Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Duh, Menteri Yohana Yembise, Dimana Empatimu?

31 Mei 2016   12:29 Diperbarui: 31 Mei 2016   12:38 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.harianjogja.com/

Oleh : eN-Te

Luar binasa! Negeri ini rupanya sudah kehilangan rasa empati. Empati terhadap korban kejahatan dan kebiadaban.

Entah mendapat wangsit darimana, seorang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP & PA), Yohana Susana Yembise, tiba-tiba pada  acara rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Senin (30/5/16) menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap Yuyun di Bengkulu merupakan kesalahan orangtua Yuyun sendiri. Di mata Yohana apa yang dialami Yuyun merupakan kelalaian orangtuanya memberi perhatian dan pengasuhan (lihat di sini ).

***

Pernyataan Yohana ini sungguh menggambarkan bahwa negara memang tidak hadir demi kepentingan warganya. Bagaimana mungkin seorang warga negara yang menjadi korban kejahatan seksual lalu di bunuh bukannya mendapat perlindungan dari negara, tapi malah disalah-salahkan pula. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Mungkinkah seorang warga negara yang karena kondisi ekonominya sehingga terpaksa harus meninggalkan anak-anaknya untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya, lantas ada anggota keluarganya mendapat musibah, menjadi korban kejahatan dan pembunuhan, tapi malah diposisikan menjadi “pecundang”?

Sekoplak apapun logika seseorang, tidak akan mungkin mengeluarkan “pernyataan bodoh” seperti itu, bila mempunyai sedikit empati. Apatah lagi ini keluar dari mulut seorang pejabat tinggi negara, setingkat menteri pula. Miris nian, negeri yang sangat bangga dengan julukan sifat kekeluargaannya, malah dengan enteng menyalahkan seorang warga negara yang menjadi korban kejahatan dan kebiadaban, serta pada saat yang bersamaan tanpa berpikir bahwa dengan pernyataan itu malah terkesan “mendukung” kejahatan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Mengabaikan dan melukai perasaan keluarga yang menjadi korban kejahatan dan kebiadaan pula.

***

Wajar saja, “pernyataan bodoh” itu mendapat reaksi kecewa dari anggota DPR. Salah seorang anggota DPR, Komisi VIII, Maman Imanul Haq, menyatakan bahwa pernyataan Menteri Yembise itu menyakitkan. Menurut  Maman, “tiba-tiba Ibu (yang dimaksud Menteri PP & PA) yang salahkan orang tua (Yuyun), ini menyakitkan. Kami kecewa dengan pernyataan Ibu” (sumber).

Jangankan anggota DPR, kita yang rakyat biasa juga merasa heran dengan logika sang Menteri. Dengan entengnya menyalahkan keluarga korban, tanpa memikirkan apa yang telah dilakukan negara untuk memulihkan trauma dari kejahatan dan musibah yang mereka terima. Alih-alih memulihkan perasaan keluarga korban atas apa yang telah dialami, ini malah datang menyirami garam di atas luka yang masih menganga. Duh, sakit dan perih, terasa tak ketolongan.

***

Ketika menyaksikan berita TV yang menyiarkan rapat kerja antara Menteri PP & PA dengan Komisi VIII DPR, di mana di depan anggta DPR  Menteri Yembise tanpa tedeng aling-aling mengeluarkan pernyataan itu. Mendengar pernyataan seperti itu, perasaan saya menjadi nelangsa.

Sia-sia gerakan #nyalauntukyuyun. Ternyata gerakan yang dimotori oleh pegiat-pegiat kemanusiaan tidak cukup membuka mata hati sang Menteri untuk sedikit berempati terhadap korban. Bagi ibu Menteri ini, musibah yang dialami Yuyun, merupakan kesalahannya sendiri.  

***

Jika demikian negara memperlakukan warganya, di mana lagi harus mengadu? Ketika seorang warga negara yang menjadi korban kejahatan dan kebiadaban dari segerombolan manusia tak bermoral dan bermental begundal, bukannya mendapat perlindungan dari negara, tapi malah diposisikan sebagai pecundang pula.

Bahwa seorang Yuyun, yang karena kondisi ekonomi keluarga sehingga harus terpaksa menerima kenyataan selalu ditinggal pergi beberapa lama ke kebun oleh orangtuanya, sehingga rentan terhadap tindakan kejahatan. Tapi hal itu, bukan berarti menjadi sebuah alasan logis untuk membenarkan tindakan pelaku terhadap korban.

***

Seharusnya pada posisi seperti itu negara harus hadir. Negara harus mengakui bahwa masih banyak warga negara yang belum mendapat “hak-haknya” dan mendapat perlindungan dari negara yang harus memberi rasa aman. Aman secara fisik lahiriah (meliputi kesejahteraan) dan juga aman secara psikis-mental, dari keumgkinan mendapat serangan dan tindakan kejahatan.

Fakta bahwa lokasi tempat tinggal dan sekolah Yuyun dikenal sebagai lokasi rawan kejahatan (daerah texas). Tambahan pula bahwa infrastruktur dan sarana transportasi sangat jauh dari memadai. Juga kebiasaan orang-orang atau warga di lokasi tempat tinggal Yuyun yang sering minum-minuman keras dan mabuk-mabukan.

Mengapa Menteri Yohana lupa dengan semua variabel yang mungkin menjadi pemicu itu sehingga Yuyun harus menjadi “tumbal”? Mengapa setelah kejadian yang mengenaskan itu terjadi, Menteri Yohana malah menyalahkan orangtua Yuyun? Di mana hati nuranimu sebagai seorang ibu dan orangtua?

***

Seperti biasa, negara baru hadir ketika kasus telah terjadi. Ketika negara memberikan respons atas kejadian itu dengan mengeluarkan PERPU Kebiri tidak lantas menyelesaikan masalah. Malah terkesan menimbulkan polemik baru. Pro kontra pun terjadi, khususnya mengenai hukuman kebiri. Sehingga lagi-lagi nasib korban terabaikan.

Yang menjadi fokus perdebatan dan polemik adalah masalah kebiri dan siapa yang menjadi eksekutor kebiri itu. Ada yang melihat dari sisi HAM, ada pula yang melihat dari sisi etika profesi. Kita lupa bahwa perdebatan dan polemik mengenai PERPU Kebiri hanya menguntungkan pelaku, malah terus menerus menmpatkan posisi korban sebagai pecundang.

***

Mereka yang menolak beralasan bahwa hukuman kebiri merupakan pelanggaran HAM terhadap “terpidana”. Karena dalam pandangan mereka, hak menyalurkan “hasrat hewani” merupakan HAM bagi pelaku. Soal atas penggunaan hak azasi itu sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain, bahkan menjadi korban pula tidak menjadi urusan HAM. Negeri ini memang kebolak balik.

Begitu pula dengan masalah siapa yang akan menjadi eksekutor terhadap “terpidana” bila mendapat hukuman tambahan berupa kebiri. Belum apa-apa, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor karena alasan etika kedokteran. Bahwa dokter yang melakukan suntikan kimiawi (kebiri) terhadap “terpidana” berpotensi melanggar kode etik kedokteran.

***

Jika sudah demikian, kembali negara mempertontonkan anomali tentang tujuan hadirnya sebuah negara. Bahwa negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bagi seluruh warga bangsa. Termasuk pula memberikan rasa aman.

 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 31  Mei  2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun