[caption caption="Komisi III Konsultasi BPK Terkait RS. Sumber Waras "][/caption]
Oleh : eN-Te
Polemik tentang Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, sepertinya masih jauh dari kata rampung. Benang kusut pembelian lahan RSSW yang melalui audit BPK dinilai janggal masih belum terurai tuntas.
Persoalan ini tidak hanya membuat gaduh suasana perpolitikkan Jakarta dan mungkin juga seluruh negeri, mengingat Jakarta merupakan etalase Indonesia, tapi telah menyeret berbagai kepentingan berkelindan menjadi satu. Lepas dari validitas LHP BPK tersebut, persoalan ini menjadi ramai dan membuat gaduh karena ada nuansa politik yang hampir tidak dapat diabaikan.
Tambahan pula polemik pembelian lahan RSSW dan LHP BPK tersebut muncul bertepatan dengan akan diselenggarakannya Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Sehingga kepentingan politik dalam LHP BPK menjadi hal yang niscaya. Betapapun argumentasi yang disampaikan untuk membantah dan menegasikan kemungkinan kepentingan politik turut bermain di dalamnya, nuansa politik tetap saja terbaca.
***
Perseteruan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, yang diwakili Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Lembaga Pemeriksa Keuangan Negara (LPKN) bermula sejak penyampaian LHP BPK terhadap pembelian lahan RSSW. Berdasarkan hasil audit tersebut, BPK menilai telah terjadi pelanggaran prosedur dalam beberapa tahapan pembelian lahan RSSW tersebut.
Pelanggaran tersebut berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 173 M rupiah (sumber). Awalnya disebut nilai kerugian negara dalam proses pembelian lahan RSSW sebesar 191 M rupiah sebagiamana banyak dirilis media.
Ahok pun bereaksi menanggapi hasil audit BPK tersebut. Menurut Ahok, bahwa BPK telah melakukan penipuan dengan hasil audit terhadap pembelian lahan RSSW (sumber, dan di sini).
***
Silang sengkarut antara Pemrov DKI dan BPK pun merembet ke konflik personal. Persoalan awalnya berupa audit kelembagaan menyangkut keuangan, malah kemudian menjadi serang menyerang antarpribadi.
Berkali-kali, Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HAA) tampil pada dua stasiun TV yang berbeda, (yang kedua-duanya merepresentasikan berseberangan dengan Ahok), mencoba “mensugesti” pemirsa agar tidak meragukan LHP BPK tersebut. Berulang-ulang dengan intonasi yang sengaja ditekankan pada frase dan ungkapan tertentu untuk “menggiring” publik bahwa memang telah terjadi pelanggaran yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Merasa seperti sengaja dijadikan sasaran tembak, Ahok pun melawan. Dengan berbekal daftar nama yang tertera dalam dokumen Panama Papers, Ahok pun menyerang Ketua BPK. Bahkan tidak hanya menyerang, Ahok juga menantang kepada Ketua BPK, HAA dan anggota-anggotanya untuk melakukan pembuktian terbalik atas kepemilikan harta mereka. Termasuk pula laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).
Bagi Ahok, bila ada pejabat negara yang tidak melaporkan dan tidak mencantumkan kekayaannya secara jujur (hanya sebagian yang dilaporkan sebagian yang lain disembunyikan) dalam LHKPN maka perlu dipertanyakan motifnya. Apalagi harus menyembunyikan di luar negeri yang menerapkan tax heaven dengan membentuk perusahaan changkang dengan maksud menghindar membayar pajak kepada negara. Jelas pejabat tersebut ketika mendapatkan kekayaan itu tidak melalui jalan yang hak. Lagi pula perilaku menghindari pajak adalah sebuah laku yang tidak bertanggug jawab, tak layak jadi pejabat publik.
***
Tidak ingin polemik pembelian lahan RSSW menjadi bola liar dan menghantam ke sana ke mari, maka Komisi III DPR pun turun gunung. Mereka dengan mantap maju ke gelanggang. Dan rupanya, keinginan mereka untuk turun ke arena laga, juga tidak bebas kepentingan.
Selain untuk mencari kebenaran dan mengurai benang kusut pembelian lahan RSSW, ternyata di balik itu ada sesuatu yang ingin diraih. Niat baik Komisi III DPR untuk menjernihkan persoalan merupakan sebuah itikad baik yang perlu diapresiasi. Bahwa mereka memang benar-benar ingin memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sebagaimana alasan yang dikemukakan bahwa keikutsertaan mereka dalam menyelidiki dan memperjelas kasus pembelian lahan RSSW ini karena ada pengaduan dari sekelompok masyarakat. Entahlah, yang dimaksud dengan sekelompok masyarakat itu siapa? Akan tetapi menjadi hal yang berbeda bila di balik itu tersebunyi target politik jangka pendek.
