Kelima, perspektif moral. Diakui atau tidak, Ahok sudah menjadi public enemy (musuh publik) bagi sebagian orang. Meski berbagai pihak menggembar-gemborkan keberhasilannya, Ahok telah dipersepsikan, malah sudah dipersonifikasi sebagai semacam virus endemis. Karena sebagai “virus”, maka apapun alasannya, Ahok harus dihentikan. Dan sekaranglah saatnya!
Maka dalam berbagai kesempatan dan melalui berbagai saluran, Ahok dijadikan sebagai sasaran tembak. Pokoknya, Ahok yang “kafir” ini tidak pantas memimpin ibukota negeri.
Pertarungan antara pantas dan tidak pantas pun dibentangkan. Laga antara yang mendukung Ahok (itu berarti mendukung semua yang inheren pada diri Ahok termasuk gaya kepemimpinan dan pola komunikasinya pada kondisi “jahiliyyah” saat ini), dan yang menentang Ahok telah lama dikibarkan. Sejak Ahok akan mulai “naik pangkat” dari Wagub menjadi Gubernur DKI perlawanan itu sudah mulai terjadi. Bahkan karena saking gemesnya, ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam sebuah ormas agama dengan ciri khas sorban putih, karena menolak Ahok yang “kafir”, maka mereka pun melantik seseorang, yang meski dari tampangnya saja menggelikan, menjadi gubernur tandingan.
Pertemuan SU yang mengharapkan Jokowi “melantik” Ahok menjadi menteri adalah sebuah keniscayaan moral. Mungkin, bagi SU, dengan mengusulkan Ahok menjadi menteri, hal itu akan mengurangi beban dan menghindarkan Ahok menjadi bulan-bulanan serangan, hujatan, caci maki, dan bahkan ada yang sampai mengharapkan “ketiadaannya”. Setelah menjabat sebagai menteri, Ahok dapat lebih leluasa mengembangkan “imaginasinya” untuk merancang sebuah masa depan Indonesia sebagaimana visinya yang pernah dia sampaikan di program Metro TV, Mata Najwa.
***
Masalahnya, sejauh ini tanda-tanda Presiden akan melakukan reshuffle cabinet belum lagi nampak. Malah isu perombakkan kabinet lambat laun meredup, sehingga harapan SU ini seperti harus masuk dalam “daftar tunggu”. Siapa tahu, dengan mendengar usul dan harapan SU ini, Presiden mau mendengar dan meluangkan sedikit waktu untuk mempertimbangkan, apakah usul tersebut cukup rasional dan reasonable.
Meski demikian, lepas dari motif politik di baliknya, saya menganggap apa yang disampaikan oleh SU di atas memiliki nilai positif dan nilai minus. Positif bila dilihat dari sisi kepentingan seorang SU untuk mengamankan posisi politik dalam kontestasi Pilkada DKI 2017. Nilai positif lain, dengan mengakomodir harapan SU, Jokowi dapat “melindungi” Ahok dari potensi dikriminalisasi maupun menghindarkan Ahok dari jeratan “perangkap” kasus tindak pidana korupsi (tipikor), misalnya kasus RS. Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta. Serta juga menghentikan kegaduhan selama ini, dengan demikian menghadirkan panorama perpolitikan ibukata yang lebih damai dan santun.
Sedangkan nilai minusnya, terlepas dari gaya kepemimpinan yang meledak-ledak (eksplosif tempramental) dan pola komunikasi yang “tidak ramah”, Jakarta akan kehilangan kesempatan untuk berubah wajah. Meski mendapat tentangan dan tantangan yang tidak ringan dari beberapa komponen warga ibukota, Ahok telah menawarkan sebuah “oase” baru untuk tetap optimis memandang masa depan Jakarta Baru. Sudah saatnya kita mencoba untuk menerima “ketidaklaziman” untuk sebuah harapan yang mencerahkan.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 07 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H