Pada artikel sebelumnya (lihat di sini), saya sudah membuat prediksi, bahwa putaran final Copa America Centenario 2016 Amerika Serikat (AS) akan mempertemukan Argentina dan Chili. Hal itu benar terbukti setelah kedua tim memyabet tiket final Copa America 2016.
***
Argentina memastikan satu tiket final Copa America 2016 setelah mempecundangi tuan rumah AS dengan 4-0 tanpa balas. Kuartet gol tim Tango tersebut masing-masing dicetak oleh Higuain, 2 gol, dan 2 gol lainnya dicetak Messi dan Lavezi. Empat gol dari kaki dua pemain andalan itu mengantarkan Tim Tango melangkah jauh untuk meraih asa menggenggam trophi juara Copa America Centenario 2016 AS.
Messi, dkk., akan menghadapi pasukan Chili, setelah Alexis Sanches, dkk., menundukkan Columbia 2-0 pada partai semifinal kedua pagi tadi (Kamis, 23/6/16). Keunggulan Chili 2-0 berhasil mereka bukukan pada paruh pertama waktu normal. Kedudukan 2-0 untuk keunggulan Chili bertahan sampai dengan babak kedua berakhir.
Babak kedua partai semifinal antara Columbia vs Chili sempat terhenti karena pengaruh cuaca buruk (bad weather) di venue sehingga mempengaruhi jalannya pertandingan. Dua gol Chili tersebut merupakan hasil kreasi Sanches dan kesalahan pemain belakang Columbia yang salah menghalau bola sehingga berhasil dikonversi menjadi gol oleh pemain Chili. Ke-2 gol Chili ini bahkan berhasil tercipta ketika jarum jam baru menunjukkan waktu 10 menit. Tepatnya gol pertama lahir ketika pertandingan baru berjalan tujuh menit, sedangkan gol ke-2 menyusul lahir tiga menit kemudian.
Kedudukan sementara 2-0 untuk keunggulan Chili bertahan sampai pluit panjang dibunyikan. Bahkan Columbia semakin kesulitan menipiskan defisit gol, karena pada menit 60-an salah satu pemainnya diusir wasit karena akumulasi kartu kuning.
***
Dengan demikian Copa America 2016 akan kembali mengulangi final yang sama seperti pada ajang Copa America 2015. Di mana pada tahun 2015, di ajang yang sama, Chili sebagai tuan berhasil maju ke partai final dan berjumpa dengan Tim Tango, Argentina. Pada fase inilah, Chili untuk pertama kalinya meraih trophi Copa America dengan mengalahkan Argentina melalui drama adu pinalti.
Pada tahun 2016 ini, Copa America Centenario mempertemukan Chili sebagai juara bertahan dengan Tim Tango, Argentina. Hal itu membuktikan bahwa prediksi saya tepat, bahwa Messi dan Sanches menatap juara, akan berjumpa di partai pamuncak Copa America Centenario 2016.
***
Sebenarnya tournament Copa America dilaksanakan setiap empat tahun sekali. Berarti seharusnya pesta atau tournament Copa America diselenggarakan pada tahun 2019. Akan tetapi, karena tahun ini merupakan usia ke-100 tahun Copa America, maka pelaksanaan pesta Copa America dipercepat tahun 2016.
Meskipun kedua tim sudah pernah berjumpa pada babak pengisisan grup dengan keunggulan di pihak Tim Tango, hal itu tidak bisa menjadi patokan untuk menjagokan Argentina sebagai jawara. Masih agak sulit untuk memprediksi, tim mana yang akan keluar sebagai kampiun Copa America 2016. Apakah Chili sebagai juara bertahan akan berhasil mempertahankan trophi juara, atau Argentina yang malah akan merebut trophi itu dari tangan Chili? Semuanya masih merupakan misteri dan serbakemungkinan.
***
Pertemuan kedua tim, Argentina dan Chili di partai final Copa America Centenario 2016 akan pula menimbulkan atmosfir “balas dendam” pada para pemain Tango. Messi, dkk., akan sangat berambisi untuk mengulangi sukses seperti pada pertemuan awal di fase pengisian grup yang sukses mengandaskan Chili dengan keunggulan 2-1.
