Negeri ini sungguh sangat unik. Keunikan hampir terlihat dalam semua hal. Keunikan itu tidak hanya menyangkut adat istiadat, budaya, ragam bahasa, dialek daerah, jenis makanan (kuliner), tapi juga nampak dalam hal perilaku dan praktek politik kebangsaan kita.
Praktek politik kebangsaan kita juga sering menampilkan keunikan tersendiri. Ketika sebuah kejadian merambah negeri, segera setelah itu muncul kegaduhan. Semua orang dari komponen bangsa ini tak ingin kehilangan kesempatan untuk terlibat memberikan opini, analisis, berdebat, dan adu argument. Masing-masing berpegang pada pendapat dan argumennya, dan cenderung terus mempertahankannya, seakan-akan apa yang menjadi pendapat dan analisisnya itu yang paling benar dan valid. Maka atmofsir politik Indonesia pun menjadi sangat bising.
***
Ketika ada beberapa crew (Anak Buah Kapal, ABK) warga Negara Indonesia (WNI) dibajak dan disandera dan kemudian dibebaskan oleh kelompok bersenjata (Abu Sayyaf) di Philipina, tak kalah pula membuat “gaduh” politik nasional. Semua pihak seakan ingin memanfaatkan momentum itu menjadi panggung pertunjukkan untuk mendapatkan perhatian. Maka bertebaranlah berbagai opini dan analisis di jagad perpolitikan nasional.
Segala hal dipersoalkan. Termasuk pula pertanyaan tentang apakah pembebasan itu murni tanpa kompensasi membayar dengan uang tebusan? Siapa pula yang paling berjasa dalam pembebasan itu? Dan mengapa pula ada klaim-klaim kepalingberjasaan terhadap proses pembebasan sandera tersebut?
Sehingga substansi pokok dari proses negosiasi pembebasan sandera itu terlupakan. Tidak lagi menjadi sebuah focus, bahwa yang penting para ABK itu sudah kembali pulang dengan aman dan selamat ke negeri ini dan kemudian berkumpul dengan keluarganya.
***
Lucunya, ketika ada salah satu pihak merasa paling berhak dan mengklaim memiliki jasa dan kontribusi yang paling besar dalam proses negosiasi dan pembebasan itu, pihak lain tak tinggal diam. Ia dengan gagah berani maju mengcounter dengan mengadakan “diskusi terbuka”. Tujuannya juga sangat jelas, ingin mementahkan klaim sepihak itu, dan berusaha secara massif terus menerus melakukan konfirmasi dan menjelaskan bahwa tidak perlu ada klaim-klaim sepihak, karena klaim itu tidak berdasar.
Mirisnya lagi, ketika semua orang sibuk mempersoalkan proses pembebasan dan klaim berjasa itu, muncul pula masalah kemanusian lainnya, yang sungguh sangat menggetarkan kalbu. Manusia manapun di kolong maya pada ini, tak mampu menerima kenyataan yang sungguh sangat memilukan itu. Yuyun, seorang anak usia SMP, yang baru mulai tumbuh menatap masa depannya, malah diperkosa secara massal oleh begundal-begundal yang tak punya hati ketika sang anak sedang berjalan pulang ke rumahnya. Begundal-begundal ini bila dibandingkan dengan binatang, mungkin masih lebih mulia binatang dari sifat kebinatangan yang pertontonkan oleh 14 orang begundal ini.
Tapi sayang, hal itu baru menjadi berita dan mendapat perhatian setelah sebulan berlalu. Tragedi Yuyun baru sedikit mendapat tempat dalam pemberitaan ketika seseorang membuat tagar yang menjadi viral di lini masa #nyala untuk yuyun. Dan ketika tragedi kemanusian pemerkosaan dan pembunuhan terhadap bocah SMP, Yuyun, baru saja “menggeliat”, hal itu tidak serta merta mampu menarik perhatian public.
Bahkan ketika tragedi Yuyun baru saja muncul, itu pun masih harus “bersaing” untuk mendapatkan tempat dalam pemberitaan media massa terutama TV dengan polemik pembebasan para sandera WNI oleh Abu Sayyaf. Seakan-akan nasib seorang bocah, seperti Yuyun yang diperlakukan secara biadab oleh begundal-begundal seks itu tidak lebih penting dan berharga daripada mengekploitasi klaim sepihak dari kelompok kepentingan dalam pembebasan sandera.
