Dugaan adanya intervensi dalam praperadilan kasus La Nyalla diungkap oleh Kajati Jatim, Maruli Hutagalung. Dalam wawancara dengan Metro TV tadi malam (Senin, 31/516) dalam program Prime Time, Maruli sesumbar mengatakan bahwa meski La Nyalla selalu “dimenangkan” hakim dalam proses praperadilan, pihak Kajati akan tetap menerbitkan sprindik baru.
Karena bagi Kejati Jatim, ada yang janggal dalam putusan Hakim. Di mana menurut pihak Kejati, praperadilan mempersoalkan masalah prosedural (administrasi) penetapan status tersangka kepada La Nyalla, tapi putusan hakim malah mempersoalkan materi pokok perkara (lihat juga di sini).
Sehingga berdasarkan indikasi itu diduga hakim telah diintervensi mengingat La Nyalla mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat di MA. Bahkan sempat terucap dari mulut Maruli bahwa La Nyalla merupakan ponakan Hatta Ali. Malah Ketua MA sendiri menyatakan bahwa La Nyalla memang merupakan keponakannya (lihat di sini).
***
Dugaan “intervensi” Ketua MA, Hatta Ali dalam proses praperadilan yang diajukan pihak La Nyalla dibantah oleh pihak MA. Menurut Juru Bicara (Jubir) MA, Suhadi, bahwa MA tidak ikut campur dalam proses praperadilan yang diajukan La Nyalla. Karena proses praperadilan itu merupakan kewenangan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya (baca di sini).
Jadi apapun bentuk putusan itu merupakan hak dan kewenangan hakim sebagai sebuah sikap independensi. Tidak lantas harus ditafsirkan karena ada kekuatan lain di luar kekuasaan hakim yang telah mempengaruhi sehingga memutuskan sesuai dengan keinginan sang invisible man.
***
Lepas dari semua dugaan dan prasangka itu, kita berharap dengan telah “dipulangkannya” La Nyalla maka proses hukum dapat dlanjutkan untuk membuktikan kebenaran kasus itu. Apakah putusan hakim praperadilan cukup memiliki legitimasi sehingga hakim pada proses pemeriksaan dan persidangan kelak hanya menguatkan kembali dengan membebaskan terdakwa. Tapi, bila hakim pada tingkat peradilan melihat berdasarkan “penerawangannya” ada unsur-unsur yang membuktikan kesalahan terdakwa, berarti harus dihukum, dan itu berarti La Nyalla berubah status menjadi terpidana.
Proses selanjutnya akan kita lihat, apakah kasus La Nyalla akan berlanjut atau berhenti pada putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama saja. Itu berarti para pihak merasa puas dan menerima keputusan hakim pada pengadilan tingkat pertama itu. Jika tidak berarti perkara tersebut harus berlanjut ke tingkat pengadilan di atasnya. Dengan catatan para pihak mengajukan banding, sampai mendapat keputusan bersifat incrah di tingkat kasasi dan atau Peninjauan Kembali (PK).
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 1 Juni 2016