Tim Tango boleh merasa optimis dengan mengacu pada pertemuan awal babak pengisian grup. Tapi, bisa saja fakta itu berbalik ketika kedua tim akan berjumpa kembali di partai final nanti, yang akan berlangsung pada 27 Juni 2016.
***
Menarik untuk sedikit membuat “analisis” peluang kedua tim, Argentina dan Chili meraih trophi juara Copa America Centenario 2016. Mengingat kedua tim, selama tournament berlangsung hingga mencaai partai puncak, menunjukkan trend yang sangat positif dengan grafik yang terus meningkat. Baik Messi, dkk., mamupun Sanches, dkk., tampil sangat trengginas menggilas lawan-lawannya.
Pada Tim Tango, Messi, dkk., dengan sangat meyakinkan dan mengakhiri fase pengisian dan keluar sebagai juara grup dengan hasil sempurna. Tiga kali meladeni lawan-lawannya, kesemuanya dimenangkan dengan skor dan produktivitas gol yang sangat meyakinkan.
Tim Tango mengawali langkah di babak pengisian grup dengan menumbang juara bertahan Chili, 2-1. Di susul dua pertandingan berikutnya di babak pengisian grup menghadapi Jamica dan Panama, juga masih dengan kemenagan mutlak. Argentina mengakhiri babak pengisian grup dengan nilai sempurna, 12 point dan keluar sebagai juara grup.
Selanjutnya Argentina melangkah ke babak perempatfinal juga samimawon. Berjumpa Venezuela di perempat final, Argentina menggelontorlkan empat gol ke gawang Venezuela. Gol-gol kemenangan Argentina itu merupakan hasil kreasi Higuian, 2 gol, dan masing-masing 1 gol oleh Messi dan Lamela. Ke-4 gol Tim Tango itu hanya dapat dibalas oleh Venezuela dengn sebiji gol hiburan. Maka Messi, dkk., pun berhak maju di partai semifinal.
Di babak semifinal, kembali pasukan Tim Tango tidak memberi ampun kepada lawan mereka. Menghadapi AS di semifinal, Messi, dkk., memastikan diri pantas menjadi nominator dan unggulan utama meraih trophi juara Copa America Centenario 2016. Dan lawan yang akan kembali bertemu dengan Messi, dkk., adalah Sanches, dkk. Pasukan yang sama yang pernah mereka libas di babak pengisian grup, yang sekaligus sebagai juara bertahan.
***
Untuk memastikan bahwa Messi dapat menjelma menjadi “legenda” sebagaimana predikat yang disandang senior dan kompatriotnya, Diego Armando Maradona, maka Messi harus dapat memimpin rekan-rekannya di partai final dan berusaha secara mati-matian (all out) menumbangkan calon lawan mereka, yang juga sebagai juara bertahan, Chili. Satu-satunya pembuktian yang terbaik untuk Messi pada kesempatan ini. Bahwa Messi memang pantas menyandang predikat sebagai maestro sepakbola sejagad dengan menghadirkan sebuah trophi juara bagi Tim Nasional Argentina.
***
Begitu pula dengan Tim Chili. Meski sempat keok di partai pertama ketika berjumpa Argentina di babak pengisian grup, tidak membuat Claudio Bravo memimpin rekan-rekannya untuk tetap tegar melangkah. Pasukan Chili dengan sangat meyakinkan pula melangkah ke partai pamungkas, final Copa America 2016.
Hal itu dapat dilihat dari rentetan kemenangan yang diperoleh Chili. Meski di partai kedua pada babak pengisian grup, juara bertahan Chili, seperti mendapat durian runtuh, karena mendapat “bantuan” wasit dengan gol kemenangan Arturo Vidal melalui hadiah pinalti ke gawang Jamaica. Dengan kemenangan berbau kontroversial itu, sedikit memperpanjang nafas Chili hingga mencapai puncak pergelaran Copa America 2016 (baca : Wasit Memperpanjang, ... ).
