Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Horee, Ahok Jadi Menteri!

7 Mei 2016   12:18 Diperbarui: 7 Mei 2016   12:30 7050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, perspektif moral. Diakui atau tidak, Ahok sudah menjadi public enemy (musuh publik) bagi sebagian orang. Meski berbagai pihak menggembar-gemborkan keberhasilannya, Ahok telah dipersepsikan, malah sudah dipersonifikasi sebagai semacam virus endemis. Karena sebagai “virus”, maka apapun alasannya, Ahok harus dihentikan. Dan sekaranglah saatnya!

Maka dalam berbagai kesempatan dan melalui berbagai saluran, Ahok dijadikan sebagai sasaran tembak. Pokoknya, Ahok yang “kafir” ini tidak pantas memimpin ibukota negeri.

Pertarungan antara pantas dan tidak pantas pun dibentangkan. Laga antara yang mendukung Ahok (itu berarti mendukung semua yang inheren pada diri Ahok termasuk gaya kepemimpinan dan pola komunikasinya pada kondisi “jahiliyyah” saat ini), dan yang menentang Ahok telah lama dikibarkan. Sejak Ahok akan mulai “naik pangkat” dari Wagub menjadi Gubernur DKI perlawanan itu sudah mulai terjadi. Bahkan karena saking gemesnya, ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam sebuah ormas agama dengan ciri khas sorban putih, karena menolak Ahok yang “kafir”, maka mereka pun melantik seseorang, yang meski dari tampangnya saja menggelikan, menjadi gubernur tandingan.

Pertemuan SU yang mengharapkan Jokowi “melantik” Ahok menjadi menteri adalah sebuah keniscayaan moral. Mungkin, bagi SU, dengan mengusulkan Ahok menjadi menteri, hal itu akan mengurangi beban dan menghindarkan Ahok menjadi bulan-bulanan serangan, hujatan, caci maki, dan bahkan ada yang sampai mengharapkan “ketiadaannya”. Setelah menjabat sebagai menteri, Ahok dapat lebih leluasa mengembangkan “imaginasinya” untuk merancang sebuah masa depan Indonesia sebagaimana visinya yang pernah dia sampaikan di program Metro TV, Mata Najwa.

***

Masalahnya, sejauh ini tanda-tanda Presiden akan melakukan reshuffle cabinet belum lagi nampak. Malah isu perombakkan kabinet lambat laun meredup, sehingga harapan SU ini seperti harus masuk dalam “daftar tunggu”. Siapa tahu, dengan mendengar usul dan harapan SU ini, Presiden mau mendengar dan meluangkan sedikit waktu untuk mempertimbangkan, apakah usul tersebut cukup rasional dan reasonable.

Meski demikian, lepas dari motif politik di baliknya, saya menganggap apa yang disampaikan oleh SU di atas memiliki nilai positif dan nilai minus. Positif bila dilihat dari sisi kepentingan seorang SU untuk mengamankan posisi politik dalam kontestasi Pilkada DKI 2017. Nilai positif lain, dengan mengakomodir harapan SU, Jokowi dapat “melindungi” Ahok dari potensi dikriminalisasi maupun menghindarkan Ahok dari jeratan “perangkap” kasus tindak pidana korupsi (tipikor), misalnya kasus RS. Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta. Serta juga menghentikan kegaduhan selama ini, dengan demikian menghadirkan panorama perpolitikan ibukata yang lebih damai dan santun.

Sedangkan nilai minusnya, terlepas dari gaya kepemimpinan yang meledak-ledak (eksplosif tempramental) dan pola komunikasi yang “tidak ramah”, Jakarta akan kehilangan kesempatan untuk berubah wajah.  Meski mendapat tentangan dan tantangan yang tidak ringan dari beberapa komponen warga ibukota, Ahok telah menawarkan sebuah “oase” baru untuk tetap optimis memandang masa depan Jakarta Baru. Sudah saatnya kita mencoba untuk menerima “ketidaklaziman” untuk sebuah harapan yang mencerahkan.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 07  Mei  2016      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun