Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yuyun dalam Lintasan Peradaban Gaduh

12 Mei 2016   16:51 Diperbarui: 13 Mei 2016   10:49 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Setelah “titik terang” pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf dan siapa yang paling berperan dalam proses negosiasi dan pembebasan itu, sedikit membuka ruang untuk memperbincangkan nasib Yuyun. Publik kembali disadarkan bahwa lingkungan social kita, terutama untuk anak-anak dan perempuan, sudah jauh dari rasa aman.

Kegaduhan baru pun muncul. Kontroversi dan polemik tentang hukuman bagi para predator dan maniak seks mengambil tempat untuk “berekspresi”. Pertunjukan tentang hukuman apa yang paling pantas diterima oleh para predator dan maniak seks ini menjadi focus untuk diperdebatkan. Semua kalangan “turun gunung” seakan ingin memberikan opini sesuai dengan sudut pandang dan kepentingannya dalam membahas masalah ini. Mulai dari Presiden, Menteri, anggota dewan, pemerhati anak, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ahli hukum, pengamat, dan masyarakat umum, terlibat dalam kontroversi dan polemic baru tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan.

Peradaban gaduh muncul lagi. Diskursus atau wacana tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali mengemuka. Pemerintah merasa bahwa kondisi perlindungan anak dan perempuan sudah berada pada ambang batas ketidaknyamanan, sudah sangat darurat luar biasa. Maka solusi yang mungkin dapat ditempuh untuk memutus matarantai kejahatan seksual ini antara lain dengan memberikan hukuman kebiri bagi pelaku.

Sayangnya, wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual ini, tidak serta merta mendapat sambutan positif. Tak sedikit dari kelompok masyarakat merasa bahwa opsi hukuman kebiri tidak cukup efektif memberikan efek jera. Di samping itu, menurut kelompok penentang, hukuman kebiri dari perspektif kemanusiaan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) pelaku.

Bagi kelompok yang menolak opsi hukuman kebiri ini, tidak menjadi soal HAM bagi korban, meski korban mengalami kejahatan seksual yang luar biasa, dan sungguh sangat tidak beradab, tidak perlu menjadi titik perhatian. Mungkin dalam pandangan mereka, toh, korbannya juga sudah tiada. Seperti biasa, kelompok yang menolak ini adalah mereka yang berlindung di balik isu HAM. Antara lain, yang tergabung dalam kelompok ini adalah pegiat HAM dan para pemerhati anak.

***

Kasus dan tragedi Yuyun menjadi momentum baru bagi public untuk kembali mendeklarasikan perlawanan terhadap kejahatan dan kekerasan seksual. Setelah terkuak nestapa Yuyun bermunculan kasus-kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan di berbagai tempat di negeri ini. Negeri besar yang hampir semua warga bangsanya mengaku sebagai umat beragama dan meyakini keberadaan Tuhan. Bahkan dalam setiap kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak (perempuan), tak luput pula melibatkan para pemuka agama. Ironis nian negeri ini, di satu sisi sangat menjunjung nilai-nilai ke-Tuhan-an sebagai sesuatu yang agung dan sacral, tapi pada sisi lain, dengan pongah pula mencampakkannya. Hanya karena ketidakberdayaan menolak hasrat primitive hewani yang terpendam dalam dirinya, berupa libido.

Dalam kondisi yang sungguh sangat memiriskan tersebut, urgensi kehadiran undang-undang tentang perlindungan anak dan kaum perempuan kembali mendapat porsi untuk diperbincangkan serta diperdebatkan. Seperti biasa polemic, kontroversi, menjadi bumbu untuk menambah keriuhan peradaban politik Indonesia. Substansi menghadirkan rasa aman terlupankan. Peradaban gaduh kembali menyeruak ke permukaan.

Maka semakin lengkap pula “keunikan” negeri ini. Negeri yang membangun peradabannya melalui hiruk pikuk perdebatan, polemic, dan kontroversi. Bahkan untuk sebuah tragdei pun dijadikan “komoditas” perdebatan dan polemic. Setelah lelah berdebat, berpolemik, berkontroversi, semua kembali diam, seperti semula, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena itu, mungkin kita perlu bertanya pada diri masing-amsing, sampai kampan kita harus terus berkubang dalam ketidakpastian ini?

Oleh : eN-Te

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun