Oleh : eN-Te
Tadi malam sekitar pukul 18.15 ketika sedang menonton berita di salah satu saluran TV Swasta Nasional, ada laporan tentang penangkapan Ketua Umum (Ketum) PSSI La Nyalla Mattaliti di Singapura. Kemudian untuk memperjelas informasi tersebut pihak TV bersangkutan melakukan konfirmasi kepada Dirjen Imigrasi.
Berdasarkan penjelasan Dirjen Imigrasi diketahui bahwa La Nyalla bukan ditangkap melainkan dipulangkan oleh pihak Imigrasi Kedubes RI di Singapura karena telah melewati ijin tinggal (overstay). Menurut pihak Imigrasi bahwa pihak Singapura menyampaikan La Nyalla Mattaliti telah ditangkap karena melanggar ijin tinggal (sumber).
***
Diketahui bahwa La Nyalla “melarikan” diri dari proses hukum di Indonesia karena diduga terlibat dalam kongkalikong dana hibah Kadin Jatim ke Malaysia sehari setelah ditetapkan menjadi tersangka. Karena merasa tidak aman di Malaysia, La Nyalla kemudian malah kabur secara diam-diam ke Singapura. Pemerintah Singapura “berbaik hati” dan memberikan ijin tinggal sementara selama 30 hari. Terhitung sejak kedatangannya, 29 Maret 2016 hingga dipulangkan kemarin, 31 Mei 2016, berarti La Nyalla telah menjadi “pendatang haram”, selama lebih kurang 30 hari di Singapura.
Otoritas Singapura kemudian tidak ingin ada “pendatang haram” di negaranya, maka melakukan sweeping dan penggerebekan ke tempat persembunyian La Nyalla. Setelah memeriksa segala tetek bengek mengenai syarat ijin tinggal di suatu negara, otoritas Singapura mengetahui bahwa seorang La Nyalla telah melewati tenggat waktu tinggal. Karena sebelumnya otoritas Singapura sudah mendapat penyampaian dari pihak otoritas Indonesia mengenai seseorang yang diduga telah melakukan sebuah tindakan kejahatan dan melarikan diri ke luar negeri, dan masuk ke Singapura, maka proses penangkapan La Nyalla itu kemudian langsung disampaikan kepada otoritas Indonesia.
Selanjutnya kedua belah pihak melakukan koordinasi dan menyepakati untuk memulangkan La Nyalla ke Indonesia. Pihak Atase Imigrasi KBRI di Singapura kemudian menerbitkan surat perjalanan laksana paspor (PPLP) untuk sekali jalan ke Indonesia, mengingat sebelumnya paspor La Nyalla sudah dicabut. Maka segera setelah penangkapan itu, La Nyalla pun diterbangkan ke Indonesia.
***
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, La Nyalla pun langsung dijemput pihak penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Selanjutnya dibawa ke gedung Kejagung untuk menjalani pemeriksaan dan langsung ditahan. Padahal dalam dua kali penetapan statusnya sebagai tersangka oleh Kejati Jatim, La Nyalla selalu lolos karena selalu “dimenangkan” hakim ketika mengajukan praperadilan.
Kemenangan La Nyalla dalam beberapa kali proses praperadilan sempat menimbulkan “keraguan”. Benarkah kemenangan tersebut karena semata faktor pembuktian atau ada indikasi lain? Bagi sebagian orang, khususnya pihak Kejati Jatim, kemenangan La Nyalla ini menimbulkan “bau anyir”. Hal ini diduga karena ada faktor intervensi dari atasan hakim.
***
Dugaan adanya intervensi dalam praperadilan kasus La Nyalla diungkap oleh Kajati Jatim, Maruli Hutagalung. Dalam wawancara dengan Metro TV tadi malam (Senin, 31/516) dalam program Prime Time, Maruli sesumbar mengatakan bahwa meski La Nyalla selalu “dimenangkan” hakim dalam proses praperadilan, pihak Kajati akan tetap menerbitkan sprindik baru.
Karena bagi Kejati Jatim, ada yang janggal dalam putusan Hakim. Di mana menurut pihak Kejati, praperadilan mempersoalkan masalah prosedural (administrasi) penetapan status tersangka kepada La Nyalla, tapi putusan hakim malah mempersoalkan materi pokok perkara (lihat juga di sini).
Sehingga berdasarkan indikasi itu diduga hakim telah diintervensi mengingat La Nyalla mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat di MA. Bahkan sempat terucap dari mulut Maruli bahwa La Nyalla merupakan ponakan Hatta Ali. Malah Ketua MA sendiri menyatakan bahwa La Nyalla memang merupakan keponakannya (lihat di sini).
***
Dugaan “intervensi” Ketua MA, Hatta Ali dalam proses praperadilan yang diajukan pihak La Nyalla dibantah oleh pihak MA. Menurut Juru Bicara (Jubir) MA, Suhadi, bahwa MA tidak ikut campur dalam proses praperadilan yang diajukan La Nyalla. Karena proses praperadilan itu merupakan kewenangan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya (baca di sini).
Jadi apapun bentuk putusan itu merupakan hak dan kewenangan hakim sebagai sebuah sikap independensi. Tidak lantas harus ditafsirkan karena ada kekuatan lain di luar kekuasaan hakim yang telah mempengaruhi sehingga memutuskan sesuai dengan keinginan sang invisible man.
***
Lepas dari semua dugaan dan prasangka itu, kita berharap dengan telah “dipulangkannya” La Nyalla maka proses hukum dapat dlanjutkan untuk membuktikan kebenaran kasus itu. Apakah putusan hakim praperadilan cukup memiliki legitimasi sehingga hakim pada proses pemeriksaan dan persidangan kelak hanya menguatkan kembali dengan membebaskan terdakwa. Tapi, bila hakim pada tingkat peradilan melihat berdasarkan “penerawangannya” ada unsur-unsur yang membuktikan kesalahan terdakwa, berarti harus dihukum, dan itu berarti La Nyalla berubah status menjadi terpidana.
Proses selanjutnya akan kita lihat, apakah kasus La Nyalla akan berlanjut atau berhenti pada putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama saja. Itu berarti para pihak merasa puas dan menerima keputusan hakim pada pengadilan tingkat pertama itu. Jika tidak berarti perkara tersebut harus berlanjut ke tingkat pengadilan di atasnya. Dengan catatan para pihak mengajukan banding, sampai mendapat keputusan bersifat incrah di tingkat kasasi dan atau Peninjauan Kembali (PK).
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 1 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H