Orientasi Politik
Ada yang menarik dari penyelengaraan Munaslub Partai Golkar kali ini. Di samping karena terdapat cukup banyak kandidat atau calon Ketum (8 orang), merebak pula isu money politic. Di samping itu, merebak pula ke permukaan pertarungan antara kelompok idealis dan kelompok pragmatis. Hal mana menunjukan visi dari kedua kelompok dalam membawa dan membangun Partai Golkar ke depan.
Kelompok idealis yang lebih menekankan pentingnya mengembangkan visi partai melalui ide, gagasan, dan pemikiran. Kelompok idealis mengutamakan orientasi jangka panjang demi demi survival partai.
Sedangkan kelompok pragmatis memandang bahwa dalam mengelola dan mengembangkan partai perlu ada “gizi politik”. Karena itu, bagi kelompok yang mengukur setiap kontribusi politik dengan menghitung nilai profit tertentu. Kelompok pragmatis ini orientasi politiknya bersifat jangka pendek.
Beda Pandang Beda Sikap
Tak dapat dipungkiri bahwa ketentuan yang mewajibkan setiap calon Ketum harus menyetor uang sumbangan sebesar 1 milyar rupiah menimbulkan pula dinamika menjelang Munaslub. Meski setelah melihat respon yang kurang menguntungkan bagi partai, Panitia Pengarah (Steering Committe (SC)) kemudian merubah kewajiban itu menjadi sumbangan sukarela, yang tidak bersifat mengikat. Namun demikian, persyaratan 1 milyar bagi calon Ketum telah melahirkan “friksi”, meski akhirnya hal itu dapat diredam.
Ketentuan wajib bayar iuran tersebut telah memunculkan perbedaan cara pandang yang mewakili kelompoknya masing-masing. Satu kelompok sebagai pengusung idealisme politik dan satu lagi kelompok pragmatisme politik.
Perbedaan pandangan, dan mungkin pula visi politik kedua kelompok besar ini dapat kita lihat pada proses penjaringan dan pendaftaran calon Ketum Partai Golkar. Hal mana dalam proses penjaringan dan pendaftaran calon Ketum Partai Golkar, oleh SC dipersyaratkan setiap kandidat wajib menyetor iuran Rp. 1 milyar, sehingga menimbulkan sedikit riak karena berbeda menyikapi..
Awalnya ditetapkan syarat sampai 10-15 milyar rupiah, akan tetapi setelah mendapat reaksi yang kurang mendukung, kemudian diturunkan menjadi 1-5 milyar rupiah. Sayangya setelah pagu persyaratan pendaftaran uang iuran diturunkan, masih ada saja calon yang keberatan dan menolak membayar. Salah dua calon Ketum yang keberatan dan menolak membayar itu adalah Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Indra Bambang Utoyo (IBU).
Idealisme SYL dan IBU
Kedua bakal calon Ketum Partai Golkar ini (SYL dan IBU) mempunyai alasan masing-masing untuk menolak memenuhi syarat pendaftaran itu. Menurut SYL, “jika kepemimpinan partai diberikan kewajiban membayar maka hal itu akan menjadi budaya nasional yang tidak baik” (sumber). Kondisi tersebut akan memperkuat stigma Partai Golkar yang masih belum dapat melepaskan diri dari kerangkeng membayar upeti.