Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Horee, Ahok Jadi Menteri!

7 Mei 2016   12:18 Diperbarui: 7 Mei 2016   12:30 7050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gandengan Mesra Kawan Lama (Sumb. : http://www.tribunnews.com/metropolitan)

Oleh : eN-Te

Beberapa waktu terakhir, saya tidak menulis artikel tentang masalah politik. Bukan karena saya sudah tidak tertarik lagi “menikmati” fenomena perpolitikan nasional, tapi karena saya ingin “berhenti” sementara dari hingar bingar isu politik.

Saya berharap dengan sedikit menepi dari “arena” politik, sedikit lebih memberi ruang untuk mengendapkan ide dan berkomtemplasi. Berdasarkan hal itu maka dalam satu dua minggu terakhir saya hanya menulis beberapa artikel tentang humaniora dan olahraga, khususnya mengenai sepakbola LC Eropa, antara lain "Menggugah Kesadaran",  “Sang Pembeda”, dan “Duo Madrid” . 

Sayangnya, keinginan untuk menepi itu tidak cukup kuat menahan “serbuan” informasi yang masuk dalam pengamatan dan indera pendengaran saya. Maka kemudian membuat saya harus kembali ke “habitat” semula, menulis tentang politik.

***

Isu reshuffle cabinet sudah lama berhembus. Sejak akhir tahun 2015 isu tentang reshuffle cabinet jilid II ini mulai berhembus. Hingga pada sekitar sebulan berlalu indikasi tentang proses perombakkan kabinet jilid II benar-benar akan terwujud setelah Presiden Jokowi mengundang dan atau memanggil  beberapa tokoh ke istana negara. Di antara tokoh-tokoh yang diundang dan atau dipanggil tersebut ada anggota menteri cabinet yang masih aktif menjabat, ada juga dari luar pemerintahan, misalnya dari partai politik (parpol), maupun perseorangan.

Namun, isu perombakkan kabinet jilid II itu dalam beberapa waktu terakhir kembali meredup. Mungkin rezim Jokowi belum merasa perlu dan merasa tidak siginifikan kondisi social politik dan ekonomi nasional saat ini tidak cukup berpengaruh terhadap keharusan melakukan perombakkan kabinet. Karena itu, lambat laun tarik-menarik kepentingan dan polemic tentang keharusan Presiden melakukan reshuffle cabinet pun menjadi berkurang. Seiring dengan itu, atmosfir politik nasional sekaitan dengan reshuffle cabinet sedikit lebih adem.

***

Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba seorang Sandiaga Uno (SU), bakal calon gubernur (Cagub) DKI mengeluarkan pernyataan berupa harapan di tengah persaingan perebutan DKI 1. Kemarin, Jumat (6/5/16) SU memberikan pernyataan bahwa ia berharap Ahok menjadi salah satu menteri Jokowi. Pernyataan SU ini dikutip dan menjadi running text dari beberapa media TV Nasional. Pernyataan SU ini dapat dibaca dalam beberapa perspektif. Mari kita lihat!

Pertama, perspektif prestasi dan kinerja. Mungkin di mata SU, Ahok memiliki prestasi dan kinerja yang baik selama mendampingi Jokowi sebagai Wakil Gubernur (Wagub) dan setelah menggantikan Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI. Mungkin dalam dua tahun terakhir, SU menilai Ahok telah “melakukan” banyak hal untuk membawa Jakarta menuju era baru. Jakarta baru yang lebih baik.

Lepas dari semua kontroversi dan polemic terhadap berbagai kebijakannya, dan mungkin berbagai kasus yang sedang diselidiki KPK saat ini, Ahok dalam pandangan SU mempunyai kompetensi, kapasitas, akseptabilitas dalam menahkodai Jakarta. SU menilai Ahok ternyata memiliki “maqom” tersendiri di hati rakyat dan warga Jakarta. Sampai sejauh ini, meski mendapat resistensi yang tak kalah banyak dari berbagai komponen warga Jakarta, baik dari parpol maupun perseorangan, Ahok masih mendapat kepercayaan dari warga Jakarta.

Hal itu terbukti, minimal melalui pengumpulan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga yang akan mendukung Ahok maju menjadi Cagub pada Pilkada 2017 melalui jalur independen yang telah melampui persyaratan minimal. Karena itu, bagi SU, memang sudah sepantasnya Ahok “naik tingkat” menjadi salah satu anggota cabinet Pemerintahan Jokowi.