Kita berharap tidak ada hidden agenda dari Komisi III DPR untuk turut serta dalam polemik pembelian lahan RSSW, selain unutk memperjelas persoalan dan menempatkan kembali pada posisi sebenarnya. Jika tidak, maka hal itu turut pula menggerus kepercayaan publik terhadap kinerja DPR. Alih-alih ingin memperjuangkan aspirasi publik (rakyat) malah hal itu menjadi pembenaran untuk menghentikan seseorang dalam sebuah ajang politik.
Hidden agenda tersebut semakin terbuka ketika Komisi III ingin memperjelas persoalan pembelian lahan RSSW ini dengan merencakan memanggil mantan Komisioner dan Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki dan Zulkarnaen (sumber). Mereka beralasan bahwa permintaan untuk melakukan audit investigasi itu ketika periode kepemimpinan mereka. Jadi untuk menjelaskan masalah tersebut harus dimintai keterangan keduanya.
Sementara pihak yang diaudit (auditee) bagi Komisi III tidak perlu dimintai keterangan (sumber). Padahal prinsip pemeriksaan menekankan pada kesejajaran dan keseimbangan. Sehingga perlu mendengarkan keterangan terperiksa (auditee) untuk klarifikasi dan mendapatkan konfirmasi lebih lanjut. Dengan demikian pengumpulan data lebih komprehesif. Sayangnya prinsip kesetaraan ini sepertinya sengaja diabaikan.
Dalam sebuah pemeriksaan seharusnya kedua belah pihak ditempatkan pada posisi yang sejajar dan sebanding dalam suatu masalah yang melibatkan keduanya. Jika salah satu pihak diutamakan sementara pihak lain diabaikan, maka sejak awal harus ditegaskan bahwa hasil yang akan dicapai akan timpang, minimal tidak maksimal. Seakan-akan satu pihak disubordinasi pihak lain, padahal dalam sebuah pemeriksaan, baik auditor maupun aditee harus berada dalam posisi setara dan seimbang, memiliki hak dan kewajiban yang sama.
***
Publik boleh saja curiga dan mengkritisi langkah Komisi III DPR. Sebab langkah yang diambil saat ini semata-mata dilandasi sebuah motif hanya ingin mencuri kesempatan untuk meningkatkan citra semata. Bahkan menurut peneliti LIPI, Siti Zuhro, polemik pembelian lahan RSSW ini menjadi kesempatan lawan tanding utnuk mengumpulkan amunisi. Ya amunisi untuk menyerang dan menghadang Ahok. Cuma Siti Zuhro menyarankan karena ini tahun politik, maka lawan atau penantang Ahok agar tidak membuat keruh (sumber). Jika hal ini diabaikan maka akan menggerus kepercayaan (trust) yang berdampak menghilangkan simpati publik, sehingga malah merusak citra sendiri.
Dalam dunia politik, setiap langkah dan tindakan tidak bias kepentingan. Termasuk pula kepentingan politik Komisi III ikut pula nimbrung menyelidiki polemik pembelian lahan RSWW ini. Apalagi semua anggota Komisi III merupakan perwakilan partai, yang hampir semuanya berseberangan dengan Ahok. Sikap curiga ini menjadi wajar mengingat persoalan RSSW ini muncul ketika Gubernur DKI (Ahok) sekarang sebagai petahana berniat juga maju ke gelanggang pertarungan Pilgub DKI 2017.
Dugaan dan indikasi Komisi III sedikit memiliki kepentingan untuk memihak salah satu pihak, dapat ditelaah dari penjelasan Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, Beny K. Harman. Menurut Beny, bahwa pihaknya (lebih) mempercayai hasil audit BPK, karena merupakan satu-satunya lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan investigatif lainnya (sumber).
Di samping itu, jauh sebelum Komisi III beranjang sana ke BPK, Selasa (19/4/16) kemarin, salah seorang anggotanya, Sufmi Dasco Ahmad, dari Fraksi Gerindra juga sudah memberikan warning kepada Ahok. Menurutnya “hasil audit BPK harus diterima sebagai dokumen hukum yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian karena di keluarkan oleh lembaga yang berwenang dan telah dilakukan melalui standar pemeriksaan yang benar. Maka sudah sepatutnya secara hukum KPK meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan dalam kasus tersebut” (sumber). Padahal mereka tahu bahwa LHP BPK tersebut telah menimbulkan polemik di masyarakat. Di sisi lain, mereka juga harusnya tahu bahwa tak kalah banyak pula yang menyangsikan LHP BPK tersebut. Termasuk Ahok, yang menyebutkannya sebagai penipuan.
***
Harus diakui bahwa kasus pembelian lahan RSSW ini telah menyita perhatian banyak pihak. Tak terkeculai anggota DPR. Mereka tak akan tidak ingin melepaskan kesempatan ini untuk juga turut “bermain”. Siapa tahu, dalam air yang keruh dapat pancingan ikan yang besar dan segar.
Publik juga akan terus dipaksa untuk tetap awas mengikuti dan memperhatikan dengan seksama setiap aktor yang ingin turun gelanggang berlaga. Soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tergantung siapa yang paling lihai mempermainkan bandul.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Ya sudah, selamat membaca, …
Makassar, 20 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H