Bagi SYL, syarat pendaftaran Ketum Partai Golkar dengan mewajibkan setiap calon mebayar mahar, hanya menunjukkan kekerdilan partai. “... betapa kerdilnya partai berlambang beringin itu. Persaingan harus dilakukan dengan adil, bukan dengan membayar mahar” (sumber). Tapi sebaliknya, SYL menegaskan bahwa dalam membangun dan membesarkan partai harus lebih mengedepankan ide dan idealisme, bukan malah mengembangkan sikap pragmatisme sesaat. “Sumbangan saya itu bukan berapa uang yang diberikan, saya tidak biasa diukur dengan sen per sen, tapi dari pikiran dan idealisme” (sumber).
Bagaimana dengan IBU? Apakah memiliki idealisme yang sama ketika menolak untuk membayar iuran atau mahar pendaftaran calon Ketum? Mari kita lihat!
Menurut IBU, kewajiban memberikan sumbangan, bahkan seperti ditetapkan 1 milyar rupiah, mestinya diberlakukan kepada seluruh kader partai. Kewajiban itu tidak seharusnya hanya dibebankan kepada mereka yang akan mencalonkan diri sebagai Ketum. Dalam perspektif IBU, kewajiban membayar “upeti” hanya akan menunjukkan Partai Golkar tidak bisa tumbuh menjadi partai modern.
Bagi IBU, “..., partai modern menempatkan rekrutmen berdasarkan kemampuan, bukan atas dasar pilihan subjektif”. Dalam pandangan IBU, dengan ketentuan calon Ketum wajib membayar syarat pendaftaran yang nilainya mencapai 1 milyar rupiah hanya mencerminkan Partai Golkar bukan merupakan partai modern. Karena itu IBU menegaskan bahwa, “tidak tepat jika biaya penyelenggaraan munaslub dibebankan ke kandidat. Terlebih, iuran itu dianggapnya keluar dari prinsip partai modern” (sumber).
Benang Merah
Meski memiliki pandangan yang berbeda dalam merespon syarat dan ketentuan bagi calon Ketum Golkar yang wajib memberikan sumbangan 1 milyar rupiah, tapi pada intinya dapat ditarik benang merah antara SYL dan IBU. Keduanya lebih mengedepankan visi membangun dan membesarkan partai melalui pergolakan pemikiran (ide), gagasan dengan tetap istiqamah pada jalur idealisme daripada mengorbankan “integritas” hanya untuk memenuhi hasrat pragmatisme sesaat.
Kedua calon Ketum Golkar, SYL dan IBU, rupanya bersepakat bahwa Partai Golkar bukanlah partai yang baru lahir dan baru beranjak dewasa. Tapi sudah malang melintang dalam percaturan perpolitikan nasional. Itu berarti Partai Golkar sudah memiliki bejibun pengalaman yang dapat menjadi referensi dalam bertindak dan beraksi.
Karena itu, menilik pada sejarahnya, maka Partai Golkar tidak harus mengorbankan idealisme hanya untuk menunjukkan kekerdilan dan konservatisme. Sebuah partai modern harus dapat merancang masa depan partai dengan jalan mengembangkan ide, gagasan, pemikiran, kemampuan personal secara intelektual, daripada harus tenggelam dan ditenggelamkan dalam nafsu merebut kuasa an-sich dengan meninggalkan high politic. Apalagi hanya mengandalkan pada tradisi dengan mengedepankan ketokohan figure tertentu, yang celakanya ketokohan figure itu karena praktek kemahiran memainkan fulus.
Peta Kekuatan
Sekarang kita beralih pada peta kekuatan calon Ketum Partai Golkar. Dari delapan calon yang ada, kita bagi dalam dua kategori sederhana berdasarkan “pemenuhan” kewajiban memberikan sumbangan pendaftaran. Kelompok pertama, pengusung idealisme, yang diwakili SYL dan IBU, untuk mudahnya kita sebut kelompok idealis. Sedangkan kelompok pengusung pragmatisme, kita sebut kelompok pragmatis, yang diwakili enam calon lainnya (Setya Novanto (SN), dkk.).
Namun demikian, sesuai dengan topic di atas, maka tulisan ini dibatasi hanya melihat pada peta kekuatan dua calon pengusung paham idealisme, yakni SYL dan IBU. Kedua calon Ketum Partai Golkar ini dapat saja menjadi kuda hitam dalam kontestasi dan persaingan memperebutkan 01 Partai Golkar. Siapa di antara kedua calon ini memiliki kekuatan dan peluang paling besar untuk merebut tampuk kekuasaan di Partai Golkar setelah era ARB.