Tapi keraguan itu akhirnya dijawab tuntas oleh Sanches, dkk., pada partai ke-3 dan partai perempatfinal. Partai ke-3 dan partai perempatfinal, Chili berhasil menundukkan lawan-lawannya dengan skor telak.
Pada partai perempatfinal menghadapi Meksiko, Sanches, dkk., seakan-akan kerasukan setan dan mengamuk. Tak tanggung-tanggung, Sanches, dkk., berhasil menggelontorkan dan menghempaskan Meksiko tanpa ampun dengan 7 gol tanpa balas. Pasukan Meksiko dibuat tak berdaya dan mati lemas.
Sementara pada partai semifinal yang berlangsung tadi padi (Kamis, 23/6/16), meski sempat tertunda kick off babak kedua karena pengaruh cuaca buruk di venue pertandingan, Chili kembali membuktikan bahwa mereka memang pantas menggenggam trophi juara Copa sebelumnya.
***
Di bawah komando Claudio Bravo, Chili tampil dengan sangat elegan dan eksentrik menhadapi Columbia di semifinal. Sanches, dkk., hanya membutuhkan 10 menit awal di babak pertama untuk menyarangkan dua gol ke gawang yang dijaga kipper Ospina. Keunggulan 2-0 ini pun berhasil dipertahan Sanches, dkk., hingga pertandingan berakhir. Chili pun dengan bangga menatap Copa America 2016 dan akan bersua kembali Argentina di partai final.
Claudio Bravo akan memimpin rekan-rekannya maju ke laga final dengan optimism tinggi untuk mempertahan trophi juara. Apapun alasannya, Chili akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan titel kampiun. Meski yang akan dihadapi nanti di partai final adalah tim sekelas Argentina, yang pernah menundukkan mereka di pertandingan awal di fase pengisian grup. Di mana di Tim Tango bercokol nama-nama besar seperti Messi, Higuain, yang saat ini sangat menginginkan sebuah trophi juara bagi tim nasionalnya, yang akan dipersembahkan bagi Negara dan public Argentina.
***
Pembuktian itu masih harus kita tunggu pada Senin (27/6/2016) nanti. Siapa yang akan bersorak gembira sambil berselebrasi merayakan kemenangan? Siapa pula yang akan tertunduk lesu, diam membisu, dan menangis berurai air mata meratapi kemalangan karena gagal mewujudkan ambisi meraih torphi sebagai kampiun? Messi atau Sanches?
Mungkinkah Messi harus kembali memendam asa dan akan tetap menjadi baying-bayang Maradona? Atau sebaliknya, Messi dapat “mensejajarkan” dirinya seperti seniornya yang begal, si gol tangan Tuhan, Maradona?
***
Syarat bagi Messi Cuma satu. Messi harus dapat memimpin rekan-rekannya maju ke gelanggang partai final bertemu Chili dan berusaha menundukkannya. Kemudian keluar dengan kepala tegak sambil mengumbar senyum merekah, mengangkat trophi juara dan mempersempahkan rakyat Argentina dan public sepakbola dunia yang mencintainya.
Atau malah keberuntungan itu sangat tidak berpihak kepada Messi. Kemalangan kembali menghampirinya. Messi kembali harus menerima kenyataan pahit (masih) kalah bersaing dengan Sanches?
***
Jika hal itu kembali terulang, maka Messi kembali memperpanjang daftar kegagalannya memimpin rekan-rekannya bersama tim nasional, Argentina meraih trophi pada sebuah ajang bergengsi, setingkat Copa America. Bahwa Messi hanya memiliki chemistry dengan Club Barcelona saja, tidak untuk Tim Nasional, Argentina. Antara Messi dan Tim Nasional Argentina, seperti tak berjodoh.
