Semua pemangku pendidikan hendaknya mempunyai konsern yang sama dalam “memelihara” asa mempersiapkan generasi pewaris negeri dengan budi pekerti yang baik. Wajar ada keraguan, karena kita cenderung sudah terkesima dengan model pendidikan negara lain, tapi hal itu tidak harus membuat kita pesimis dan patah semangat.
Setiap negara mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri dalam mengembangkan pendidikannya. Tak terkecuali Indonesia. Dalam interaksi antarnegara, merupakan hal yang lumrah bila antarnegara saling berbagi dan mengambil manfaat kelebihan negara lain sebagai model untuk mengembangkan pendidikannya.
Oleh karena itu, Kemendikbud sudah seharusnya menyiapkan semua pranata yang memungkinkan PBP ini berjalan lancar dan berlangsung secara alamiah (natural). Hindari hal-hal yang bersifat pemaksaan (top down). Bila tidak, kekhawatiran akan “tidak membuminya” gerakan ini bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Maka kita seperti mengulangi cerita suram tentang perubahan KP yang tak pernah selesai. Kita terus menerus berputar pada adagium, ganti rezim, ganti Kurikulum Pendidikan (KP)”. Yang menjadi korban adalah anak bangsa sendiri yang akan menjadi pewaris negeri besar nan indah elok ini.
Segera saya harus mengatakan bahwa saya percaya pada semangat dan niat baik untuk memperbaiki pendidikan kita. Apalagi bila melihat tujuan sosialisasi GPBP di sekolah ini. Konsep GPBP juga sangat mungkin dapat memberi ruang bagi peserta untuk dapat mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya. Sehingga para peserta didik dapat tumbuh sesuai potensinya secara optimal dengan bekal budi pekerti yang baik dan luhur. Jika sudah demikian, kita boleh berharap nasib bangsa ini akan terus berlanjut di tangan generasi negeri yang bertanggung jawab dan punya karakter.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 26 Mei 2016
Artikel Terkait Lainnya :
http://www.kompasiana.com/emnoer_dm70/quovadis-pendidikan-budi-pekerti_55fcde561693731e0565e41e