Semoga pengetahuan dan nilai-nilai karakter yang baik yang telah dicurahkan kepada kami (saya) menjadi amal jariah, dan kelak menjadi syafaat di yaumil hisab nanti. Aamiin YRA.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 22 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H