Yang menjadi fokus perdebatan dan polemik adalah masalah kebiri dan siapa yang menjadi eksekutor kebiri itu. Ada yang melihat dari sisi HAM, ada pula yang melihat dari sisi etika profesi. Kita lupa bahwa perdebatan dan polemik mengenai PERPU Kebiri hanya menguntungkan pelaku, malah terus menerus menmpatkan posisi korban sebagai pecundang.
***
Mereka yang menolak beralasan bahwa hukuman kebiri merupakan pelanggaran HAM terhadap “terpidana”. Karena dalam pandangan mereka, hak menyalurkan “hasrat hewani” merupakan HAM bagi pelaku. Soal atas penggunaan hak azasi itu sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain, bahkan menjadi korban pula tidak menjadi urusan HAM. Negeri ini memang kebolak balik.
Begitu pula dengan masalah siapa yang akan menjadi eksekutor terhadap “terpidana” bila mendapat hukuman tambahan berupa kebiri. Belum apa-apa, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor karena alasan etika kedokteran. Bahwa dokter yang melakukan suntikan kimiawi (kebiri) terhadap “terpidana” berpotensi melanggar kode etik kedokteran.
***
Jika sudah demikian, kembali negara mempertontonkan anomali tentang tujuan hadirnya sebuah negara. Bahwa negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bagi seluruh warga bangsa. Termasuk pula memberikan rasa aman.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 31 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H