Kedua, perspektif promosi. Usul SU agar Ahok menjadi menteri Jokowi cukup beralasan bila melihat “prestasi dan kinerja” Ahok. Mungkin SU memandang bahwa sebagai bentuk appresiasi dan reward terhadap “keberhasilannya” membangun Jakarta (sejauh ini), maka Ahok pantas mendapat promosi “naik tingkat” menjadi menteri.

Soal posisi sebagai menteri apa, itu terserah Presiden dengan melihat rekam jejak (track record) Ahok. Dan bagi Jokowi merupakan hal yang tidak sulit untuk mencari “tempat” buat Ahok di jajaran anggota kabinetnya. Pasalnya, keduanya sudah saling tahu “kelebihan dan Kelemahan” masing-masing. Jadi di posisi manapun Ahok dipromosikan di gerbong pemerintahan, merupakan sebuah kehormatan.

Ketiga, perspektif mengurangi kegaduhan. SU pasti sangat tahu dan mengakui bahwa sejak menjabat sebagai Wagub hingga kemudian menduduki “tahta” DKI 1, Ahok terus menerus menghadirkan kontroversi (baca Kontroversi Ahok). Bukan hanya masalah gaya kepemimpinan (leadership styles), tapi juga menyangkut komunikasi politik. Di mata sebagian komponen anak bangsa, tipologi Ahok itu terlalu arogan, kasar, tidak sopan, anti-mainstream, dan masih banyak lagi nilai minus lainnya. Gaya komunikasi yang cenderung “kasar dan tidak sopan”, oleh sebagian orang dianggap sebagai bahasa toilet, tidak sesuai dengan budaya bangsa. Meski tidak sedikit pula yang menganggap bahwa dalam kondisi social politik “jahiliyyah” seperti saat ini, gaya kepemimpinan dan pola komunikasi politik Ahok itu diperlukan.

Bagi para pendukung Ahok (katakanlah begitu), dalam situasi daya magis aturan hukum dan perundangan tidak lagi cukup memberi pengaruh “rasa takut”, maka pola anti-mainstream Ahok ini dibutuhkan. Kita tidak perlu lagi berlindung di balik ungkapan-ungkapan dan komunikasi politik menggunakan gaya eufimisme. Karena pola komunikasi eufimisme hanyalah menghadirkan kamuflase, kebohongan, kepura-puraan untuk menutupi sikap kemunafikan semata. Di depan berkata A di belakang berkata B.         

Sebenarnya publik juga sudah merasa gerah dengan sikap hipokrit yang sudah hampir mencapai ambang batas. Dan bagi publik, saatnya perilaku dan laku tak bertanggung jawab ini dihentikanI

Ahok hadir mencoba mendobrak pakem “kelaziman” itu dengan menggunakan gaya kepemimpinan dan pola komunikasi politik yang menantang arus. Bagi Ahok kondisi “kelaziman” itu harus segera diputus mata rantainya bila menginginkan negeri besar ini maju bersaing dengan negara-negara lain. Masyarakat tidak perlu terus menerus dininakbobokkan dan dibodohi-bodohi oleh elitnya sendiri dengan mengorbankan keminskinan mereka. Dan Ahok menjadikan etase negeri, DKI Jakarta sebagai “laboratorium” untuk melakukan eksperimen politiknya itu.

Di sinilah mungkin “pertemuan” pandangan antara SU dan Ahok. Karena itu, SU merasa perlu mengusulkan agar Presiden Jokowi berkenan menarik Ahok sebagai salah satu “hulubalangnya” di cabinet. Di satu sisi hal itu sebagai bentuk mengurangi kegaduhan atmofsir politik di DKI, dan di sisi lain hal itu sebagai bentuk “pengakuan” yang jujur dari SU terhadap prestasi dan kemampuan Ahok. Mungkin bagi SU, negeri ini membutuhkan figure seperti Ahok.

Keempat, perspektif mengurangi tekanan dalam persaingan. SU pasti sangat menyadari dan sangat mahfum bahwa Ahok merupakan salah satu “variable” krusial dalam isu pencalonan gubernur DKI Jakarta. SU pasti tidak akan menafikkan kenyataan dan menegasikan begitu saja berbagai hasil polling tentang popularitas dan elektabilitas bakal Cagub DKI. Sejauh ini, hampir semua lembaga survey masih menempatkan Ahok pada posisi teratas bakal Cagub yang memenangkan Pilkada DKI 2017 yang akan datang. Dari semua nama bakal Cagub yang sudah beredar, termasuk SU sendiri, belum dapat menandingi “kehebatan’ Ahok.