***
Setelah “titik terang” pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf dan siapa yang paling berperan dalam proses negosiasi dan pembebasan itu, sedikit membuka ruang untuk memperbincangkan nasib Yuyun. Publik kembali disadarkan bahwa lingkungan social kita, terutama untuk anak-anak dan perempuan, sudah jauh dari rasa aman.
Kegaduhan baru pun muncul. Kontroversi dan polemik tentang hukuman bagi para predator dan maniak seks mengambil tempat untuk “berekspresi”. Pertunjukan tentang hukuman apa yang paling pantas diterima oleh para predator dan maniak seks ini menjadi focus untuk diperdebatkan. Semua kalangan “turun gunung” seakan ingin memberikan opini sesuai dengan sudut pandang dan kepentingannya dalam membahas masalah ini. Mulai dari Presiden, Menteri, anggota dewan, pemerhati anak, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ahli hukum, pengamat, dan masyarakat umum, terlibat dalam kontroversi dan polemic baru tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan.
Peradaban gaduh muncul lagi. Diskursus atau wacana tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali mengemuka. Pemerintah merasa bahwa kondisi perlindungan anak dan perempuan sudah berada pada ambang batas ketidaknyamanan, sudah sangat darurat luar biasa. Maka solusi yang mungkin dapat ditempuh untuk memutus matarantai kejahatan seksual ini antara lain dengan memberikan hukuman kebiri bagi pelaku.
Sayangnya, wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual ini, tidak serta merta mendapat sambutan positif. Tak sedikit dari kelompok masyarakat merasa bahwa opsi hukuman kebiri tidak cukup efektif memberikan efek jera. Di samping itu, menurut kelompok penentang, hukuman kebiri dari perspektif kemanusiaan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) pelaku.
Bagi kelompok yang menolak opsi hukuman kebiri ini, tidak menjadi soal HAM bagi korban, meski korban mengalami kejahatan seksual yang luar biasa, dan sungguh sangat tidak beradab, tidak perlu menjadi titik perhatian. Mungkin dalam pandangan mereka, toh, korbannya juga sudah tiada. Seperti biasa, kelompok yang menolak ini adalah mereka yang berlindung di balik isu HAM. Antara lain, yang tergabung dalam kelompok ini adalah pegiat HAM dan para pemerhati anak.
***
Kasus dan tragedi Yuyun menjadi momentum baru bagi public untuk kembali mendeklarasikan perlawanan terhadap kejahatan dan kekerasan seksual. Setelah terkuak nestapa Yuyun bermunculan kasus-kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan di berbagai tempat di negeri ini. Negeri besar yang hampir semua warga bangsanya mengaku sebagai umat beragama dan meyakini keberadaan Tuhan. Bahkan dalam setiap kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak (perempuan), tak luput pula melibatkan para pemuka agama. Ironis nian negeri ini, di satu sisi sangat menjunjung nilai-nilai ke-Tuhan-an sebagai sesuatu yang agung dan sacral, tapi pada sisi lain, dengan pongah pula mencampakkannya. Hanya karena ketidakberdayaan menolak hasrat primitive hewani yang terpendam dalam dirinya, berupa libido.
Dalam kondisi yang sungguh sangat memiriskan tersebut, urgensi kehadiran undang-undang tentang perlindungan anak dan kaum perempuan kembali mendapat porsi untuk diperbincangkan serta diperdebatkan. Seperti biasa polemic, kontroversi, menjadi bumbu untuk menambah keriuhan peradaban politik Indonesia. Substansi menghadirkan rasa aman terlupankan. Peradaban gaduh kembali menyeruak ke permukaan.
Maka semakin lengkap pula “keunikan” negeri ini. Negeri yang membangun peradabannya melalui hiruk pikuk perdebatan, polemic, dan kontroversi. Bahkan untuk sebuah tragdei pun dijadikan “komoditas” perdebatan dan polemic. Setelah lelah berdebat, berpolemik, berkontroversi, semua kembali diam, seperti semula, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena itu, mungkin kita perlu bertanya pada diri masing-amsing, sampai kampan kita harus terus berkubang dalam ketidakpastian ini?
Oleh : eN-Te
Makassar, 12 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H