Maka public pun akan mencibir Messi, bahwa ia tidak sepenuh hati memberikan semua “kebolehannya” untuk Tim Nasional negaranya dan rakyat Argentina, dan mungkin pula public sepakbola dunia. Hal itu akan memperkuat asumsi bahwa Messi bersikap demikian, karena masa lalu yang tidak “dipelihara” negaranya? Malah sebaliknya Barcelona yang mengulurkan tangan kedermawanan memberikan “nafas kehidupan” baru untuk Messi. Maka wajar bila Messi all out memberikan yang terbaik untuk klubnya, dan sengaja “mengabaikan” Tim Nasional Argentina.
Lainnya halnya dengan Sanches. Meski pernah bersama Messi dalam satu sekondan di Barcelona, ia memberikan semua yang terbaik dari dirinya untuk Tim Nasional Chili. Seluruh kemampuannya ia persembahkan bagi kebesaran dan kebanggaan negerinya melalui kemahiran mengolah si kulit bundar dan mempersembahkan trophi juara.
***
Messi boleh bangga dengan semua prestasi individu yang ia peroleh bersama Barcelona. Sayangnya Messi tetap merasa ada yang kurang, karena semua prestasi prestisius itu, tidak cukup mengantarkannya menyamai prestasi seniornya Maradona, menjadi juga sebagai “legenda”.
Meski sejauh ini Messi belum dapat menyamai seniornya, Maradona, sejauh tournament Copa America 2016 ini berlangsung Messi sudah menunjukkan “tanda-tanda” baik. Sampai pada partai semifinal kemarin menghadapi AS, Messi sudah mampu membuktikan dan mengantarkan Tim Tango melaju pasti ke partai pamuncak, partai final. Bahwa hati dan perasaan Messi juga untuk Tim Nasional dan public Argentina. Terbukti sudah 5 atau 6 gol Messi kemas selama tournament berlangsung.
***
Tapi semua itu belum cukup, bila Messi tidak mampu menghadirkan atmosfir selebrasi merayakan kemenangan dan menambah koleksi trophi juara bagi Tim Nasional, Argentina. Jangan sampai Messi hanya akan dikenang public sebagai spesialis runner-up tournament dan tidak akan menjadi legenda. Mengingat sudah tiga kesempatan emas telah Messi sia-siakan.
Kesempatan pertama ketika pagelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Malah pada kesempatan ini Messi gagal melangkah lebih jauh, dan harus memimpin rekan-rekan mengepak koper lebih awal pulang kampung, karena tersingkir pada fase pengisian grup. Kesempatan kedua, datang ketika Argentina berjumpa dengan Jerman di partai final Piala Dunia 2014 di Brasil. Argentina harus takluk oleh gol semata wayang Jerman, dan hanya puas dengan titel sebagai runner-up. Kemudian kesempatan ketika kembali datang di ajang Copa America 2015 di Chili. Sayang di partai pamuncak ini, berjumpa dengan tuan rumah Chili, Messi, dkk., harus tertunduk lesu karena kalah bersaing dengan Sanches, dkk., di drama adu tos-tosan. Kegagalan itu, kembali membuat Messi hanya puas menyandang predikat, lagi-lagi sebagai spesialis runner-up tournament.
***
Oleh karena itu, pada Copa America Centenario 2016 ini, Messi harus dapat menghapus mimpi buruk itu. Dengan menghapus mimpi buruk itu, sekaligus menghadirkan trophi juara, maka Messi sudah pantas menyandang predikat juga sebagai “legenda”, yang memiliki prestasi seperti seniornya, Maradona. Bahwa kedua-duanya, Maradona dan Messi memiliki kemahiran mengolah bola tingkat dewa dan mampu menghadirkan prestasi untuk Tim Nasional Argentina.
Dua-duanya memang megabintang lapangan hijau di eranya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi pertanyaan dikhotomis, mana yang terbaik antara Messi dan Maradona? Tapi keduanya, sudah sama dan sejajar, berada pada “maqomnya” masing-masing. Keduanya merupakan asset dan kebanggaan nasional damn rakyat Argentina. Mungkin pula public sepakbola dunia.
Wallahu a’alam
Parapare, 23 Juni 2016
Oleh : eN-Te
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H