Menyadari kondisi seperti itu, SU hanya berharap pada kebaikan Jokowi. Dengan mengambil Ahok menjadi salah seorang Menteri di cabinet pemerintahannya, Jokowi sudah membuka jalan bagi SU untuk lebih percaya diri maju berlaga di Pilkada 2017. Persaingan dan tekanan sedikit berkurang, karena salah satu kandidat terkuat sudah “tereliminasi”.

Kelima, perspektif moral. Diakui atau tidak, Ahok sudah menjadi public enemy (musuh publik) bagi sebagian orang. Meski berbagai pihak menggembar-gemborkan keberhasilannya, Ahok telah dipersepsikan, malah sudah dipersonifikasi sebagai semacam virus endemis. Karena sebagai “virus”, maka apapun alasannya, Ahok harus dihentikan. Dan sekaranglah saatnya!

Maka dalam berbagai kesempatan dan melalui berbagai saluran, Ahok dijadikan sebagai sasaran tembak. Pokoknya, Ahok yang “kafir” ini tidak pantas memimpin ibukota negeri.

Pertarungan antara pantas dan tidak pantas pun dibentangkan. Laga antara yang mendukung Ahok (itu berarti mendukung semua yang inheren pada diri Ahok termasuk gaya kepemimpinan dan pola komunikasinya pada kondisi “jahiliyyah” saat ini), dan yang menentang Ahok telah lama dikibarkan. Sejak Ahok akan mulai “naik pangkat” dari Wagub menjadi Gubernur DKI perlawanan itu sudah mulai terjadi. Bahkan karena saking gemesnya, ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam sebuah ormas agama dengan ciri khas sorban putih, karena menolak Ahok yang “kafir”, maka mereka pun melantik seseorang, yang meski dari tampangnya saja menggelikan, menjadi gubernur tandingan.

Pertemuan SU yang mengharapkan Jokowi “melantik” Ahok menjadi menteri adalah sebuah keniscayaan moral. Mungkin, bagi SU, dengan mengusulkan Ahok menjadi menteri, hal itu akan mengurangi beban dan menghindarkan Ahok menjadi bulan-bulanan serangan, hujatan, caci maki, dan bahkan ada yang sampai mengharapkan “ketiadaannya”. Setelah menjabat sebagai menteri, Ahok dapat lebih leluasa mengembangkan “imaginasinya” untuk merancang sebuah masa depan Indonesia sebagaimana visinya yang pernah dia sampaikan di program Metro TV, Mata Najwa.

***

Masalahnya, sejauh ini tanda-tanda Presiden akan melakukan reshuffle cabinet belum lagi nampak. Malah isu perombakkan kabinet lambat laun meredup, sehingga harapan SU ini seperti harus masuk dalam “daftar tunggu”. Siapa tahu, dengan mendengar usul dan harapan SU ini, Presiden mau mendengar dan meluangkan sedikit waktu untuk mempertimbangkan, apakah usul tersebut cukup rasional dan reasonable.

Meski demikian, lepas dari motif politik di baliknya, saya menganggap apa yang disampaikan oleh SU di atas memiliki nilai positif dan nilai minus. Positif bila dilihat dari sisi kepentingan seorang SU untuk mengamankan posisi politik dalam kontestasi Pilkada DKI 2017. Nilai positif lain, dengan mengakomodir harapan SU, Jokowi dapat “melindungi” Ahok dari potensi dikriminalisasi maupun menghindarkan Ahok dari jeratan “perangkap” kasus tindak pidana korupsi (tipikor), misalnya kasus RS. Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta. Serta juga menghentikan kegaduhan selama ini, dengan demikian menghadirkan panorama perpolitikan ibukata yang lebih damai dan santun.

Sedangkan nilai minusnya, terlepas dari gaya kepemimpinan yang meledak-ledak (eksplosif tempramental) dan pola komunikasi yang “tidak ramah”, Jakarta akan kehilangan kesempatan untuk berubah wajah.  Meski mendapat tentangan dan tantangan yang tidak ringan dari beberapa komponen warga ibukota, Ahok telah menawarkan sebuah “oase” baru untuk tetap optimis memandang masa depan Jakarta Baru. Sudah saatnya kita mencoba untuk menerima “ketidaklaziman” untuk sebuah harapan yang mencerahkan.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 07  Mei  2016      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun